Rabu, 29 Mei 2013

LEBAT BELUKAR MENUJU LAWU VIA CETHO


LEBAT BELUKAR MENUJU LAWU VIA CETHO
Oleh: Heri

Berbekal satu tekat untuk ambil bagian dalam suasana sakral saudara-saudaraku umat Budha, kutetapkan hari untuk menyatukan hati dalam hening pegunungan Lawu[1]. Aku ingin berbagai proses menuju ke Yang Ilahi dalam khusuk hening hari raya waisak. Rencana pendakian telah kususun rapi, rapat, padat dan tersistematis. Dua minggu cukup untuk menyusun langkah, baik persiapan fisik, mental maupun dana yang akan menopangnya.
        Mulanya banyak yang berminat, kemudian menyusul kesepakatan untuk mendaki bersama. Tiba hari yang ditentukan, jumlah aggota yang pasti berangkat hanya empat orang. Mereka adalah aku pribadi (Heri yang sering dipanggil “pak”, walau aku sendiri tidak  nyaman dengan panggilan itu. Namun mereka yang memanggil seperti itu telah merasa nyaman. Maka aku tidak akan mengganggu kenyamanan para sahabat), lalu ada istriku (Regina Nunuk), dua teman yang lain adalah Thomas Agung (yang kelihatan lebih bangga dipanggil Timbul) dan Yudi (aktor penguat dalam pendanaan kegiatan ini).

        Jam enam pagi, di hari Sabtu, 25 Mei 2013 ketika saudara Budhis telah larut dalam doa merayakan Waisak, kulajukan sepeda motor menuju base camp (SMA Santo Yosef Surakarta merupakan sekolah tempatku mengais rejeki). Tiba di sana, Timbul dan Yudi belum terlihat. Maka, aku putuskan untuk mengisi perut. Aku makan dengan oseng pare dan tempe goreng sedangkan istriku menikmati soto dengan tempe goreng juga. Usai sarapan dan sambil menikmati segelas kopi, munculah Yudi kemudian tidak berapa lama Timbul telah menyusul. Jam tujuh pagi, akhirnya kami berempat meninggakan Solo menuju Karangpandan, guna melengkapi logistik perbekalan.
        Satu jam perjalanan, sampailah kami di Karangpandan. Di sini adalah tempat terakhir untuk belanja logistik dan di sini segala perlengkapan dapat terpenuhi. Aku sempat kecewa karena bakso instan yang kurencanakan sebagai menu istimewa sekaligus menu spesial tidak ada stoknya. Sebagai pengobat rasa kecewa kubeli jeruk tiga kilo. Tidak ada niatan untuk jualan jeruk sepanjang pendakian tetapi aku yakin bahwa jeruk selain serat tinggi untuk membantu alat pencernaan agar tidak cepat kram dan gangguan pencernaan lainnya juga kaya vitamin C yang berguna untuk meperkuat daya imun tubuh. Tiga kilo jeruk untuk empat orang, aku rasa cukup.
 
        Setelah dirasa cukup dalam urusan belanja perbekalan, perjalanan dilanjutkan lagi menuju candi Cetho, sekaligus beskem pendakian[2]. Hanya butuh watu 45 menit untuk mencapainya. Sepanjang perjalanan, mata dimanjakan dengan indahnya luas perkebunan teh. Ratusan hektar kebun teh, sangat-sangat indah karena tertata rapi, hijau dan permai. Jalan yang berliku, bekelok, menanjak dengan tepian jalan yang masih perawan, belum banyak rumah-rumah penduduk, menjadikan mata langsung menatap jurang, curam jalanan sehingga nyalipun tiba-tiba menciut. Rasa lega dan bangga terbayar ketika kami disambut ramah senyum penduduk penjaga pintu masuk pendakian. Beskem Cetho masih sangat sepi. Bahkan retribusi pendakianpun belum ada. Sehingga kami dalam pendakian ini, tanpa asuransi dan jaminan. Di beskem ini, sudah ada tikar untuk pembaringan guna mengistirahatkan tubuh yang capek karena perjalanan. Kalau yang menghendaki makan dengan menu istimewa pun sudah tersedia yaitu lontong dengan lauk sate kelinci atau sate ayam.

        Usai ngorol-ngobrol dengan penjaga beskem, tepat jam 09.30 kami memulai pendakian. Mengawali misi ini, kami sangat santai karena sesungguhnya kami sedang terpesona. Kami disajikan warisan budaya Majapahit[3], sebuah candi yang masih terjaga keasriannya. Candi Cetho ini, sampai sekarang masih dipergunakan untuk tempat sembahyang. Waktu itu, aku masih mencium harum bau dupa-ratus dan kemenyan yang menghantar sanubari untuk sejenak hening menyadari kekerdilan di hadapan Sang Pencipta.





Sekitar seperempat jam meninggalkan candi Cetho kami dipertemukan dengan warisan budaya Majapahit yang lainnya yaitu, candi Ketek. Di sini kamipun menyempatkan diri untuk berfoto-foto, sebuah langkah sederhana untuk mensejarahkan kehidupan.


Menyisir jalan setapak sebelah kiri candi Ketek, kami bertemu dengan pesimpangan menuju ladang penduduk. Kami memilih jalur kanan. Jalanan setapak yang diselimuti belukar telah menyambut kami. Jarangnya pendaki melewati jalur inilah yang menyebabkan semak-belukar berhasil menutup lagi jalanan tersebut. Nafas mulai tersengal, karena tenaga ganda yang harus kami keluarkan, menopang beban perbekalan dan sekaligus mengayunkan langkah untuk menyibak belukar. Tepat satu jam dari Cetho, kami tiba di pos satu. Pos satu ini, hayalah sebuah selter, perhentian sementara. Di sini ada bedeng sederhana, dari bekas-bekas spanduk yang mulai compang-camping. Di depan pos I lumayan untuk menikmati panorama alam, dengan catatan: kalau tidak ada kabut. Kami istirahat sebentar dan menikmati bekal seadanya.

Rencana jam 11 untuk melanjutkan perjalanan menuju pos berikutnya terpaksa tertunda. Setelah kami siap berjalan, hujanpun turun dengan santainya. Seolah mengejek kami untuk tidak meneruskan laju. 15 menit menunggu dan hujanpun berhenti. Dengan segera kami meninggalkan pos I. Baru lima menit berjalan, hujan turun dengan lebat dan derasnya. Tanpa toleransi. Segera kami  pun mengenakan seragam anti air. Tetapi tetap basah juga. Sepatu water proof pun menjadi tandon air, sehingga kaki bagaikan sengaja direndam, air masuk dan tidak mau keluar lagi. Berjalan dalam situasi belukar yang lebat, hujan deras, setapak berubah menjadi saluran air, memaksa kami untuk berloba mencium tanah dan perdu. Kami bergiliran untuk terjatuh dan terjatuh.perlombaan itu aku yakin yang menang adalah Yudi, karena ia yang paing sering jatuh (gara-gara sepatu baru).
Beban berat yag menindih pundakku kian terasa berat, aku yakin berat tas kerirku berubah menjadi 25 kiloan, karena SB telah berubah menjadi resapan air. Langkah tertatih, pelan dan sempoyongan. Kendati demikian kami tetap yakin bahwa ketika kaki tetap mau melagkah maka perjalanan itu pun akan selesai, karena perjalanan ribuan kilo mesti dilewati dengan langkah demi langkah. Akhirnya, jam 12.30 kami tiba di pos II[4]. Aku dengan istriku tiba lebih awal, sedangan Yudi harus menyeret kakinya, karena telah kram. Perjalanan semakin melambat. Yudi ditemani oleh Timbul. Mereka berdua, terus berteriak untuk memberi kode, aku dan istriku pun senantiasa menyambut teriakan mereka dan kami pun meninggalkan jejak yang tidak mungkin keliru, yaitu kulit jeruk (sisa asupan nutrisi, gisi dan energi).

Nafas kami memburu oksigen untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Maka kami putuskan untuk istirahat beberapa menit, sambil menunggu hujan mereda. 20 menit kami menikmati suasana pos II, senda gurau, canda tawa menjadi pelarian atas raga yang mulai lelah. Tepat jam 13.00, kami melanjutkan petualangan. Ketidaktahuan menjadi kekuatan kami untuk bersandar pada solidaritas dan persaudaraan. Medan pendakian semakin menanjak. Untungnya hutan masih terjaga, sehingga terasa bagai dalam naungan payung keagungan. Keindahan itu diperkuat dengan taburan bunga hutan warna-warni. Separo medan tempur dari pos II menuju pos III merupakan sisa kebakaran. Namun pepohonan yang meranggas kering dan hitam itu telah membangunkan kehidupan baru. Perdu, semak dan tanaman hutan lainnya tumbuh dengan suburnya. Saat ini, mereka baru berlomba memamerkan keindahan kembangnya.

Sesekali kami terkapar, berbaring di atas tanah basah karena raga tak lagi mampu bekerjasama dengan niat. 1,5 jam cukup bagi kami untuk mengalami pergulatan dengan keletihan, penat, keterbatasan tenaga dan situasi alam yang kurang bersahabat. Jalanan yang samar karena kabut senatiasa menemani perjalanan dan juga rapat perdu-belukar menutup setapak, licin, genangan-genangan air yang terus memaksa kami untuk jatuh mencium bumi menjadikan kami kadang surut nyali, hilang kekuatan dan gairah motivasi. Akhirnya, rasa lega memenuhi dada kami ketika samar-samar atap bangunan pos III (cemoro dowo) mulai terlihat. Di sini terdapat shelter sederhana yang beratapkan seng. Bagi mereka yang telah terkuras tenaganya dan kehilangan daya untuk terus melangkah, mereka dapat beristirahat secara nyaman karena di sini cukup untuk mendirikan 2 – 3 tenda.

        Kami beristirahat cukup lama. Di pos III ini, kami membuka perbekalan. Sejenak kami melupakan raga yang telah habis tenaga. Di sini kami mulai memasak. Resep sederhana tetapi terasa bagai racikan koki kelas internasional, mie rebus dan mie goreng dengan taburan bawang oseng juga sedikit sawi sebagai garnisnya. Segelas kopi susu untuk Timbul, segelas susu jahe untuk melegakkan dahaga Yudi, istriku menikmati air putih sedang aku tetap dengan selera tradisi, kopi hitam dengan sedikit gula. Pahit lebih nikmat.
        Satu jam berlalu dengan kegiatan masak-memasak juga waktu untuk menikmatinya. Menjelang niat hati untuk melanjutkan langkah, hujan turun dengan lebatnya. Kami mengurungkan niat dan dengan segera membuat perapian agar badan terjaga kehangatannya. Menikmati suasana hutan yang dihiasai dengan lebat tarian hujan ditambah selimut tebal kabut pegunungan. Suasana menjadi sangat eksotis. Tidak terasa dua jam kami beristirahat di pos III ini, hujan reda dan tepat pukul 16.30 kami pun melanjutkan langkah.
        Tanjakkan mulai terasa makin berat dan curam. Keadaan hutan masih sama, meranggas, kering dan hitam. Namun ada pula pohon-pohon cemara maupun akasia hutan yang besar-besar masih bertahan dan kelihatan sangat gagah. Nafas mulai tersengal kembali. Setiap nafas kami berburu oksigen, kami terhenti sejenak untuk menikmati panorama jurang dan hutan di sisi kanan, nampak sangat indah, agung dan mempesona. Pos III menuju pos IV tidak membutuhkan waktu lama, hanya 45 menit. Kami tiba di pos IV (Pengik)[5] tepat pukul 17.15. Kemudian kami beristirahat selama 15 menit. Suasana mulai gelap, maka kami melanjutkan petualangan.
        Baru beberapa langkah meninggalkan  pos IV, hujan kembali mengguyur langkah kami. Kali ini hujan begitu lebatnya. Kabut mulai meragkak naik, menutup jarak padang. Kami pun merapat dan saling mendekat agar kami tidak tercecer. Di bagian atas perbukitan nampak kilatan petir menyambar-nyambar yang semakin menyiutkan nyali. 45 menit meninggalkan pos IV kami berjumpa dengan dua pohon cemara kembar yang begitu besar. Di sini terkenal dengan sebutan gerbang alam gaib. Maka, kehatian-hatian dan sikap rendah hati untuk mengandalkan kekuatan Ilahi menjadi sangat penting. Medan makin menanjak curam. Namun kami bertekat tak kan kalah dengan kerapuhan keadaan.
        30 menit meninggalkan cemoro kembar, kami menemukan medan datar, savana. Sayang keindahan alam ini tak mampu kami nikmati secara sempurna. Suasana malam dengan selimut kabut tebal diperparah dengan hujan yang terus tertumpah menghalangi pandangan mata. 15 menit berlalu akhirnya kami menemukan pos V (Bulak Peperangan). Di pos ini, aku sempatkan untuk melihat jam tanganku dan waktu menunjuk pukul 19.00. Yudi dan Timbul jauh tertinggal di belakang. Aku dan istriku cukup lama menunggunya. Dari pos ini, kami berempat bergantian untuk menjadi personel yang paling lemah. Kami mengeluh, kami merengek. Tetapi kami masih memiliki tekat untuk terus melangkah menuju pos Hargo Dalem.
        Mulai pos ini, aku sudah tidak lagi menyempatkan diri untuk melirik arloji. Yang ada dikepalaku hanyalah “segera tiba, mendirikan tenda, memasak dan istirahat”. Savana dan savana. Hanya padang rumput yang terlihat. Sesekali diselingi tanjakan kecil. Hati makin ciut ketika kilatan petir membantu kami untuk melihat dan menyadari bahwa setapak tidak berujung. Nampak sangat-sangat jauh. Beberapa kali, ketika aku melihat genangan air yang melimpah, aku menawarkan untuk segera mendirikan tenda. Tak satupun yang menyambut tawaranku. Mereka tetap kukuh dengan tekatnya, “meskipun, walaupun dan bagaimanapun kita harus sampai puncak Hargo Dalem”.
        Tekat itulah yang akhirnya behasil mengalahkan kelemahan raga. Hingga akhirnya, kami sampai di pasar Dieng (setan). Tempat ini ditandai dengan hutan cantigi dan serakan bebatuan. Di sini juga ada banyak tumpukan batu-batu yang tersusun rapi, bagaikan tugu-tugu kecil yang menyerupai stupa. Di tempat ini, sangat mistis. Kalau tidak hati-hati, pendaki dapat tersesat. Kamipun sempat kebingungan untuk mencari rute yang menghantar ke jalur yang benar. Untungnya terang bulan purnama yang muncul dengan malu-malu setelah hujan lebat bercampur petir reda, membantu kami untuk menemukan titik tuju, yaitu puncak.
Indahnya panorama pegunungan di tengah malam yang nampak remang-remang di bawah naungan cahaya purnama menjadi daya dorong yang luar biasa. Rapuh raga dan penat badan terkalahkan dengan seketika. Kami berempat bergerak cepat meninggalkan kepenatan itu dan melesat menuju setapak yang ditandai dengan tali rafiah usang. Tanda itu kami yakini sebagai medan yang benar. Hingga akhirnya, tepat pukul 21.30 kami tiba di  puncak Hargo Dalem.
Rasa senang, gembira dan bahagia menyelimuti hati dan jiwa kami. Namun rasa itu tidak bertahan lama, karena kenyataannya raga kami telah diujung final. Istriku menggigil kedinginan, ia hampir hipotermia, namun motivasi yang kuat menjadikan ia mampu bertahan hingga tenda selesai aku dirikan. Timbul memutuskan untuk beristirahat di warung makannya mbok Yem. Sedangkan Yudi dengan semangat membuka tenda barunya, menempati serta menikmatinya seorang diri. Malam kian larut, aku masak mie rebus dengan telur, membuat susu jahe, menikmati dengan istriku. Sedangkan Yudi dan Timbul hanya makan satu porsi berdua. Malam menggiring raga untuk segera lelap dalam istirahat. Pukul 23.00 aku, istriku,  Yudi dan Timbul membaringkan diri untuk memulihkan tenaga dalam dingin dekapan kabut malam ketinggian hargo dalem.
Malam telah berlalu meninggalkan kenangan karena istirahat yang menyegarkan. Pagi tepat pukul 04.30 aku bangun untuk menyaksikan indah panorama sunrise. Namun, belum juga aku beranjak dari kantung tidurku, kembali langit meneteskan air matanya. Hujan kembali menguyur puncak Lawu. Acara untuk menikmati sunrise pun terpaksa diurungkan. Bukan karena malas tetapi karena cuaca dan situasi yang tidak mengijinkan.
Lelah raga dengan balutan sejuk hawa pegunungan dan situasi hujan menjadikanku ingin memperpanjang usia tidur. Namun, pemberontakan isi perut menjadikanku berinisiatif untuk segera keluar dari tenda dan mencari tempat persembunyian agar si pemberontak secepat mungkin dapat dijinakkan. Pagi ini, kami hanya masak air untuk membuat minuman hangat. Sedangkan makan utamanya kami pesan dari warung Mbok Yem, berupa nasi pecel, lauk telur dadar. Sungguh nikmat dan sangat berkesan, “warung di puncak gunung”.

Pelan dan pasti, matahari bersinar dengan cerahnya. Mentari pagi ini, berhasil menghalau gumpalan awan hitam dan menyingkirkan kabut putih pegunungan. Aku dan Yudi bertekat untuk mendaratkan kaki di ketinggian Hargo Dumilah sebagai puncak tertinggi dari gugusan pegunungan Lawu (3.265 mdpl). Sedangkan istriku dan Timbul lebih senang menunggu di puncak Hargo Dalem, sebagai puncak mistis, karena di sinilah Raja Brawijaya V, raja terakhir Majapahit diyaini mengalami moksa. Di puncak ini banyak sekali pejiarah dan pelaku agama kejawen yang melakukan puasa serta ritual keagamaan.
Aku dan Yudi tidak membutuhkan waktu lama, hanya 20 menit untuk meninggalkan Hargo Dalem dan sampai di puncak Hargo Dumilah. Di sana kami berdua menikmati keagungan ciptaan Tuhan. Lalu kami mengabadikan kenangan itu melalui rekaman kamera digital.

Usai menikmati keindahan panorama alam dari ketinggian Hargo Dumilah, aku dan Yudi turun kembali ke Hargo Dalem. Walau masih ingin dan enggan meninggalkan suasana itu. Tetapi bagaimanapun aku dan timku harus turun untuk terus berkarya, menyebarkan tentang keagungan sang pencipta dalam melukiskan keindahan.
Bernaung di bawah awan tipis yang sejenak menghalangi terik matahari, kami membongkar tenda dan kembali berkemas-kemas untuk meneruskan langkah. Yudi dan Timbul tidak lagi sanggup untuk menyusuri setapak yang akan menghantar ke candi Cetho. Mereka mengusulkan untuk menempuh jalur turun lewat Cemorosewu. Sebenarnya aku agak keberatan. Tetapi kami tidak berdebat. Saling memahami kekuatan dan kelemahan teman seperjuangan adalah cara untuk membentuk kelompok yang sungguh-sungguh solid.
Kami sempatkan untuk meninggalkan satu kenangan di puncak ini, yaitu foto berempat.


Pukul 10.00 kami meninggalkan Hargo Dalem. Melangkahkan kaki dengan keyakinan penuh bahwa sore ini kami akan segera bertemu dengan yang merindu dan yang senantiasa mencintai kami. Menyusuri setapak yang lebar, bersih dan jelas sangat kontras dengan jalur Cetho. Kami bertemu dan kemudian meninggalkan dua bangunan yang penting di Lawu, yaitu pendopo Hargo Dumiling dan sendang Drajat. Sebagai pengganti rasa rindu untuk menikmati hamparan savana jalur Cetho yang sangat luas, kami mengabadikan sepetak savana di jalus Cemorosewu.

Kaki-kaki kami yang mulai koyak terus melangkah meninggalkan puncak menuju lembah. Jalanan terjal yang menyajikan panorama alam yang tidak mudah dilukiskan dengan kata, menjadikan kami terus berdecak dan diselimuti suasana kekaguman. Bebatuan kasar yang tertata menghantar kaki-kaki kami semakin jauh meninggalkan puncak. Usai beristirahat di pos III, kembali kami diguyur hujan. Tidak tanggung-tanggung, hujan yang sangat lebat. Aku merasa pundakku kian tidak berasa. Pundakku telah mati rasa karena beban yang terlalu berat. Aku masih ingat dengan komentar pendaki lain, “mas, bawa kulkas ya?” Aku hanya tersenyum mendengar komentar itu. Semangat yang berkobar-kobar, mengalahkan dinginnya suasana dan berhasil membakar gairah untuk segera sampai di beskem Cemorosewu. Tepat pukul 15.00 kami menginjakkan kaki di tempat yag kami rindu. Sejenak istirahat, membersihkan badan dan segera menyantap soto hangat dengan lauk tempe goreng khas Cemorosewu.
Perjalanan tidak berakhir di sini. Kami masih punya tanggungan untuk mengambil sepeda motor di beskem Cetho. Jalur kendaraan umum tidak ada yang menuju ke sana. Akhirnya, mencarter mobil adalah solusinya. Proses tawar-menawar yang alotpun terjadi. Dan akhirnya, Timbul sebagai negosiator berhasil mengambil kesepakatan: 200 ribu rupiah harus kami keluarkan agar sampai di Cetho.
16.20 kami menuju Cetho dan tepat pukul 17.30 kami tiba di sana. Istirahat sejenak dan berbagi pengalaman dengan pendaki lain yang berhasil menaiki serta menuruni jalur Cetho menjadikan suasana dan pengalaman petualangan ini kian berkesan. Suasana malam mulai menyelimuti perkampungan Cetho. Akhirnya, kami putuskan untuk segera melanjutkan kisah dengan meninggalkan cerita keabadian. 18.00 selamat tinggal Cetho dan kami rindu untuk kembali. Bila Tuhan menghendaki maka tunggulah kami.


[1] Gunung ini ada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan ketinggian 3265 Mdpl, gunung ini sangat menantang untuk dijelajahi.  Pendakian Gunung Lawu dapat melewati beberapa jalur, antara lain jalur Cemoro Kandang, Candi Cetho, Tambak ( Jawa Tengah ) serta Cemoro Sewu dan Jogorogo ( Jawa Timur ).
[2] Candi Cetho terletak di ketinggian 1400 mdpl dan secara administratif berada di Dukuh Cetho, Desa Gemeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karang Anyar Jawa Tengah. Desa Gemeng memiliki potensi wisata yang besar karena banyak terdapat candi dan juga pesona kebun teh yang memiliki keunikan tersendiri.

[3] Sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa, candi ini dihiasi dengan arca phallus yang menjadi symbol Siwa. Terdapat juga patung Brawijaya V serta penasehatnya dan susunan batu berbentuk lingga dan yoni berukuran dua meter. Bangunan utama berbentuk trapesium berada di teras paling atas.
[4] Pos II ini sering disebut sebagai pos Brak Seng. Pendakian dari pos I menuju pos II ini, akan menyusuri punggungan yang makin lama makin menanjak, walaupun tidak seberapa terjal. Dengan dihiasi tanaman arbei hutan di sepanjang perjalanan. Hutan dijalur ini semakin rapat sehingga perjalanan tidak terlalu panas. Pos II hayalah sebuah shelter yang mirip gubug yang terbuat dari bekas spanduk yang mulai robek-robek. Pos II ini, di apit oleh dua buah pohon yang menjulang tinggi, sehingga sangat rindang untuk beristirahat. Di sini, para pendaki dapat mendirikan sekitar 2 -3 tenda.

[5] Di pos ini, telah dibangun pondok sederhana dari terpal dan spanduk bekas. Terlihat masih bagus dan dapat digunakan sebagai tempat bermalam jika pendaki tidak membawa tenda. Di sekitar selter tersebut juga memungkinkan untuk didirikan 3-4 tenda.