GUNUNG SLAMET, SUNYIMU
MENEMUKANKU
Tahun baru selalu identik dengan
kemeriahan dan pesta pora. Adakah cerita atau peristiwa yang menunjukkan bahwa
tahun baru dirayakan dengan kesunyian dan keheningan?
Sudah beberapa kali aku mencoba
merayakan malam pergantian tahun dengan keheningan gunung. Di kesunyian hutan
sering dan bahkan selalu kutemukan diriku dengan segala perkembangannya dan juga
meningkatnya keburukan. Dua realita yang
bersebrangan itu senantiasa mewarnai hidup. Namun aku sungguh bersyukur karena
dengan peristiwa pergantian tahun itu, aku memiliki kesempatan untuk berbenah,
memperbaharui harapan, yaitu cita untuk menjadi manusia yang semakin manusiawi,
menjadi seseorang yang dapat mengalami pertumbuhan hidup, manusia yang bisa
merasakan kepuasan batin dari apa yang aku wujudkan.
Tetapi tahun baru ini, malam pergantian
tahun 2013 menjadi 2014, aku terpaksa tidak dapat merayakannya dalam kesunyian
alam pegunungan. Tetanggaku memiliki hajat. Maka, sebagai anggota masyarakat,
prinsip bersolider dan terlibat memeriahkan acara tersebut mampu menghentikan
niatku. Beberapa hari menjelang perkawinan itu pun aku ikut sibuk membantu
segala persiapannya. Hingga pada hari yang dimaksudkan, Rabu, 01 Januari 2014
aku seharian sibuk dengan urusan kemeriahan pesta perkawinan tetanggaku.
Menyadari bahwa tahun baru ini, aku
tidak seperti biasanya. Maka, aku pun berinisiatif untuk membayarnya. Merayakan
setelah hari H bukan lah masalah. Dari pada tidak mending terlambat. Aku rasa
ide ini cukup bagus. Minimal niat untuk bisa hening guna merenungi hidup dapat
tersampaikan. Kurencanakan satu niat selepas pesta perkawinan aku akan pergi
menuju keheningan dan kesunyian gunung. Pilihan aku jatuhkan pada gunung
Slamet, Purbalingga lewat jalur Bambangan.
Menurut para ahli dan yang telah
dibuktikan oleh banyak pendaki bahwa Gunung Slamet adalah gunung tertinggi ke
dua di Pulau Jawa dan tertinggi di Jawa Tengah dengan ketinggian 3. 428 m dpl.
Dengan gelar tertinggi di Jawa tengah, karakter jalur pendakian yang sulit dan
kering, serta pemandangannya yang indah menjadikan gunung ini istimewa. Gunung
Slamet masih mempunyai keanekaragaman hayati yang bagus, dengan pohon-pohon
besarnya serta berbagai jenis satwa liar yang masih dapat bertahan.
Bermodalkan cerita dan pengalaman
teman-teman pendaki yang pernah ke sana, akhirnya membakar tekatku untuk bisa
bercengkerama dengannya. Akhirnya, jam sembilan malam kuputuskan untuk
meninggalkan acara resepsi lebih awal. Perlengkapan telah aku packing setengah jadi. Lalu aku selesaikan
semua bekal untuk dapat masuk ke dalam tas kerirku. Tidak terasa waktu telah
menginjak angka 22.00. Saatnya berangkat.
Meliuk motorku yang mengerang karena
memangku aku, isteriku dan barang-barang bawaan. Tidak begitu jauh, jarak
terminal dari rumahku, hanya 15 menit. Setelah menitipkan motor di lokasi
parkir terminal Tirtonadi segera aku ke ruang tunggu untuk menuju Purwokerto.
Aku menyadari bahwa ada banyak tatapan heran dari para penumpang yang berada di
terminal. Mereka terheran-heran melihat tas yang aku gendong begitu besar dan
terlihat berat. Aku dan isteriku hanya tersenyum bangga, “Belum tahu mereka.
Ini bekal untuk 4 hari, 5 orang. Mantap”.
Rabu, 01 Januari 2014 tepat pukul 22.45 bis
MANDALA jurusan Solo-Purwakarta tiba di terminal. Kami pun segera masuk dan
mencari tempat duduk yang agak longgar. Bis AC dengan tarif ekonomi ini
ternyata menjadi bis favorit, banyak penumpang, hingga kami pun mendapat tempat
duduk barisan paling belakang. Uang Rp 100.000 kami keluarkan untuk membayar
ongkos perjalanan. Lalu, kami berusaha lelap agar besok ada tenaga.
Malam kian larut untuk mengejar pagi.
Pukul 00.00 bis telah tiba di stasiun Giwangan Yogjakarta. Di terminal ini, bis
masih berjuang untuk mengais rejeki. Bis ini menganggap diri sebagai bis yang
terakhir maka ia pun berusaha mengangkut penumpang sebanyak-banyaknya. Bis
manjadi penuh sesak. Menjadikan penumpang pun berjejal berdiri. Udara menjadi
pengap. Aku urungkan niat untuk sejenak terlelap. Tepat pukul 01.00 bis melaju
menuju Purwokerto. Aku dan isteriku hanya berjuang melonggarkan otot-otot kaki
agar tidak terlalu kaku. Dan kami pun hanya berjaga. Tidak bisa tidur.
Raga yang begitu penat akibat aktifitas
sepanjang hari menjadikan mata tidak lagi membuka. Melewati kota Gombong, aku
pun terlelap. Tidak terasa kami telah tiba di persimpangan Sokaraja. Aku dan
istriku turun di sini, yaitu saat waktu menunjuk angka 04.35. Lalu kami
berganti bis menuju pertigaan serayu. Bis jurusan Bobotsari ini kami tebus
dengan uang Rp 20.000 untuk berdua. Tidak lama, hanya 35 menit maka kami tiba
di tujuan.
Aku dan isteriku setia menunggu
penumpang lain untuk menuju Bambangan. Harapannya agar bisa menekan biaya.
Angkotan desa di sana tidak mau bergerak kalau kuota penumpang belum memenuhi
target. Melihat kami yang kelelahan dan didera kantuk yang amat sangat, sopir angkot
tersebut menyarankan kepada kami untuk naik ojek saja. Kami pun mengikuti saran
tersebut. Terperanjat aku karena jasa ojek dua kali lipat naik angkotan. Ojek
dengan tariff Rp 40.000. Isteriku pun dengan lihai mulai bernegosiasi. Hingga
sepakat dengan harga Rp 35.000.
Motor meliuk mengikuti jalanan aspal
yang menanjak tajam. Jarak tempuh 17 km mampu diterobos dalam waktu sekejap.
Dan tibalah kami di basecamp Bambangan tepat pukul 06.00. Sesampainya di tempat
rasa iba menuntun isteriku untuk tidak tega. Hingga akhirnya jasa ojek tetap dihargainya
sebesar Rp. 40.000. Harga yang sepadan dengan jarak tempuh dan medan yang tidak
terlalu bersahabat.
Jalur pendakian via Bambangan yang terletak
di Dusun Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga,
merupakan jalur pendakian resmi Gunung Slamet. Basecamp pendakian jalur
Bambangan ada dua yaitu di pondok pemuda yang terletak di ujung jalan. Tempat
ini mempunyai ruang yang luas. Aku rasa dapat menampung sekitar 50 orang.
Sungguh disanyangkan bahwa di basecamp ini tidak ada kamar mandi yang layak.
Kalau para pendaki ingin makan atau mengisi perbekalan sebaiknya membelinya di
depan pondok.
Sedangakan basecamp yang ke dua adalah
basecamp utama. Basecamp ini berada di bawahnya. Basecamp ini merupakan rumah
penduduk yang telah memiliki ijin resmi juga sekaligus sebagai warung makan.
Setiap porsi yang swalayan, mengambil sesuai dengan kemampuan perut cukup
membayar Rp. 7.000. Di basecamp ini juga merupakan tempat pendaftaran dan
pembayaran retribusi pendakian sebesar Rp. 5.000. Di sini tempatnya tidak
seluas pondok pemuda tapi tempatnya sangat nyaman, setiap pagi dan malam para
pendaki yang datang akan disediakan air minum dan air panas untuk membuat teh
atau kopi. Rumah ini juga menyediakan barang dagangan keperluan pendakian,
seperti air mineral, spiritus, kopi instan dan souvenir pendakian gunung
Slamet.
Saat aku tiba di basecamp ini, nampak
para pendaki yang kelelahan, mereka yang turun setelah merayakan malam
pergantian tahun, terlihat berjejal. Aku hanya menjumpai tiga rombongan yang
akan nanjak hari ini. Mereka adalah rombongan dari Bekasi sebanyak delapan
orang, dari Lampung hanya tiga orang dan Jakarta juga tiga orang. Dari ketiga
rombongan ini, pasukan Lampung ingin bergabung dengan rombonganku yang hanya dua
orang, yaitu aku dan isteriku.
Setelah sarapan pagi tersedia, kami pun
segera antri untuk mendapatkan makanan sesuai dengan kemampuan. Sepiring nasi
telur dadar dan segelas teh tawar cukup menyegarkan badan. Sebelum pendakian
kuingin persiapan semaksimal mungkin, makanya aku sempatkan diri untuk
kebelakang. Namun, sungguh memprihatinkan bahwa di musim penghujan pun tempat
ini kekurangan air. Hingga kamar mandi pun tidak layak di sebut sebagai kamar
mandi. Bau banget. Aku hanya bisa memaklumi karena memang daerah ini mengalami
kesulitan air.
Packing ulang sudah selesai. Aku kira
kami telah siap berangkat. Kami akhirnya menjadi berlima terdiri dari dua
rombangan. Pukul 08.00 pendakian pun dimulai. Menyempatkan diri untuk sejenak
mengabadikan sejarah hidup dengan foto bersama di gerbang pendakian gunung
Slamet.
Setelah melewati gapura pendakian kami
mengikuti penunjuk arah untuk belok ke arah kanan. Lalu meyeberangi sungai.
Sebenarnya bukan sungai, hanya sebuah parit. Karena sungguh menjadi sungai bila
ada hujan lebat dan deras. Menyusuri setapak di pinggiran ladang penduduk.
Panorama pertanian dan perkebunan yang sungguh menyejukkan mata.
Sekitar 20 menit ladang penduduk telah
habis dinikmati. Kemudian berganti dengan panorama hutan yang diwarnai pohon
akasia, pinus, cemara, damar, dan puspa. Medan pendakian dari basecamp menuju Pos
1 masih landai dengan sesekali tanjakan. Semenjak memulai pendakian, kami
dilindungi oleh awan. Sehingga perjalanan tidak terlalu menguras tenaga. Namun
beban barang bawaan tidak bisa dipungkiri sebagai penyebab melemahnya raga.
Semangat yang membara mengobarkan nutrisi untuk berubah menjadi energi hingga
saat waktu menunjuk angka 09.30 tibalah kami di POS 1 yang biasa disebut Pondok Gembirung. Di sini terdapat
Shelter yang cukup luas, dapat menampung sekitar 8 tenda.
Di pos ini, kami bertemu dengan
rombongan Bekasi yang telah mendahului langkah. Di pos ini pula kami bertemu
dengan beberapa rombongan yang turun. Satu rombongan dari Yogjakarta
menyempatkan diri untuk beristirahat agak lama. Salah satu dari mereka, yaitu
mas Edo berkomentar, “Mas, bawa apa to? Kok kerirnya se-gede itu”. “
”Bawa logistik aja. Kami kan rekreasi”,
jawabku singkat.
“Boleh nyoba mas?”
“Monggo
ae. Ringan kok”.
“Badala.
Ini bawa apa aja. Berat. Yo sekitar 25 kg. Mantap”
Obrolan dan canda tawa mewarnai
perjumpaan kami ini. Aku tahu kalau rombongan mas Edo merupakan rombongan
pendaki kawakan yang memiliki keramahan seorang pendaki. Setelah aku rasa
tenaga telah pulih, maka kuputuskan untuk melanjutkan langkah. Rombongan
Lampung telah mendahului aku dan isteriku. Kupersilahkan. Mungkin mereka merasa
tidak nyaman bersama dengan sepasang pendaki.
Berdua. Aku dan isteriku melanjutkan
kisah untuk bercengkerama dengan keindahan alam gunung Slamet.
berdua di puncak selamet
Pukul
10.00 pendakian pun kami lanjutkan. Setapak mulai menanjak. Tipe vegetasi pun mulai
berubah dengan dominasi pohon-pohon besar dan rapat, menunjukan kawasan hutan gunung
Slamet yang masih asri. Maka tidak mengherankan kalau sinar matahari tidak
mampu menembus lebat dedahanan. Sehingga setapak yang habis diguyur hujan tetap
becek. Akibatnya setapak menjadi sangat licin. Untuk menapakinya secara nyaman,
kehati-hatian menjadi syarat mutlak. Kemiringan medan sekitar 25-40 derajat.
Itu pun tanpa ada bonus. Mantap menantang.
Nafas
tuaku mulai tersengal. Sering bahkan sangat sering aku harus berhenti untuk
mengatur nafas. Kupulihkan ritme paru-paru agar jantungku tidak terlalu kencang
memompa darah. Beda dengan isteriku yang terlihat sangat bugar. Ia begitu
lincah dan terlihat sangat menikmati petualangan ini. Bermodalkan pengalaman
pendakian di gunung-gunung yang lainnya, kuyakinkan diri bahwa expedisi ini
akan menuai sukses. Untaian doa senantiasa mengiringi langkahku. Sepanjang
perjalanan banyak kulihat tempat datar yang dapat digunakan sebagai tempat
beristirahat. Dapat juga untuk mendirikan tenda. Perjuanganku melahirkan senyum
gembira saat mata melihat samar tulisan Pos 2 atau Pondok Walang. Pos ini berupa tempat datar tapi
tidak ada shelter. Di sini para pendaki dapat nge-camp, karena tempat ini cukup
luas untuk mendirikan 5-6 tenda.
Medan
tempur menuju pos tiga tidak ada bedanya dengan medan sebelumnya. Tanjakan
tajam yang licin karena setapak becek. Kami pun bergelayutan di akar-akar
pepohonan yang mengurat kekar. Medan ini merayu dan membujukku untuk menyerah.
Namun semangat dan keceriaan isteriku mampu mendorong gairahku untuk terus
mengikutinya. Lelah raga dan batas daya tenaga kugenjot terus untuk melangkah.
Rasa kantuk yang menyelimuti tak mampu aku tepis. Memang, sebenarnya aku juga
isteriku belum sempat istirahat secara sungguh-sungguh. Tidur hanya mencuri
saat mata benar-benar tidak mampu bertahan di dalam keramaian dan penuhnya bis
malam. Beberapa kali aku terhuyung dan kendati kaki melangkah namun pandanganku
terkatup. Terlelap sambil terus berjalan.
Kucoba pulihkan raga dengan istirahat
cukup lama. Begitu pula dengan teman Lampung mereka juga beristirahat lama.
Hingga akhirnya kami pun kembali melakukan petualangan bersama. Kembali
merapatkan barisan untuk bersama berjuang mengalahkan kelemahan raga dan kekerdilan
motivasi.
Terseok namun pasti langkah kami terus melaju menapak. Satu meter bertambah ke meter-meter berikutnya hingga kami pun dalam waktu 35 menit telah menggapai pos 4 atau Samarantu.
Di
sini juga tidak ada shelter, tapi tempatnya cukup luas, sehingga mampu menampung sedikitnya lima tenda. Kulirik
arlojiku yang menunjuk angka 14.00. maka, aku putuskan untuk segera melanjutkan
langkah. Target pos lima sebelum jam 15.00. Rencana akan nenda di sana. Tinggal
sebentar lagi. Kukobarkan sisa tenagaku untuk memacu lututku agar tetap kokoh
menopang tujuanku.
Medan dari pos 4 menuju pos 5 sedikit bersahabat. Tidak sesangar dan securam medan sebelumnya. Aku merasa lega dan bisa bernafas dengan nyaman. Hingga rasanya begitu ringan dalam mendaki sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk mencapai pos 5[1]. Kucatat dalam ingatanku bahwa hanya membutuhkan waktu 20 menit. Hingga nafas lega menghampiri batin dan jiwaku pada titik 14.20. karena kami telah sampai di Pos 5 atau Pos Mata Air.
Pos
ini dinamakan demikian karena pada musim hujan terdapat mata air, tepatnya ada
aliran sungai. Airnya cukup jernih. Namun sayang, saat aku mendaki banyak
ranjau disekitar aliran air. Sehingga bukan suasana takjub tetapi menjadi
situasi mengumpat. Mungkin mereka yang memasang ranjau ini adalah para pendaki
yang belum merasakan kehabisan air saat mendaki. Sehingga kurang menghargai
adanya air di jalur pendakian.
Dari selter pos 5, kita tinggal turun sedikit. Agar memperoleh air yang terbebas dari racun ranjau maka para pendaki sebaiknya menyusur aliran sungai itu sampai ke air yang mengucur seperti air terjun kecil. Di sini diyakini sebagai mata airnya. Waktu aku mengambil air di sini cuaca berubah. Dari selter cuaca baik sekali, tetapi saat mengambil air tiba-tiba kabut tebal datang dan berubah menjadi rintik air. Hujan pelan pun turun dengan lembutnya.
Segera
kupercepat langkah untuk menuju selter yang ada atap perlindungan. Niat awal
untuk nenda di pos ini gagal karena suasana begitu ramai dan masih ada banyak
pendaki yang akan turun tetapi mereka menginap di sini. Perut yang telah lama
menanti untuk distok nutrisi terpaksa harus ditunda. Dalam cuaca hujan yang
lumayan lebat, isteriku mengusulkan ide untuk berganti haluan, meneruskan
langkah dan nenda di pos 7. Akhirnya, rombonganku dan rombongan Lampung serta
Jakarta lah yang melanjutkan langkah untuk secepatnya menemukan pos 7 dan nenda
di sana.
Langkah kaki baru saja berlalu meninggalakan pos 5, hujan turun dengan lebatnya. Maka kami pun segera mengenakan jas hujan. Jalan setapak pun berubah menjadi parit. Air mengalir deras mempempersulit medan pendakian. Aku yang sudah kelaparan diperparah dengan keadaan fisik yang teramat lelah harus memaksa diri untuk terus bertahan dan tetap melangkah. Isteriku mengambil langkah untuk mempimpin barisan. Langkah lincahnya menjadi penyemangat. Dalam waktu 10 menit kami telah tiba di pos 6 atau Samyang Rangkah yang berupa tempat datar tanpa shelter cukup untuk 3 tenda, sekaligus memasuki vegetasi yang dominan lamtoro gunung.
Hati
merasa lega. Aku memohon pada isteriku untuk beristirahat. Karena aku merasa
tas kerirku terasa semakin berat. Aku bermaksud memberi waktu agar pundakku
sedikit bernafas lega. Kami sungguh beruntung, sesampainya kami di pos ini,
hujan mereda. Tinggal gerimis. Kendati tidak hujan namun, bekas kucuran air
yang tidak lebat malah menjadikan setapak semakin licin. Jalur ini juga
diperparah dengan medan sempit. Seolah-olah kami menyusuri lorong, merangkak
dan terus merangkak. Isteriku pun mulai diambang batas. Beberapa kali ia
bertanya, “Pos tujuh masih jauhkah?” petanda ia mulai putus asa. Aku terus
mengobarkan semangatnya, “Tinggal sebentar lagi. Tinggal satu pos dan kita akan
nenda di sana. Ayo terus melangkah”. Pelan dan pasti, kami bergerak untuk
mengejar rombongan tiga anak dari Jakarta yang melaju kencang bagaikan anak
panah.
Langkah kaki makin tidak jelas. Asal menapak. Gontai. Tiba-tiba isteriku berteriak, “Pos tujuh”. Segera kukerahkan seluruh kemampuanku untuk segera mengejar isteriku. Tepat satu jam selepas meninggalkan pos 5 kami menemukan selter pos tujuh, atau Samyang Jampang[2]. Saat kakiku melangkah memasuki selter kulirik jam tanganku yang menunjuk angka 17.00. Teman dari Jakarta telah usai mendirikan tenda. Maka, aku pun segera menyusul untuk mendirikan tenda. Agar bisa cepat ganti pakaian kering dan menghangatkan diri dalam dekapan nyaman tendaku.
Kicauan
teman-teman dari Jakarta mengganggu inginku. Kehendak untuk sedikit egois
nyaman dalam tenda setelah lelah bermandi peluh, terpaksa aku urungkan. Hingga
akhirnya kusiapkan alat masak di luar tenda dan mengundang teman-teman Jakarta
yang asik berkicau di dalam tendanya. Isteriku tetap nyaman dalam tenda.
Sedangkan kami asik berbagi kisah. Hingga akhirnya, aku tahu nama salah satu
dari mereka, mas Budi. Yang ternyata adalah pentolan dari komunitas penggiat
alam bebas, “Extrim”.
kabut tebal
Kucatat
dalam memoriku, kendati tenaga tua namun aku dan isteriku mampu mencapai pos
ini dengan waktu tempuh 1.15 jam. Lumayan cepat. Tidak terlalu lemot juga. Di
pos ini kami bertemu dengan rombongan Lampung dan Bekasi yang terlihat sudah
cukup beristirahat. Aku pun menyempatkan bahu dan pundakku untuk sejenak lega
dari himpitan tas kerir yang belum berkurang bebannya. Celotehan dan canda dari
para pendaki itu ikut mendongkrak pemulihan raga. Hingga kamipun tidak
berlama-lama untuk segera melanjutkan kisah.
tetep mesem
Lelah
raga juga kantuk mampu memperdaya keinginanku untuk memburu waktu. Hingga aku
dan isteriku cukup lama menempuh lajur pos 2 menuju pos 3. Namun aku cukup
bersemangat karena aku dan isteriku saling dahulu mendahului dengan rombongan
Lampung yang masih muda dan mereka pun sudah beristirahat serta cukup tidur.
Masih bisa bersaing dengan yang muda menjadi motor bagi gairah bawah sadarku
yang luar biasa. Hingga akhirnya kami pun mencatatkan waktu tempuh selama 1.15
jam. Masih standar. Pukul 11.30 kami merapat di pos 3 atau Pondok Cemara. Di sini
juga tidak ada shelter. Namun memiliki tempat yang luas sehingga mampu untuk memuat
5 tenda.Terseok namun pasti langkah kami terus melaju menapak. Satu meter bertambah ke meter-meter berikutnya hingga kami pun dalam waktu 35 menit telah menggapai pos 4 atau Samarantu.
Medan dari pos 4 menuju pos 5 sedikit bersahabat. Tidak sesangar dan securam medan sebelumnya. Aku merasa lega dan bisa bernafas dengan nyaman. Hingga rasanya begitu ringan dalam mendaki sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk mencapai pos 5[1]. Kucatat dalam ingatanku bahwa hanya membutuhkan waktu 20 menit. Hingga nafas lega menghampiri batin dan jiwaku pada titik 14.20. karena kami telah sampai di Pos 5 atau Pos Mata Air.
Dari selter pos 5, kita tinggal turun sedikit. Agar memperoleh air yang terbebas dari racun ranjau maka para pendaki sebaiknya menyusur aliran sungai itu sampai ke air yang mengucur seperti air terjun kecil. Di sini diyakini sebagai mata airnya. Waktu aku mengambil air di sini cuaca berubah. Dari selter cuaca baik sekali, tetapi saat mengambil air tiba-tiba kabut tebal datang dan berubah menjadi rintik air. Hujan pelan pun turun dengan lembutnya.
Langkah kaki baru saja berlalu meninggalakan pos 5, hujan turun dengan lebatnya. Maka kami pun segera mengenakan jas hujan. Jalan setapak pun berubah menjadi parit. Air mengalir deras mempempersulit medan pendakian. Aku yang sudah kelaparan diperparah dengan keadaan fisik yang teramat lelah harus memaksa diri untuk terus bertahan dan tetap melangkah. Isteriku mengambil langkah untuk mempimpin barisan. Langkah lincahnya menjadi penyemangat. Dalam waktu 10 menit kami telah tiba di pos 6 atau Samyang Rangkah yang berupa tempat datar tanpa shelter cukup untuk 3 tenda, sekaligus memasuki vegetasi yang dominan lamtoro gunung.
Langkah kaki makin tidak jelas. Asal menapak. Gontai. Tiba-tiba isteriku berteriak, “Pos tujuh”. Segera kukerahkan seluruh kemampuanku untuk segera mengejar isteriku. Tepat satu jam selepas meninggalkan pos 5 kami menemukan selter pos tujuh, atau Samyang Jampang[2]. Saat kakiku melangkah memasuki selter kulirik jam tanganku yang menunjuk angka 17.00. Teman dari Jakarta telah usai mendirikan tenda. Maka, aku pun segera menyusul untuk mendirikan tenda. Agar bisa cepat ganti pakaian kering dan menghangatkan diri dalam dekapan nyaman tendaku.
bersama rombongan jkt
Di
luar selter kilau langit menari molek memamerkan daya mistisnya. Panorama
gugusan cemerlang bintang malam mampu merayuku untuk tidak peduli dengan udara
dingin malam. Kunikmati indahnya untuk beberapa saat. Isteriku telah mendahului
lelap. Kisah demi kisah menemani asiknya malam pegunungan. Hingga akhirnya
lelah raga tak lagi mampu bertahan untuk bercengkerama dalam dekapan persahabatan.
Aku pun pamitan untuk mendahului istirahat. Niat hati untuk mengais energi
malam, agar esok pagi memperoleh daya untuk melanjutkan kisah.
Kurebahkan
raga saat waktu bertengger pada titik 21.00. Namun belum juga raga mendulang
tenaga, serombongan pendaki telah tiba. Mereka adalah pendaki lokal yang tidak
membawa tenda. Mereka istirahat di sebelah tendaku. Tetapi ada beberapa
diantaranya yang memilih menikmati malam. Mereka membikin api unggun, lalu
nyaman di bawah selimut langit malam. Aku sempatkan untuk menyapa mereka.
Keluar dari tenda. Basa-basi sebentar. Lalu aku pun pamitan untuk melanjutkan
mimpi.
Saat udara dingin pegunungan lagi asik menusuk tulang, rombongan pendaki lokal telah ribut untuk summit attack. Mereka berencana menyambut mentari terbit di atap tertinggi Jawa Tengah. Aku pun ikut terjaga dan tidak dapat tidur lagi. Kuputuskan untuk memasak nasi, membuat minuman hangat. Aku tidak tega membangunkan isteriku dan mengajaknya untuk mengejar sunrise di puncak Slamet. Ia nampak lelap dan nyaman dalam dekapan sleeping bag. Hal ini juga dikarenakan satu fakta, kalau hanya ingin menikmati keindahan sunrise cukup di depan selter pos tujuh. Aku keluar tenda, kulihat tanda-tanda alam tidak mengijinkan mentari fajar memamerkan kilau cahaya emasnya. Dari pengalaman kuberanikan untuk mengambil kesimpulan bahwa hari ini tidak akan ada keindahan sunrise.
Saat
waktu menunjuk angka 05.00, kilau emas cahaya fajar membangunkan harapanku
untuk bertemu dengan indah sunrise.
Lalu, kubangunkan isteriku. Sambil menikmati roti bakar dan minuman hangat,
kami menantikan keindahan mentari terbit. Tetapi tanda-tanda alam menunjukkan
bahwa hari ini hal itu tidak akan terjadi. Tubuh kami mulai merasa kedinginan.
Untuk mengatasinya, kami harus berjalan, melakukan kegiatan fisik. Hal inilah
yang mendorong kami untuk segera meninggalkan selter tujuh. Tepat pukul 05.30,
kami berangkat untuk menikmati indah alam Indonesia dari ketingian Slamet.
Semburat merah masih memberi harapan, maka melesatlah langkah kami untuk segera
sampai di pos delapan dengan harapan matahari mau memperlihatkan moleknya.
Hanya
10 menit kami telah tiba di pos 8 atau
Samyang
Kendit. Ternyata, di sini tempatnya sangat terbuka dan tidak ada
shelter, sehingga sangat tidak cocok untuk camp. Awan berarak dan menyelimuti
kuning cahaya mentari. Hal ini menyakinkan kami untuk tidak lagi berharap
ketemu indah sunrise pegunungan. Aku
dan isteriku pun memperlambat langkah agar keindahan ketinggian Slamet bisa
kami nikmati secara pelan. Akhirnya, tepat pukul 06.00 kami telah tiba di pos 9
atau pos Palawangan. Angin berhembus dengan kencang. Di sini merupakan batas
vegetasi. Batas akhir adanya tumbuhan. Di hadapan kami terhampar gundukan pasir
bebatuan. Medan yang terjal dengan pasir tajamnya siap menyambut kami. Namun
kami tinggal menghitung langkah maka kami akan disambut atap tertinggi Jawa Tengah.
Semangat pun berkobar. Tenaga
menjadi berlipat. Kaki-kaki pun dengan kokoh melesatkan raga untutk segera
menggapai puncak. Isteriku memimpin di depan. Langkahnya lebih yakin dari pada
saat menapaki gunung Semeru. Padahal medan ini lebih berbahaya dari Semeru.
Kutahu kalau sampai terjatuh maka kulit akan tergores dan terluka. Sesekali
kami menengok ke belakang, terlihat gugusan pegunungan deret timur berjajar
rapi indah mempesona. Kabut tipis yang berpadu dengan biru pengunungan Dieng,
Sindoro, Sumbing dan Merapi. Harmoni dan sungguh dahsyat indahnya.
Nafas yang tersengal, kaki yang mulai kulai terobati saat tapak menginjak pos Benteng pada waktu 06.50. Di sini merupakan puncak yang berupa deret batuan. Seolah sengaja disusun memanjang hingga mirip benteng. Dari sini perjalanan ke puncak tinggal 5 menit menuju arah kanan. Hari ini, Jumat tanggal 03 Januari 2014, kelegaan yang tidak terbahasakan keluar dari hati yang memancar melewati ubun-ubun ketika kaki-kaki lemah kami berlutut-sujud pada titik Triangulasi (puncak). Segera kukatupkan tangan dan kupejamkan mata untuk sejenak hening, melambungkan doa, bersyukur, berterimakasih pada Yang Kuasa atas rahmat-Nya, kutitipkan permohonan untuk kedamaian arwah para pendahulu yang gugur dalam perjuangannya menggapai indah gunung Slamet. Kulihat istriku pun bersimpuh, meluapkan kegembiraannya dalam doa syukur. Aku sampai terharu melihat expresi kebahagiaan isteriku.
Sekitar 20 menit kami memiliki waktu
untuk bercengkerama dengan indah panorama puncak Slamet. Tidak ada pendaki
lain. Seolah Slamet merestui kami berdua untuk memuaskan dahaga nurani. Saat
mata terpana melihat lukisan alam yang menunjukkan pantai utara dan selatan
Jawa, aku seolah terangkat berdiri bagai sang penguasa alam. Namun tak berapa
lama, aku tertunduk menyadari kekecilanku dan menyadari kemahakuasaan Tuhan
Penciptaku. Bahagia rasa hati diberi kesempatan untuk berdiri kokoh memandang
lautan luas dari ketinggian kedua pulau Jawa. Menjadikanku terpesona sekaligus
menganga, tidak dapat berucap selain decak kagum dan syukur yang tulus.
Trimakasih Tuhan.
Sekitar 30 menit aku dan isteriku
terpesona dengan alam, lalu kami pun melanjutkan langkah untuk melihat indah
sisi lain gunung Slamet. Kami turun ke segoro
wedi lalu menikmati panorama kawah yang masih aktif mengeluarkan asap
belerang. Tenggorokanku tidak tahan begitu pula dengan isteriku, maka kami pun
tidak berapa lama berada di sana. Segera mengambil langkah untuk kembali ke
puncak. Istirahat sebentar sambil menikmati bekal yang kami bawa. Berlindung di
bawah puncak Benteng, kami bertemu dengan beberapa rombongan. Saling bertegur
sapa, mengucapkan salam, mendukung dan ikut merasakan eufhoria, kepuasan batin karena berhasil mengalahkan kelemahan diri
demi menggapai puncak Slamet.
Setelah puas menikmati indah panorama
gunung Slamet, kami pun turun tepat pada jam 08.15. Waktu tempuh perjalanan turun
tidak selama ketika naik. Hanya membutuhkan waktu 60 menit, kami pun tiba di
pos 7. Pukul 09.15 kami tiba. Segera kami menyiapkan sarapan. Kurencanakan
untuk meninggalkan pos tujuh tepat pukul 11.00. Belum sempat kami menikmati
sarapan pagi hasil racikanku, berupa nasi dengan lauk ikan asin dan telur
goreng, rombongan Lampung dan Jakarta juga telah sampai di pos. Lalu kami pun
sama-sama menyempurnakan persiapan sarapan pagi. Kebersamaan menikmati makanan
ala kadarnya pun serempak semakin mengikat hati kami untuk semakin bersaudara.
Rombongan teman Lampung dan Jakarta berencana untuk langsung turun ke basecamp. Sedangkan aku dan isteriku, ingin menambah satu malam di pos 5. Akhirnya tepat pukul 11.30, aku berpamitan untuk turun lebih dulu. Saat waktu menunjuk angka 12.00, kami pun tiba di pos 5. Di sini masih ada beberapa tenda. Teman-teman dari Bekasi yang berencana akan turun hari ini masih menikmati keindahan Slamet. Aku pun menunggu sampai ada tempat untuk mendirikan tenda di dalam selter.
Untuk mengisi waktu, segera aku turun
kebawah untuk mengambil air. Hal ini aku lakukan karena tanda-tanda langit akan
mengucurkan air rahmatnya. Setelah air aku dapatkan, hujan yang tidak terlalu
deras pun tiba. Teman-teman dari Lampung dan Jakarta nekat hujan-hujannya.
Mereka menyempatkan diri untuk pamitan dengan aku serta isteriku. Teman-teman
Bekasi tidak segera packing, karena rintik hujan menjadi semakin lebat. Mereka
masih menunggu. Hingga akhirnya aku dan isteriku berinisiatif membersihkan
selter yang telah berubah menjadi sangat kumuh, dipenuhi dengan sampah. Terutama
sampah pendakian malam tahun baru yang lalu. Sekitar tiga jam aku dan isteriku
bekerjasama untuk membakar sampah. Minimal mengurangi pemandangan yang kurang
sedap tersebut.
Sekitar jam 15.00, tenda berhasil aku dirikan. Kusiapkan masakan untuk makan malam nanti. Menu spesialpun aku buat. Nasi dengan lauk mi bakso serta telur rebus siap mengisi perut kami. Di luar hujan rintik-rintik masih terus menemani. Dalam suasana dingin bertemankan rintik hujan itu, ada beberapa rombongan yang merapat di pos 5 ini. Mereka adalah rombongan dari Bogor, Malang dan Pekalongan serta Jakarta. Semua lanjut ke pos 7, hanya rombongan Bogor yang bertahan dan menemani kami di pos 5. Terimakasih teman.
Udara kian menusuk tulang. Tidak berapa
lama, isteriku telah lelap dalam tidurnya. Waktu masih terlalu muda untuk
menghantar mimpi. Akupun menikmati keindahan malam. Suasana khas dingin
pegunungan sungguh aku nikmati bersama dengan segelas kopi kental hitam manis.
Hening malam yang dihiasi kilau bintang malam membiusku untuk segera rebah
menyongsong bidadari penjaga mimpi. Akhirnya, sekitar pukul 20.30 aku pun masuk
dalam kantung tidurku untuk nyaman istirahat di sana.
Di tengah lelap tidurku, tiba-tiba menjadi sangat berisik. Suasana pos 5 menjadi sangat ramai. Ternyata, ada rombongan pendaki dari Banyumas sebanyak 16 pemuda yang datang. Akupun keluar tenda untuk menyapa dan berbagi pengalaman tentang pendakian. Mereka berencana untuk menginap di pos ini. Lalu, skitar pukul 23.30, aku pun pamitan untuk meneruskan mimpi. Hingga pagi menjelang saat mentari pagi memamerkan kilau cahaya emasnya, aku pun terjaga.
Pagi ini, Sabtu tanggal 04 Januari 2014, kami penuh harap dapat menemukan sunrise dari pos mata air. Semburat merah di ufuk timur menguatkan harapan. Hari ini, pasti kami akan berjumpa dengannya. Ketika bulat telur baru menunjukkan ujungnya, tiba-tiba awan berarak menyembunyikkannya kembali. Aku agak sedikit kecewa karena tidak mampu menatapnya. Mungkin sunrise sengaja bersembunyi. Agar aku selalu merindu untuknya. Sensasi alam di fajar hari begitu beragam. Yang indah tidak hanya lahirnya sang surya. Panorama pantulan cahaya matahari pagi dapat mengobati kekecewaanku itu.
Setelah mentari pagi dengan pesonanya
mampu puaskan dahaga hati, teman-teman dari Banyumas mulai merangkak menuju
puncak, aku dan isteriku pun mulai berkemas. Sarapan telah siap. Menu spesial
di akhir petualangan, mie-bakso ikan tuna dengan telur menutup racikan resep
istimewa pendakian. Dengan cekatan isteriku membantu mengemasi perlengkapan
pendakian. Tepat pukul 08.30, kami meninggalkan kenangan dalam sejarah
keabadian gunung Slamet di pos mata air.
Cuaca cukup bersahabat, mentari bersinar dengan gagah menemani langkah mundur kami. Setapak yang masih basah karena perjalanan yang terlalu pagi tidak menyurutkan nyali untuk segera kembali ke kehidupan yang manusiawi. Hanya 15 menit kaki-kaki lemah kami telah menapak di pos Samarantu. Sekitar 5 menit kami beristirahat untuk sejenak menghela nafas. Petualangan pun kami lanjutkan. 25 menit cukup menghantar langkah kami menuju pos 3. Di pos ini, kami beristirahat cukup lama. Hingga tanda-tanda alam memberi sinyal, kami harus kembali melangkah. Kabut merangkak naik dengan cepat. Lebat pepohonan yang diselimuti kabut tebal menjadikan suasana hutan bagaikan di ujung hari. Suasana mendadak gelap. Nyaris kami tidak dapat melihat. Syukurlah itu tidak berapa lama. Mentari kembali memberi bonus cahayanya. Hingga kami pun dengan mantap kembali melangkah.
Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan 4 pendaki dari Purwokerto. Tegur-sapa mengiringi senyum persahabatan kami. Satu ungkapan jujur dari mereka, cukup meneguhkan semangatku, “Bapake sangar. Hebat. Masih mampu nanjak dengan beban se-gede itu”. “Trims yo. Moga yang muda bisa meniru”, jawabku merendah.
Tinggal beberapa langkah pos dua telah
menanti di hadapan kami. Tiba-tiba rintik hujan berhamburan. Kuyakinkan hati
bahwa ini hanya kabut yang terlalu pekat sehingga menjadi titik-titik air.
Tepat pukul 10.00 kami tiba di pos Pondok Walang. Bersamaan dengan itu hujan turun
dengan lebatnya. Kami keluarkan jas hujan dan segera melindungi diri dengannya.
Setapak menjadi selokan. Aliran air menengelamkan lemah kaki-kaki kami hingga
batas lutut. Perjalanan pun semakin lambat. Aku tahu bahwa ini adalah medan
paling berat untuk isteriku. Ia begitu takut dengan setapak licin. Beberapa
kali ia pun terjerembab. Dengan sabar kuikuti langkah mungil kakinya. Kendati
tas kerirku yang membasah kian berat hingga pundakku semakin mati rasa. Namun
aku terus berjuang untuk tidak memaksa jalan cepat. Aku terus berjuang untuk
berada di belakang isteriku. Di tengah perjalan kami berjumpa dengan banyak
pendaki. Tidak ada satu pun yang melaju terus. Mereka memilih berteduh di bawah
pohon-pohon raksasa. Hujan sungguh lebat. Aku berharap sebelum mencapai pos
satu, hujan telah reda. Tetapi harapan itu kelihatannya jauh dari nyata.
Tubuh yang basah kuyup dengan udara
pegunungan yang berhembus dengan kencang menjadikan raga ini bergetar
kedinginan. Hujan juga belum reda, kuputuskan untuk kembali melangkah agar
tubuh beraktifitas dan menjadi hangat. Tepat pukul 11.30, kaki-kaki kamipun
melanjutkan kisah. Setapak tetap menjadi selokan. Aliran air yang membawa
kerikil-kerikil tajam mampu merobek kaos kaki kami dan meninggalkan luka. Rasa
perih bercampur dengan tenaga yang menipis semakin melambatkan langkah. Namun
semangat isteriku untuk segera memperoleh kehangatan tuan rumah di basecamp
mampu mendongkrak semangat yang tersisa.
Rintik hujan melambat. Pandangan mata menjadi terang. Sehingga kami mampu menikmati hijau ladang penduduk. Yang berarti basecamp sudah tidak jauh lagi. Kami semakin bersemangat. Genting-genting penduduk sudah di depan mata, maka kami kian bergegas untuk segera bernaung di bawahnya. Hujan kian mereda dan kami dihadapkan pada sisanya. Sungai di batas ladang dan pemukiman telah meluap. Wajah isteriku nampak ketakutan. Lalu aku melangkah pertama, ternyata sungainya tidak terlalu dalam, hanya sebatas lutut. Petualangan yang sempurna. Menyeberangi sungai menutup petualangan ini. Dan tepat pukul 12.30 kami telah kembali berada di basecamp dengan selamat.
Rasa syukur memenuhi hati kami. Di basecamp ini, kami bertemu dengan rombongan dari Surabaya yang sekitar 6 bulan lalu telah melakukan petualangan bersama, menapaki Merbabu via Selo. Ternyata dunia ini memang sempit. Segera aku dan isteriku berganti pakaian kering agar tubuh menghangat. Makan siang pun menjadi sumber kebahagiaan kami. Obrolan dengan tuan rumah yang akrab memberi banyak informasi. Yang salah satunya adalah angkotan menuju kota perlu dinaiki banyak penumpang. Niat hati untuk segera kembali ke Solo terpaksa tertunda. Kami harus menunggu barengan. Pukul 14.00 satu rombongan dari Jakarta sejumlah 4 personil telah tiba. Mereka berencana untuk juga segera kembali ke Purwokerto. Akhirnya kami sepakat untuk carter satu mobil. Aku dan isteriku harus menunggu teman-teman dari Jakarta berganti pakaian dan makan. Cukup lama. Tepat pukul 16.00 kami meninggalkan basecamp menuju Purwokerto yang selanjutnya menuju kota Solo tercinta.
Petualangan hutan belantara berganti dengan petualagnan alam perkotaan dengan ancaman sesama manusia yang kurang bersahabat. Di terminal Purwokerto, kami dihadang oleh para calo. Mereka menawarkan tiket ke Solo dengan harga paling murah Rp. 75.000. Selisih Rp 25.000 dari ongkos keberangkatan kami. Lalu, kami putuskan untuk mencari sendiri bis yang bisa menghantar kami ke Solo dengan harga paling rendah. Mencari informasi tidak hanya satu sumber agar kekayaan referensi bisa menjadi acuan dalam mengambil keputusan. Akhirnya, kami memilih bis malam Mandala, bis AC tarif ekonomi, cukup Rp 50.000. Sebagaimana bis ekonomi yang lainnya, jalan merayap bagaikan keong. Meninggalkan Purwokerto pukul 18.15 dan tiba di Solo pukul 00.30. Lebih dari enam jam.
Kami sungguh bersyukur bisa mengalami petualangan menziarahi hidup kami. Bercermin dari setapak gunung Slamet, kami menemukan diri. Tidak selama diri yang lemah harus kalah. Kekuatan motivasi mampu mendongkrak kelemahan nurani. Diri yang egois tidak sebanding dengan bahagia karena kerelaan berbagi. Persoalan dan permasalahan hidup tidak sebanding dengan keceriaan karena sebuah canda. Petualangan, perjumpaan, persahabatan dan keindahan alam gunung Slamet membantu melahirkan harapan bahwa memberi lebih menjanjikan untuk merasakan dan memperoleh kedamaian hati. Terimakasih Slamet, karena engkau telah memberi dan kami akan selalu rindu untuk kembali. Kembali menimba kedamaian hati juga kebahagiaan hakiki darimu. Tuhan punya rencana bagi kami. Salah satunya dengan melewati setapakmu. Maka tunggulah kami untuk menyusurinya lagi.
Saat udara dingin pegunungan lagi asik menusuk tulang, rombongan pendaki lokal telah ribut untuk summit attack. Mereka berencana menyambut mentari terbit di atap tertinggi Jawa Tengah. Aku pun ikut terjaga dan tidak dapat tidur lagi. Kuputuskan untuk memasak nasi, membuat minuman hangat. Aku tidak tega membangunkan isteriku dan mengajaknya untuk mengejar sunrise di puncak Slamet. Ia nampak lelap dan nyaman dalam dekapan sleeping bag. Hal ini juga dikarenakan satu fakta, kalau hanya ingin menikmati keindahan sunrise cukup di depan selter pos tujuh. Aku keluar tenda, kulihat tanda-tanda alam tidak mengijinkan mentari fajar memamerkan kilau cahaya emasnya. Dari pengalaman kuberanikan untuk mengambil kesimpulan bahwa hari ini tidak akan ada keindahan sunrise.
dari dpn selter post 7
Nafas yang tersengal, kaki yang mulai kulai terobati saat tapak menginjak pos Benteng pada waktu 06.50. Di sini merupakan puncak yang berupa deret batuan. Seolah sengaja disusun memanjang hingga mirip benteng. Dari sini perjalanan ke puncak tinggal 5 menit menuju arah kanan. Hari ini, Jumat tanggal 03 Januari 2014, kelegaan yang tidak terbahasakan keluar dari hati yang memancar melewati ubun-ubun ketika kaki-kaki lemah kami berlutut-sujud pada titik Triangulasi (puncak). Segera kukatupkan tangan dan kupejamkan mata untuk sejenak hening, melambungkan doa, bersyukur, berterimakasih pada Yang Kuasa atas rahmat-Nya, kutitipkan permohonan untuk kedamaian arwah para pendahulu yang gugur dalam perjuangannya menggapai indah gunung Slamet. Kulihat istriku pun bersimpuh, meluapkan kegembiraannya dalam doa syukur. Aku sampai terharu melihat expresi kebahagiaan isteriku.
Rombongan teman Lampung dan Jakarta berencana untuk langsung turun ke basecamp. Sedangkan aku dan isteriku, ingin menambah satu malam di pos 5. Akhirnya tepat pukul 11.30, aku berpamitan untuk turun lebih dulu. Saat waktu menunjuk angka 12.00, kami pun tiba di pos 5. Di sini masih ada beberapa tenda. Teman-teman dari Bekasi yang berencana akan turun hari ini masih menikmati keindahan Slamet. Aku pun menunggu sampai ada tempat untuk mendirikan tenda di dalam selter.
Sekitar jam 15.00, tenda berhasil aku dirikan. Kusiapkan masakan untuk makan malam nanti. Menu spesialpun aku buat. Nasi dengan lauk mi bakso serta telur rebus siap mengisi perut kami. Di luar hujan rintik-rintik masih terus menemani. Dalam suasana dingin bertemankan rintik hujan itu, ada beberapa rombongan yang merapat di pos 5 ini. Mereka adalah rombongan dari Bogor, Malang dan Pekalongan serta Jakarta. Semua lanjut ke pos 7, hanya rombongan Bogor yang bertahan dan menemani kami di pos 5. Terimakasih teman.
sun rise k 2
Di tengah lelap tidurku, tiba-tiba menjadi sangat berisik. Suasana pos 5 menjadi sangat ramai. Ternyata, ada rombongan pendaki dari Banyumas sebanyak 16 pemuda yang datang. Akupun keluar tenda untuk menyapa dan berbagi pengalaman tentang pendakian. Mereka berencana untuk menginap di pos ini. Lalu, skitar pukul 23.30, aku pun pamitan untuk meneruskan mimpi. Hingga pagi menjelang saat mentari pagi memamerkan kilau cahaya emasnya, aku pun terjaga.
Pagi ini, Sabtu tanggal 04 Januari 2014, kami penuh harap dapat menemukan sunrise dari pos mata air. Semburat merah di ufuk timur menguatkan harapan. Hari ini, pasti kami akan berjumpa dengannya. Ketika bulat telur baru menunjukkan ujungnya, tiba-tiba awan berarak menyembunyikkannya kembali. Aku agak sedikit kecewa karena tidak mampu menatapnya. Mungkin sunrise sengaja bersembunyi. Agar aku selalu merindu untuknya. Sensasi alam di fajar hari begitu beragam. Yang indah tidak hanya lahirnya sang surya. Panorama pantulan cahaya matahari pagi dapat mengobati kekecewaanku itu.
Cuaca cukup bersahabat, mentari bersinar dengan gagah menemani langkah mundur kami. Setapak yang masih basah karena perjalanan yang terlalu pagi tidak menyurutkan nyali untuk segera kembali ke kehidupan yang manusiawi. Hanya 15 menit kaki-kaki lemah kami telah menapak di pos Samarantu. Sekitar 5 menit kami beristirahat untuk sejenak menghela nafas. Petualangan pun kami lanjutkan. 25 menit cukup menghantar langkah kami menuju pos 3. Di pos ini, kami beristirahat cukup lama. Hingga tanda-tanda alam memberi sinyal, kami harus kembali melangkah. Kabut merangkak naik dengan cepat. Lebat pepohonan yang diselimuti kabut tebal menjadikan suasana hutan bagaikan di ujung hari. Suasana mendadak gelap. Nyaris kami tidak dapat melihat. Syukurlah itu tidak berapa lama. Mentari kembali memberi bonus cahayanya. Hingga kami pun dengan mantap kembali melangkah.
Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan 4 pendaki dari Purwokerto. Tegur-sapa mengiringi senyum persahabatan kami. Satu ungkapan jujur dari mereka, cukup meneguhkan semangatku, “Bapake sangar. Hebat. Masih mampu nanjak dengan beban se-gede itu”. “Trims yo. Moga yang muda bisa meniru”, jawabku merendah.
ingat kenangan baiknya saja
Tertatih dan semakin melambat kaki ini
melangkah. Harapanku untuk menatap selter pos satu semakin menyiksa batinku.
Semakin kuharap, semakin lama ia terlihat. Hingga akhirnya, tepat pukul 11.15
kami telah berada di bawah atap selter pos Pondok Gembirung. Di pos ini ada
sekelompok pendaki yang berniat hanya happy
camp. Mereka memenuhi selter dengan acara masak-masak. Aroma masakan mereka
mampu membangunkan naga dalam perutku. Hujan belum reda. Malah semakin
bersemangat memuntahkan air ke bumi. Kuputuskan untuk beristirahat di sini. Aku
berharap pundakku sedikit bernafas. Kukeluarkan bekal yang masih tersisa.
Beberapa kue coklat mampu menjinakkan naga dalam perutku. Isteriku masih bisa
tersenyum, berarti ia akan mampu bertahan.Rintik hujan melambat. Pandangan mata menjadi terang. Sehingga kami mampu menikmati hijau ladang penduduk. Yang berarti basecamp sudah tidak jauh lagi. Kami semakin bersemangat. Genting-genting penduduk sudah di depan mata, maka kami kian bergegas untuk segera bernaung di bawahnya. Hujan kian mereda dan kami dihadapkan pada sisanya. Sungai di batas ladang dan pemukiman telah meluap. Wajah isteriku nampak ketakutan. Lalu aku melangkah pertama, ternyata sungainya tidak terlalu dalam, hanya sebatas lutut. Petualangan yang sempurna. Menyeberangi sungai menutup petualangan ini. Dan tepat pukul 12.30 kami telah kembali berada di basecamp dengan selamat.
Rasa syukur memenuhi hati kami. Di basecamp ini, kami bertemu dengan rombongan dari Surabaya yang sekitar 6 bulan lalu telah melakukan petualangan bersama, menapaki Merbabu via Selo. Ternyata dunia ini memang sempit. Segera aku dan isteriku berganti pakaian kering agar tubuh menghangat. Makan siang pun menjadi sumber kebahagiaan kami. Obrolan dengan tuan rumah yang akrab memberi banyak informasi. Yang salah satunya adalah angkotan menuju kota perlu dinaiki banyak penumpang. Niat hati untuk segera kembali ke Solo terpaksa tertunda. Kami harus menunggu barengan. Pukul 14.00 satu rombongan dari Jakarta sejumlah 4 personil telah tiba. Mereka berencana untuk juga segera kembali ke Purwokerto. Akhirnya kami sepakat untuk carter satu mobil. Aku dan isteriku harus menunggu teman-teman dari Jakarta berganti pakaian dan makan. Cukup lama. Tepat pukul 16.00 kami meninggalkan basecamp menuju Purwokerto yang selanjutnya menuju kota Solo tercinta.
Petualangan hutan belantara berganti dengan petualagnan alam perkotaan dengan ancaman sesama manusia yang kurang bersahabat. Di terminal Purwokerto, kami dihadang oleh para calo. Mereka menawarkan tiket ke Solo dengan harga paling murah Rp. 75.000. Selisih Rp 25.000 dari ongkos keberangkatan kami. Lalu, kami putuskan untuk mencari sendiri bis yang bisa menghantar kami ke Solo dengan harga paling rendah. Mencari informasi tidak hanya satu sumber agar kekayaan referensi bisa menjadi acuan dalam mengambil keputusan. Akhirnya, kami memilih bis malam Mandala, bis AC tarif ekonomi, cukup Rp 50.000. Sebagaimana bis ekonomi yang lainnya, jalan merayap bagaikan keong. Meninggalkan Purwokerto pukul 18.15 dan tiba di Solo pukul 00.30. Lebih dari enam jam.
Kami sungguh bersyukur bisa mengalami petualangan menziarahi hidup kami. Bercermin dari setapak gunung Slamet, kami menemukan diri. Tidak selama diri yang lemah harus kalah. Kekuatan motivasi mampu mendongkrak kelemahan nurani. Diri yang egois tidak sebanding dengan bahagia karena kerelaan berbagi. Persoalan dan permasalahan hidup tidak sebanding dengan keceriaan karena sebuah canda. Petualangan, perjumpaan, persahabatan dan keindahan alam gunung Slamet membantu melahirkan harapan bahwa memberi lebih menjanjikan untuk merasakan dan memperoleh kedamaian hati. Terimakasih Slamet, karena engkau telah memberi dan kami akan selalu rindu untuk kembali. Kembali menimba kedamaian hati juga kebahagiaan hakiki darimu. Tuhan punya rencana bagi kami. Salah satunya dengan melewati setapakmu. Maka tunggulah kami untuk menyusurinya lagi.
[1] Pos ini merupakan pos favorit para
pendaki. Hal ini dikarenakan ada shelter
yang bisa menampung 2 tenda dan balai yang bisa dipakai tidur 7 orang, di
sekitar pos juga banyak terdapat tempat untuk mendirikan tenda. Di depan Pos 5
kita bisa melihat pemandangan yang indah gunung Sindoro-Sumbing dan pegunungan
sekitarnya, serta gumpalan-gumpalan awan yang mirip kapas disusun rapat.
[2]
Di pos ini terdapat shelter yang mampu menampung 2 tenda, dan ada balai, disekitar shelter
tempatnya cukup luas cukup untuk 3 tenda. Dari tempat ini, pemandangan cukup
menarik. Sangat cantik. Panorama gugusan pegunungan di sebelah timur, dari
pegunungan Dieng, Sindoro, Sumbing dan Merapi nampak jelas dihamparan padang
awan putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar