Rabu, 19 Desember 2018

Catatan Perjalanan: Touring dari Solo ke Labuan Bajo, Flores


COUPLE RIDER:
MENGUKIR HIDUP SEPANJANG SOLO-LABUAN BAJO
Oleh: Heri


Salam jumpa sobat petualang. Kembali berjumpa dalam kisah. Saat ini, aku ingin berbagi kisah petualangan sederhana. Ya sederhana. Buat sebagian orang malah kisah kami ini terlalu remeh dan sepele. Apa sih kisah petualangannya? Yuk, simak saja yang berikut ini.
Sebut saja aku, Heri Jimanto dan isteriku adalah Regina Nunuk. Biar agak sedikit keren, kami akan menyebut diri sebagai couple-adventure, hehe. Kata adventure mau menegaskan bahwa kami suka dengan petualangan. Yang kami maksudkan adalah memasuki daerah, situasi, budaya atau masyarakat yang selama ini tidak pernah kami datangi.

Bagi kami, petualangan tidak hanya sekedar tahu tempat, tahu budaya, tahu kehidupan masyarakat atau tahu daerah lain. Tetapi lebih pada itu, yaitu “cara mendewasakan”. Petualangan adalah seni menjelajahi diri. Melalui perjalanan, perjumpaan dan kekaguman. Dari keterpanaan, dari yang terpesona sampai pada rasa bingung, tidak tahu apa-apa, ketakutan serta kekhawatiran, kami semakin mengerti diri ini. Hingga secara tidak sadar kami perlahan bertumbuh menjadi pribadi yang kian manusiawi.

Kali ini, kami akan menantang diri dengan mengunjungi serta mendaki gunung Tambora, Sumbawa. Walau pada akhirnya, kami sampai di tanah kadal raksasa, pulau Komodo, NTT.

Hari I, Rabu 13 Juni 2018: mengejar matahari terbit di pulau Lombok
Perjalanan jauh yang sekaligus bernuansa petualangan membutuhkan persiapan yang maksimal, menyangkut kendaraan (sepeda motor), perbekalan (peta perjalanan, logistik, P3K, tenda, alat masak dan pakaian ganti), fisik maupun mental. Jauh-jauh hari kami telah membangun persiapan secara bertahap agar tidak ada yang tercecer.
Setelah merasa segala sesuatunya telah siap. Saat fajar menyingsing, pada hari Rabu 13 Juni 2018 tepat pukul 05.00, kami meninggalkan rumah.
Tempat tinggal kami, berada di kota Surakarta yang lebih terkenal dengan sebutan kota Solo. Kami mencoba membuat rute perjalanan sederhana, yaitu Solo – Bali – Lombok – Sumbawa (Tambora) – Labuan Bajo (bila masih memungkinkan) - Sumbawa – Lombok – Bali – Solo.
Awal petualangan, di hari pertama hati masih dipenuhi dengan gairah dan semangat. Lelah belum terkumpul dan stress belum juga menindih, maka perjalanan terasa nyaman, menyenangkan dan menggairahkan. Semburat cahaya merah di ujung timur, manandai hari yang cerah. Sudah beberapa minggu tidak turun hujan, cuaca kemarau dengan sepoi angin menurunkan suhu, dingin udara terasakan mengiringi hati yang damai.
Hari ini adalah lebaran H-2. Suasana dan keadaan jalan terasa lengang. Pembangunan jalan tol kendati belum terhubung antara Solo-Mojokerto, cukup membantu mengurai kemacetan jalan. Kami pun, dengan lancar meninggalkan kota Solo, menembus Sragen dan melenggang memasuki Ngawi. Keadaan jalan mulai ramai-lancar. Motor tunggangan kami masih melaju damai menghantar ke kota Nganjuk. Kami pun memutuskan untuk istirahat sejenak sekaligus mencari sarapan.

Setelah badan terasa segar, perut kenyang, tepat pukul 08.00, kami pun melanjutkan petualangan.
Meninggalkan Nganjuk, melewati Jombang, menyusul Mojokerto, semua berjalan lancar dan aman. Tantangan berikutnya adalah menyususri labirin jalan perkotaan Bangil (Pasuruan) dan Probolinggo yang cenderung macet. Panas siang yang menyengat menjadi penyebab riuhnya jalan berkurang. Sehingga perjalan kami pun lancar. Sekitar pukul 12.30, kami telah sampai di pantai Bentar Probolinggo. Kami memutuskan untuk sejenak beristirahat sekalian makan siang. Sambil menikmati semilirnya angin pantai yang sepoi-sejuk mendamiakan, penat raga menghilang. Suasana jalanan masih terlihat sama: ramai-lancar.

Setelah raga terasa pulih-segar dan semangat masih membara, kami melanjutkan perjalanan. Target hari ini, malam sekitar jam 00.00, kami mesti sampai pelabuhan Padang Bai, Bali. Menyeberang ke Lombok sekalian istirahat.
Sekitar pukul 14.00, kami meneruskan perjalanan. Melewati kota Situbondo lancar. Sebentar lagi menyusuri kelokan hutan Baluran. Sayangnya, jalanan sekitar hutan Baluran banyak lubang dan penuh dengan tambalan aspal. Perjalanan agak sedikit pelan. Mungkin juga karena raga yang sudah payah, sehingga beberapa kali sepeda motorku masuk lobang. Untungnya masih bertengger gagah melibas jalan. Tidak terjadi apa-apa.
Batas  kabupaten Situbondo telah terlewat. Tinggal sekitar 30 km, kami akan menyeberang. Saat ini, waktu baru menunjuk angka 16.30. Sebelum gelap, kami pasti bisa menyeberang ke Gilimanuk. Masih sesuai dengan rencana. Kami memutuskan untuk mengisi bahan bakar sebelum sampai pelabuhan Ketapang. Sambil mengurai lelah raga, tiba-tiba kami disapa oleh seseorang yang samar aku pernah berkenalan dan ngobrol banyak.
Benarlah, ia adalah Kang Bagus (@nmax_ampibi). Seseorang yang memiliki jam terbang tinggi dalam dunia touring. Beliau memiliki segudang pengalaman menapaki dan menjelajahi jalanan Negeri. Beliau meminta kami, untuk sejenak istirahat dan ngobrol sambil menjalin tali silahturahmi. Istilah para peturing, kami ini sedang diportal. Kami berdua ditraktir sambil menikmati keindahan senja di pantai Boom Banyuwangi.
Kang Bagus
Kami asik ngobrol. Hingga lupa agenda dan target. Baru sekitar pukul 19.00, kami menyudahi obrolan dan berbagi pengalaman. Beliau melanjutkan perjalanan ke Alas purwa, sedangkan aku dan isteriku lanjut menyeberang ke Bali. Tidak perlu antri lama untuk sekedar masuk ferry dan langsung jalan. Yang lama adalah antri untuk nyandar. Hingga sekitar pukul 21.00, kami baru mendaratkan kaki di Gilimanuk.
Setelah melewati pengecekan identitas diri, kami melanjutkan perjalan. Raga sudah sangat lelah. Mata mulai mengantuk. Isteriku beberapa kali terasa terhuyung. Sehingga mempengaruhi keseimbangan sepeda motor. Selain itu suasana jalan yang berbanding terbalik. Dari arah berlawanan dominan ramai dan sangat ramai. Orang mau mudik ke Jawa, meninggalkan Bali dengan rombongan besar. Sedangkan dari arahku cenderung sepi, sehigga aku harus sering mengalah memberi jalan pada rombogan-rombongan besar. Mereka cenderung arogan mengabaikan kepentingan pengguna jalan dari arah berlawanan.
Kuputuskan untuk segera mencari penginapan. Sayangnya, selepas kabupaten Negara, penginapan menjadi sesuatu yang langka. Ketika melihat pom bensin yang sekaligus sebagai tempat rest area, kubelokkan kendaranku untuk rebah sejenak dan mungkin akan sampai pagi. Sayangnya, isteriku tidak secuek diriku. Dalam sekejap aku bisa lelap, sedangkan dia tidak mampu terlelap. Lalu ia membangunkan dan memaksa melanjutkan perjalan. Berharap untuk sesegera mungkin memeproleh penginapan dan istirahat.
prepare lg
Untungnya, tidak sampai 30 menit, kami telah menemukan hotel. Penginapan Inn. Posisinya sebelum masuk kota Tabanan. Masih dipinggiran dengan suasana yang alami, dekat dengan area persawahan dan pantai. Sungguh tempat peristirahatan yang nyaman. Tepat pukul 02.00, kami akhirnya rebah untuk mendulang tenaga.

Hari II, Kamis 14 Juni 2018: Merajut Persaudaraan Anak Rantau
Fajar menyingsing dengan gairah dan semangat pagi. Kelelahan tak juga terurai dengan istirahat yang tidak lama. Namun, perjalanan mesti dilanjutkan. Kendati penat masih memenjara, tetapi niat tidak boleh kalah. Sekitar pukul 08.00, kami telah siap meninggalkan penginapan. Meliuk motor menyusuri jalur selatan Bali. Kelokan dengan tanjakan dan turunan mesra menemani hasrat petualang hari ini. Baru sekitar 25 menit kami telah tiba di kota Tabanan. Maka, kami pun memutuskan untuk mencari sarapan.
Perut yang telah terisi, tenaga yang memulih dan semangat kian berkobar menjadi kekuatan untuk melanjutkan kisah. Sekitar pukul 10.00, kembali kami melaju. Target kami adalah Padang Bai. Perjalanan lancar, sehingga kami bisa tiba di pelabuhan sekitar pukul 11.30, segera membeli tiket dan menyandarkan motor di deck bawah ferry penyeberangan. Keadaan masih sepi. Kami segera mencari tempat yang nyaman untuk melanjutkan istirahat. Minimal bisa berbaring. Biasanya kalau ferry masih sepi cenderung lama, menunggu agak penuh. Perkiraan kami benar. Akhirnya ferry berangkat sekitar pukul 14.00. Dapat dipastikan kami akan tiba di Lembar, Lombok pasti sudah gelap.
berusaha unt istirahat
Seni berpetualang adalah mendapatkan teman dan saudara dengan gampang dan mudah. Disepanjang penyeberangan, kami bertemu dengan pendeta Hindu, bapak Mahendra Wijaya. Banyak percakapan dan obrolan. Sehingga segudang ilmu turun kepada kami yang masih belia ini. Jam 18.00 ferry belum sandar. Segera aku kontak teman kuliah yang bertahun-tahun tidak bertemu. Kusampaikan bahwa aku mau berkunjung sekalian  ikut meluruskan kaki di tempatnya. Tanggapan positif aku terima.
Sekitar pukul 19.00, kami telah mendarat di tanah Lombok. Kami disambut dengan riuh suara takbir, karena besok hari raya idul fitri. Peristiwa ini, mengingatkan pada peristiwa beberapa tahun yang lalu, saat hendak mendaki gunung Rinjani. Suasana jalanan begitu ramai. Seolah menyambut kedatangan kami. Setelah sejenak bertanya di beberapa tempat, akhirnya kami menemukan rumah temanku.
Sekitar pukul 20.00, tibalah aku di rumah sahabat lama. Ia telah memiliki satu momongan. Sepanjang malam, kami asik bernostalgia, bercerita dan berbagi pengalaman hidup. Kuputuskan untuk menyudahi obrolan pada titik waktu 23.30. Saatnya istirahat.

Hari III, Jumat 15 Juni 2018: Terasing di Negeri Sendiri
Pagi merekah dengan segala harapan baik. Raga yang usang tak mapu mendulang tenaga setelah istirahat sepanjang malam. Namun, kehangatan sambutan keluarga dari temanku mampu membangkitkan daya baru. Sahabatku masih menahan untuk tidak buru-buru meninggalkan tempatnya. Beliau mengingatkan bahwa kota Mataram akan macet total karena akan serentak melakukan shalat Id. Alasan yang wajar, sekalian aku juga mesti mewujudkan rasa empati dan solider. Toleransi mesti menjadi yang utama. Tepat pukul 09.30, aku pun berpamitan untuk menuju pelabuhan Khayangan yang selanjutnya akan menyeberang ke Poto Tano, Sumbawa.
bersama kluarga temanku
Sebelum sampai di Khayangan, kami sempatkan diri untuk mengisi perut. Perut yang kenyang akan menenteramkan pikiran dan mendamaikan hati. Sekitar pukul 11.30, kami sudah bisa menyeberang. Sepanjang penyeberangan, aku terlelap. Tidak mampu menikmati suguhan alam antara Lombok-Sumbawa.
Tepat pukul 14.00, kami telah mendarat di bumi Sumbawa. Tidak menyia-nyiakan waktu segera kami pun melaju di jalan yang sebelumnya tidak pernah kami lewati. Medan baru, petualangan baru. Membangun harapan optimis dan sikap positif menjadi kewajiban. Lintas Sumbawa memang beda dengan jalan-jalan sebelumnya. Dominan lengang dan sepi. Perkampungan yang jarang dengan kanan-kiri hutan, bukit, laut dan lembah hijau. Cukup menyegarkan mata.
menjelang pelabuhan khayangan
Tidak terasa, kami telah tiba di kabupaten Sumbawa Besar sekitar pukul 16.00. Raga yang lelah terus aku paksa, karena Tambora masih jauh di depan. Suasana senja merayap gelap. Penerangan jalan langka, karena medan yang kami lewati memang didominasi hutan dan sabana, lembah dan perkebunan. Untungnya, kami telah mendapat informasi bahwa lintas Sumbawa masih aman dari tindak kriminal. Yang mengkwatirkan adalah bila ada masalah dengan kendaraan, misalkan pecah atau bocor ban, kehabisan bahan bakar. Karena jarak antara perkampungan memang sungguh jauh.
keluar dari pelabuhan pototano
Sesampainya kami di kecamatan Empang, masih wilayah Sumbawa Besar, kami mendapat info bahwa di depan akan semakin jauh untuk mendapatkan penginapan juga warung makan. Sambil memulihkan tenaga dengan membeli makan malam, kami mendapat informasi tentang penginapan terdekat. Hingga sekitar pukul 21.00, kami pendapatkan penginapan dengan harga terjangkau. Saatnya istirahat.

Hari IV, Sabtu 16 Juli 2018: Sabana Tambora
Pagi merekah membawa senyum ceria. Langit memancar cerah. Pertanda hari yang baik. Pagi ini, petualangan masih setia menunggu untuk dituntaskan. Menjelajah di tanah asing. Kendati ini adalah Negeriku, namun senyatanya aku tidak tahu apa-apa. Hanya sekedar cerita tetapi tak pernah menjamahnya. Kesempatan kali ini menantangku untuk menyelaminya.

Segera kami membereskan perlengkapan, meninggalkan penginapan dan sesegera mungkin untuk menemukan warung makan guna mencari sarapan. Sekitar 200 meter meninggalkan hotel, kami menemukan rumah makan yang cukup besar dan kebetulan juga sudah buka. Sambil menunggu makanan siap, aku secara pribadi banyak mengais informasi terkait tujuan dan arah petualangan hari ini.
Sambil menikmati sarapan, kami berjumpa dengan serombongan petualang dari Lombok yang menggunakan mobil. Mereka dari arah kebalikan, mereka selepas berkunjung dari rumah saudara yang ada di Dompu. Ternyata mereka memiliki segudang pengalaman terkait dunia pendakian dan penjelajahan Nusantara. Dari mereka lah kami memiliki cukup informasi untuk menemani perjalanan hari ini. Mereka juga memberikan bekal, makanan tradisional yang mampu bertahan beberapa hari, mereka berpesan, bahwa agak sulit mencari warung, semoga pemberian mereka dapat membantu. Terimakasih ya, atas kebaikannya.
Sarapan pun usai, kami pun siap untuk kembali berpetualang, menjelajah Nusantara, negeri tercinta, Indonesia.
Sekitar pukul 07.30, kami perlahan meninggalkan Empang menuju Dompu, tepatnya sebelum kotanya. Sepanjang perjalanan mata dimanja dengan pesona alam yang luar biasa indah. Deretan perbukitan yang hijau berpadu elok dengan ladang jagung yang membentang, seolah tanpa batas. Hal ini masih bersanding manis dengan kelokan teluk-teluk kecil bibir pantai yang bernyanyi dengan riak gelombang lembutnya. Jalanan propinsi, lintas Sumbawa yang naik turun, berkelok kiri-kanan menyuguhkan kepuasan hati yang tidak terkirakan.
setiap perhentian adalah wilayah rekreasi
Beberapa kali, kami menyempatkan diri untuk berhenti sejenak guna menikmati keindahan alam. Sekaligus juga istirahat. Tidak terasa mentari terus merangkak naik. Hingga sekitar pukul 09.00, kami tiba di pertigaan kota kecil (aku lupa namanya). Artinya kami harus belok kiri, karena arah kanan akan menuju Dompu, yang selanjutnya Bima dan Sape.
Dari petigaan ini, suasana masih sama. Namun, di sini pemilik jalan lebih dominan berlalu lalang. Mereka adalah sapi, kerbau, kambing, sesekali muncul gerombolan monyet ekor panjang dan juga kambing balap. Sekitar 20 km, kami melintas dan alam pun menyuguhkan surga Sumbawa, yaitu savanna yang maha luas. Menurut sepido meter motorku panjangnya sekitar 30 km. Di sisi kanan melintas sabana sampai batas mata tak mampu mendeteksi sedangkan di sisi kiri membentang biru laut juga tanpa batasan. Sepanjang perjalanan, hati hanya berdecak kagum, terkesima dengan savanna Ndoro Ncanga, Dompu.
tu di dpn, kudanya nyebrang
Siang menghantar kami untuk sejenak beristirahat, sambil mengisi tenaga, juga mengais informasi arah tujuan kami, yaitu desa Tambora. Karena kami memang bertujuan untuk menikmati keindahan alam Tambora dengan mendakinya. Sekitar pukul 16.30, kami tiba di base camp pendakian. Sayangnya masih tutup. Mungkin baru ada keperluan. Istirahat sejenak dan tidak berapa lama Bang Saiful (pengelola base camp) pun muncul, menyambut kami dengan ramah, menyuguhkan segelas teh hangat. Kami pun menyewa kamar penginapan dan saatnya beristirahat. Besok berharap ada tenaga untuk pendakian.

Hari Minggu- Senin  17-18 Juni 2018: Mendaki Tambora (dalam kisah yang berbeda)

Hari V, Selasa  19 Juni 2018: dari Ujung Barat Daya sampai Ujung Timur Sumbawa, dari Ndoro Canga sampai Sape
Hari kelima sebagai hari naik motor. Setelah raga dihajar tanjakan gunung Tambora, kembali lagi raga ini akan melanjutkan kisah berkendara di hari kelima. Sedangakan hari petualangan sudah menginjak hari yang ketujuh. Sengaja aku menulis dan aku ceritakan kisah petualangan hari kelima. Kisah pengembaraan dalam upaya mengais suka cita di atas putaran roda sepeda motor.
savana ndoro ncanga
Pagi menjelang, cuaca sangat bersahabat. Tubuhpun kembali bergairah. Semangat membuncah dan bergelora. Segera kami pun bergegas untuk persiapan, mandi, dan packing. Kemudian, meliuk menyusuri jalanan meninggalkan base camp Tambora.
Cuaca hari ini sangat bersahabat. Mendung dan cenderung diiringi angin sepoi-semilir. Sejuk dan segar. Hal seperti ini mampu mengurangi rasa capek, penat, dan bosan. Meliuk motor menyusuri jalan yang cenderung lengang. Hingga sampai di luasnya sabana Tambora. Kulihat gunung Tambora tertutup rapat oleh mendung yang hitam dan gelap. Pasti di atas hujan deras.
istirahat skalian narsis
Aku tidak juga beristirahat. Terus melaju meliuk manikmati tiap tikungan, tiap tanjakan dan tiap turunan. Sepi jalan menjadi kenikmatan yang tidak terbahasakan. Ada gairah yang bertubi-tubi terpapar pesona semesta. Hingga sekitar pukul 12.00, kami telah tiba Dompu. Saatnya istirahat dan memulihkan tenaga. Saatnya mencari nutrisi. Sekaligus informasi mengenai arah tujuan kami, yaitu Bima yang selanjutnya adalah Sape.
narsis lg
Sekitar dua jam kami beristirahat dan merasa tenaga telah memulih. Maka, tepat pukul 14.00, kembali kami melaju pelan. Segala yang terpampang di depan mata adalah gugusan surga. Semuanya adalah keindahan dan kebahagiaan. Sekitar pukul 15.00, kami telah sampai di kota Bima. Kami hanya beristirahat sebentar menikmati keindahan pantai pinggir kota. Tidak membuang waktu, kembali lagi motor melaju pelan.
liat kerbau mandi
Bagiku sepanjang jalan dari Bima-Sape adalah Surga. Hanya keindahan dan keindahan. Raga yang renta dan lelah seolah hilang. Yang adanya hanyalah gairah untuk terus bercengkerama dengan keindahan. Hingga akhirnya, sekitar pukul 17.00, kami telah tiba di Sape, pelabuhan ujung timur Sumbawa yang akan menghantar kami menuju pulau Flores. Target kami terpenuhi, mencapai Sape sebelum gelap. Hari ini kami telah menempuh perjalanan sekitar 350 km.
menikmati pesona mentari
Sejenak kami menikmati keindahan pelabuhan Sape sambil mencari informasi mengenai jadwal penyeberangan ferry. Kami beruntung, karena esok pagi ada kapal yang berangkat. Sehingga waktu menjadi efektif. Kemudian kami mencari penginapan. Tidak jauh dari pelabuhan, kami memperoleh penginapan dengan harga yang sangat bersahabat. 100 ribu, dapat kamar dengan fasilitas kamar mandi dalam tanpa AC. Buat kami ini sudah lebih dari pada mewah. Segera mandi. Mencari makan malam dan sejenak kami menghabiskan malam untuk menikmati sepoi angin pantai di ujung dermaga pelabuhan. Hingga sekitar pukul 21.00 kami beranjak untuk rebah istirahat dan berharap esok pagi dapat bangun dengan tenaga prima.

Hari VI, Rabu 20 Juni 2018: Menjaring Surga dalam Bentangan Semesta antara Sumbawa-Labuhan Bajo
Kembali pagi merekah bersama sejuta harapan dan semangat. Istirahat malam telah mengembalikan tenaga dan asa. Saatnya bergegas untuk persiapan perjalanan dan petualangan berikutnya. Tujuan kami hari ini adalah melanjutkan misi menuju pulau kadal raksasa. Dari informasi yang kami peroleh bahwa fery akan berangkat pukul 09.00 dan membutuhkan waktu sekitar 6 jam untuk sampai Labuhan Bajo. Pukul 07.00, antrian sudah panjang padahal loket belum buka. Aku pun ikut bergabung. Sedikit informasi. Di sini motor hanya dihitung dengan satu pengendara. Sedangkan boncenger menambah ongkos sendiri. Tarif sepeda motor 160 ribu. Sedangkan tarif orang dewasa 60 ribu.
Pukul 08.00 kami sudah berada di dek penumpang. Kami tiba di atas ternyata sudah penuh. Kami hampir tidak dapat tempat duduk. Semua ruang yang kosong terisi oleh manusia. Gila, ini seperti sistem angkutan pada jaman penjajahan. Semua masuk dari ayam sampai sapi. Manusia dari berbagai kelas sosial. Campur aduk menjadi satu. Pukul 09.00, kapal tidak ada tanda-tanda untuk berangkat. Pukul 10.00 pun belum ada tanda. Penumpang masih berdatangan. Udara mulai pengap. Aku yakin seyakin-yakinnya kalau ini jelas melebihi kapasitas muatan. Aku mencoba mengurai udara yang pengap dengan jalan-jalan. Ternyata sampai dek paling atas pun penuh dengan penumpang.
penuh sesak
Akhirnya pukul 11.00, kapal mulai bergerak. Jelas kapal ini tidak berani cepat. Amat sangat pelan. Dari perjalan yang super santai inilah, aku bisa menikmati surga dari gugusan kepulauan Komodo. Ternyata ada ratusan pulau-pulau kecil yang membentang hijau, karena hanya padang rumput. Indah dan keren.





gugusan pulau-pulau
Karena kapal yang pelan berlayar, kami tiba di pelabuhan Labuhan bajo pukul 17.00. hari menjelang gelap. Di daerah yang baru, di tanah asing (pada hal ini, di negeri sendiri). Prinsip pengembara adalah pertama mesti menemukan tempat berteduh dan sumber energi. Sekitar satu jam kami berkeliling kota Labuhan bajo untuk menemukan penginapan dengan tarif petualang. Sekitar pukul 18.00, belum juga kami menemukan hotel dengan harga terjangkau. Kota kecil tetapi isinya hampir sepenuhnya adalah turis asing, maka wajar bila semua bertarif internasional.
Akhirnya kami berhenti sejenak sambil menikmati hiruk-pikuk kota pantai yang ramai tamu asing. Kami berhenti di alun-alun yang penuh dengan pedagang kuliner khas laut. Kami pun mampir ke warung (sengaja mencari wajah Jawa), agar kami bisa mengais informsi dari sumber yang dapat dipercaya (solidaritas kedaerahan).
asli mantap
Pilihan kami jatuh pada pedagang asal Banyuwangi yang telah puluhan tahun tinggal di sini, karena memang telah memiliki isteri dan anak dari penduduk asli. Berbagai jenis kuliner laut dijajakan. Warungnya sangat ramai. Banyak pelanggan. Masakannya juga enak dan tentu murah. Akhirnya kami mendapat informasi tentang penginapan yang ramah di kantong.
Segera kami pun meluncur untuk mencarinya. Hotel kami temukan. Lumayan, kami mendapat hotel dengan tarif 250 ribu, dengan fasilitas kamar mandi dalam tanpa AC, dan sarapan pagi (= ala Eropa), tetapi sudah dengan wi-fi (gratis). Lumayan kami sejenak bisa kontak dengan dunia. Semenjak meninggalkan Lombok, jaringan internet di HP lumpuh total.
Di hotel ini, kami memperoleh link untuk mencari armada yang menyediakan jasa trip Komodo. Kami pun dipertemukan dengan pengelola trip singkat kelas backpacker. Trip satu hari dengan tujuan pulau Padar, Komodo, pantai Pink dan Manta point dengan tarif 450 ribu, kami sudah mendapat sarapan dan makan siang serta alat snorkeling dan minuman penghangat (kopi dan teh).
Setelah puas berselencar dan kontak dengan dunia bersama sosmed, kami pun rebah dalam pembaringan. Berharap besok bisa bangun dengan segar dan sehat. Sehingga bisa melanjutkan petualangan yang seru dan mendebarkan.

Hari VII, Kamis 21 Juni 2018: Mengarungi Gugusan Surga Kepualaun Komodo
            Kicauan burung bersaut menembus kamar hotel, menandakan bahwa pagi telah lahir. Jam 04.30, kami telah berjaga. Sebenarnya raga tak juga fit. Namun, semangat yang membara mengalahkan penat raga. Kami segera mandi, karena pukul 05.00, utusan dari biro tour akan menjemput. Sengaja kami tidak banyak membawa perbekalan, hanya sebotol air mineral dan beberapa potong kue kering.
Biro yang kelihatannya murah diongkos ternyata sangat professional. Mereka datang tepat waktu. Kami dijemput dengan mobil Xenia. Di dalam mobil sudah terisi beberapa turis asing. Kami dihantar sampai ke perahu yang akan menghantar keliling Komodo. Kapal sederhana, kapal dari kayu. Namun, kami merasa ini adalah kapal istimewa, karena kami menjadi asing di negeri sendiri. Dari 14 penumpang, hanya aku dan isteriku sebagai penumpang lokal. Sedangkan yang lainnya adalah turis asing. Mereka berkumpul atas nama backpacker lintas Negara dan benua. Bagi mereka (turis asing) berlayar dengan perahu kayu terbuka adalah sebuah petualangan mewah.
siap meluncur
Tepat pukul 05.30, perahu bergerak meninggalkan pelabuhan. Pagi ini, laut terlihat tenang. Tanpa ombak. Semua terlihat gembira. Kendati aku tidak terlalu paham dengan bahasa yang mereka percakapkan. Tetapi aku bisa menebak dari raut wajah. Untuk menambah informasi, aku dan isteriku bergantian banyak cerita dan bertanya pada operator perahu. Aku lupa menanyakan nama mereka (hanya dioperasikan 2 orang). Tujuan pertama adalah pulau Padar. Sebuah pulau dengan panorama ketinggian yang luar biasa ajib. Gila.
terasing di negeri sendiri
Sepanjang perjalanan, aku hanya terkagum-kagum dengan barisan pulau-pulau kecil yang menghijau-kuning. Ada imajinasi yang tak tergambarkan. Sekitar 2 jam perahu berlayar dengan syahdu. Ujung pulau Padar sudah terlihat. Mendadak ombak meninggi dan mengganas. Perahu hampir kemasukan air. Beberapa kali hempasan ombak berhasil memasukan airnya. Lautan menyapa kami dengan sedikit membahasi raga kami. Semua penumpang terlihat panik. Aku melirik abang-abang operator yang terlihat sangat tenang. Aku berpikir positif, bahwa keadaan masih bisa dikendalikan. Ternyata memang benar. Tidak berapa lama kembali laut tenang dan seolah tanpa ombak.
pelabuhan padar
Sempat kutanyakan pada abang operator, bahwa tadi memang melewati lautan dalam. Yang pasti arusnya di bawah deras dan kencang. Maka, pasti akan menimbulkan ombak.
Perahu telah merapat ke dermaga Padar. Saatnya tracking dan menikmati surga. Kami hanya diberi waktu 1 jam.
turis sandal jepit
keindahan padar
Setapak yang sudah tertata menghantar kami pada satu keindahan menuju pada keindahan yang lainnya. Wisatawan lumayan ramai. Kendati demikian masing-masing masih bisa menikmati keindahan dari pulau ini. Rombongan kami tepat waktu. Keuntungan bersama dengan turis Eropa dan Amerika adalah ketepatan pada waktu dan kesepakatan. Tidak menunda waktu, kami pun kembali bergerak untuk menuju pulau Komodo.
pelabuhan komodo
Berlayar sekitar 30 menit telah menghantar kami tiba di dermaga Komodo. Saatnya, jalan-jalan untuk melihat kadal raksasa. Kami beruntung, karena bareng dengan turis manca. Maka, karena tegur-sapa yang kami tawarkan meluluhkan hati penjaga tiket. Kami tidak merayu untuk memperoleh kemurahan. Tetapi mereka lah yang menawari kami, bahwa segala ongkos kami dihitung dengan rombongan asing. Terimakasih untuk saudara sepetualangan, yang aku tidak tahu nama-nama mereka.
menuju gerbang kadal raksasa
Kami mengambil track pendek. Karena batasan waktu yang hanya satu jam (di sini ada track medium juga panjang. Ada yang setengah hari. Ada pula yang satu hari penuh). Setelah menemukan kadal raksa (bulan Juni-Juli adalah bulan kawin, maka menemukan komodo dengan jumlah banyak adalah langka), kami pun bergegas untuk berfoto ria dan kembali ke perahu.
Tujuan kami selanjutnya adalah pink beach. Sembari menuju lokasi, kami menikmati perbekalan makan siang (fasilitas dari biro).
narsis bareng komodo
Dari dermaga pintu masuk wisata Komodo ke pantai pink tidak lah jauh. Karena memang masih satu pulau. Sekitar 20 menit kami telah tiba. Sayang, ombak sore pertanda akan mulai pasang menjadikan ombak menggulung tinggi. Aku pun hilang hasrat untuk turun snorkeling. Aku hanya menikmati keindahan laut. Dari Abang operator, aku memperoleh informasi bahwa hari-hari ini menjelang sore ombak mendadak besar. Kemungkinan di manta point pun akan mengalami hal serupa.
Mereka menawarkan untuk ganti tempat. Tetapi di perahuku dominan adalah turis asing yang setia dengan schedule maka mereka pun tetap pada tujuan awal. Ombak tidak terlalu tinggi, aku pun antusias untuk snorkeling. Saat turun, arus bawah sangat kencang. Dalam waktu sekejab aku terbawa arus. Tetapi aku masih bisa menguasai diri. Beda dengan isteriku yang panik tidak karuan. Maka, aku hanya berupaya untuk meng-evakuasi-nya. Dalam waktu hitungan menit, isteriku telah terbawa arus sekitar 40 meter menjauh dari perahu. Segera aku berenang untuk meraihnya dan mendorongnya untuk kembali ke perahu.
Melihat peristiwa itu, para turis asing yang awalnya terlihat gagah-pemberani ikutan ciut nyali dan tidak jadi snorkeling. Akhirnya, kami semua naik ke perahu. Mencoba mengamati bawah air, siapa tahu ada manta yang melintas. Abang-Abang operator menegaskan dalam situasi seperti ini, tidak mungkin manta akan muncul. Kami pun memutuskan untuk kembali ke pelabuhan.
menjelang senja
Berlayar di suasana senja merupakan keindahan yang tidak tergambarkan. Dari lokasi manta point untuk sampai pelabuhan membutuhkan waktu tempuh antara 1,5-2 jam. Sepanjang waktu itu aku menikmati keindahan gugusan pulau-pulau yang hijau permai. Hingga saat gelap merayap, kami telah tiba di dermaga. Tepat pukul 18.00, kami tiba di hotel. Saatnya, mandi dan kembali ke alun-alun untuk berburu kuliner jalanan penyedia menu see food yang murah tetapi enak (rasa berkelas restoran hotel bintang lima). Mantap.
sunset pelabuhan labuan bajo
Malam merayap pelan meninggalkan segala kisah dan kenangan. Kendati hati dan jiwa dipenuhi kepuasaan batin. Tetapi raga tidak bisa didustai. Raga yang senja telah diambang batas kekuatan. Saatnya istirahat. Semoga besok bangun dengan tenaga yang baru. Semangat.
kembali ke bajo
           
Hari VIII, Jumat 22 Juni 2018: Kembali Ke Barat (Menemukan Taburan Saudara)
            Kembali pagi merekah. Sengaja, pagi ini kami bangun agak malas-malasan. Kami telah memperoleh informasi bahwa penyeberangan akan berangkat pukul 09.00 (dan selalu tidak tepat waktu. Mundur satu jam adalah hal yang biasa). Setengah tujuh, kami baru bangun. Mandi. Sarapan ala Eropa (roti tawar dengan selai yang dibakar dengan segelas kopi pait atau teh manis). Packing. Meninggalkan hotel. Membeli tiket. Tepat pukul 08.30, kami sudah berada di kursi penumpang.
slamat tinggal bajo
Hari ini, kami mendapat kapal ferry yang lebih besar dan bagus.  Terlihat penumpang juga masih sepi. Mungkin, tidak sebanyak waktu berangkat dari Sape. Tepat pukul 09.00, pengumuman peringatan agar pedagang asongan meninggalkan kapal. Berarti ini akan tepat waktu. Benarlah dugaanku, tepat pukul 09.30, kapal mulai meninggalkan pelabuhan. Selamat tinggal Labuan Bajo. Semoga semesta mempertemukan kita lagi.
Kapal mulai bergerak. Ada waktu yang cukup longgar. Kulihat dek kapal tidak sepenuh waktu lalu. Maka, kuniatkan untuk jalan-jalan, menyoba menemukan saudara-sepetualangan. Ada beberapa anak-anak motor yang kujumpa. Sempat ngobrol dengan 3 biker asal Madiun. Mereka baru menyelesaikan misi, “ngaspal” sampai Ruteng. Sebenarnya keberangkatan mereka sama dengan kami. Tujuan mereka adalah danau Kelimutu, Ende. Mereka tidak berniat untuk keliling Komodo. Tetapi kendala waktu dan isi dompet. Mereka mengurungkan niat untuk sampai ke Kelimutu. Mereka berkisah soal jam terbang petualangan di atas roda motor. Angkat topi bagi mereka. (Kembali aku pada kelemahanku yaitu tidak mudah untuk menanyakan nama).
Berikutnya, aku berjumpa dengan sepasang pengendara vespa yang sudah tidak lagi muda. Umur mereka sekitar 60 dan 65. Mereka couple-biker dari Bali yang habis menyelesaikan misi sampai di penghujung Maumere. Bersama mereka lah, kami banyak menghabiskan waktu untuk ngobrol sambil menikmati segala yang ada. Mereka sudah ada kencan dengan para biker Bima. Maka, mereka akan menginap di sana. Mereka juga menawari kami untuk gabung dengan mereka. Tetapi sudah kuniatkan untuk menikmati perjalanan ini berdua. Maka, dengan halus kami menolak tawaran mereka.

Kutetapkan tekat, bila sampai Sape, masih di bawah pukul 17.00, aku akan lanjut dan mencari penginapan di Dompu. Tepat pukul 17.00, kapal telah bersandar. Segera kugeber kuda besi. Melaju pelan sambil menikmati segala situasi dan keadaan alam yang luar biasa indah. Sekitar pukul 18.00, kami telah melewati Bima. Istirahat sejenak sambil menikmati suasana sun set di pantai pinggir kota. Gelap telah menyergap, jalanan yang penuh dengan tantangan, tikungan, tanjakan dan turunan, aku libas pelan. Berharap sebelum pukul 20.00, kami sudah menemukan penginapan.
yg punya kawasan
Berkat Tuhan nyata, niat kami terkabul. Kami mendapat penginapan di tengah kota Dompu dengan tarif ramah di kantong. Harga 100 ribu dengan fasilitas kamar mandi dalam, dobel bed dan kipas angin. Kakmi pun istirahat sejenak, mandi dan berburu kuliner di tengah kota Dompu. Usai mendulang energi kami pun bergegas menuju penginapan untuk beristirahat. Berharap esok bisa bangun dengan semangat dan tenaga yang lebih prima.

Hari IX, Sabtu 23 Juni 2018: Menguji Batas Kekuatan Fisik dan Psikis
            Sinar fajar belum juga merekah. Namun, harapan yang membentang menjadikan kami penuh gairah. Tepat pukul 04.00, kami bangun dan segera mandi. Pagi ini kami berharap, untuk segera meninggalkan Dompu guna mencapai titik tuju berikutnya. Harapan kami sederhana, target kami adalah Bali. Gambaran suasana fajar di tanah kelahiran tidak kutemukan. Di Jawa, pukul 04.30, aktifitas manusia sudah mulai padat merayap, terutama di daerah perkotaan. Di beberapa pusat keramaian dan perbelanjaan, di pasar-pasar tradisional geliat kehidupan sudah tumpah ruah. Lain tempat lain pula cara hidupnya.
            Tepat pukul 04.30, kami meninggalkan Dompu. Suasana masih sangat sepi. Sangat lengang. Seolah tiada kehidupan. Motorku meliuk melukis jalan dengan sorot lampu tunggal. Tidak membutuhkan waktu lama, kami telah tiba di pertigaan, yang artinya kami harus belok kiri, mengambil arah menuju Sumbawa Besar. Keadaaan masih sunyi. Semburat fajar mulai remang bercahaya, membantu mata untuk sejenak rileks. Sekitar pukul 05.00, kami tepat berada di bukit yang maha indah. Dari sini, kami berhenti sejenak untuk menikmati panorama fajar. Memandang laut biru dari temaramnya sinar matahari yang samar. Gelap malam mulai hilang, kembali motorku meliuk mengikuti lekukan jalan yang mempesona.
sun rise pinggir jln
Menaiki bukit, menuruninya, berkelok, meliuk menyusuri jalan perbukitan yang hijau asri. Di sisi lain kami disuguhi birunya laut yang seolah tidak berjarak. Tepat dikelokan punggungan bukit, saat mata melirik arah timur, tanda-tanda sun rise akan merekah. Maka, kami hentikan perjalanan dan menikmati karunia Tuhan yang luar biasa. Untuk sejenak kami hanya terpesona. Terimakasih Tuhan.
Setelah beberapa jam melakukan aktifitas tanpa sarapan, mendadak perutpun memberi tanda untuk diperhatikan. Target kami berikutnya adalah kecamatan Empang, dimana kami pernah sarapan di sana. Pertimbangan kami adalah rumah makan itu buka pagi-pagi sekali dan tentu harga murah dengan rasa yang nikmat. Maka kami pun berlalu meninggalkan segala keindahan. Kendati hati masih terpikat. Maka, kami paksa untuk menitipkan serpihan hati di titik surga itu.
yg punya wilayah
Setengah jam berlalu, kami akhirnya menemukan rumah makan. Kami pun segera memesan makanan, menu ikan kerapu goreng dengan lalapan. Kami juga sengaja beristirahat agak lama. Target kami berikutnya adalah Sumbawa Besar, di sana kami akan mencari bengkel guna servis dan ganti oli. Biar tunggangan tetap prima, sekaligus mengurangi rasa was-was akan kemampuan dan ketahanan tunggangan. Biar semakin yakin dan mantap.
Pukul 08.00, kami meninggalkan kecamatan Empang. Waktu kami datang, kami tidak bisa menikmati keindahan sepanjang perjalanan, karena waktu itu pas malam. Kini saatnya kami membayar hutang. Meliuk motor membawa kami dalam kekaguman karena lukisan yang kuasa. Allah telah meninggalkan serpihan surga di tanah ini. Di beberapa titik jalan sedang mengalami perbaikan (artinya rusak total, banyak lobang. Awas hati-hati). Hingga, sekitar pukul 10.00, kami telah tiba di Sumbawa Besar. Segera mencari bengkel motor resmi tunggangan. Sekalian istirahat. Karena antrian yang lumayan panjang.
Tepat pukul 12.00, kami meninggalkan Sumbawa Besar. Suasana jalan masih sama, asri dan mengasikkan. Tepat di ujung jalan yang berseberangan dengan pulau terpadat di dunia, pulau Bungin, kami memutuskan untuk membeli makan sekaligus istirahat. Ada warung tepat pinggir pantai dengan hidangan sea food yang super murah, segar dan dengan rasa yang luar biasa lezat. Dari sini, kami sekaligus menikmati panorama laut. Sebelum kami melanjutkan perjalanan, kami membeli oleh-oleh madu Sumbawa. Kami yakin seyakin-yakinnya kalau madu yang dijual itu asli karena kami melihat sendiri cara penyulingan yang masih sangat tradisional dengan masih dikerumuni ribuan lebah.
liat pulau bungin dr jauh
Ternyata, 30 menit meninggalkan rumah makan tersebut, kami telah sampai di pelabuhan Pototano. Sayangnya, antrian begitu panjang. Kami tiba tepat pukul 15.00 dan baru bisa masuk ke Ferry sekitar pukul 17.00 (arus balik dari Sumbawa yang akan menuju Lombok terutama Mataram sudah sangat ramai). Saat antri inilah, kami dipertemukan dengan petouring vespa senior asal Bali. Kali ini, kami lebih banyak ngobrol sambil berbagi kisah. Hingga aku tahu nama mereka, yaitu Made Jaya. Mereka memiliki bengkel vespa di Denpasar. Kami pun diundang untuk singgah dirumahnya.
Sekitar pukul 19.00, kami telah tiba di pelabuhan Khayangan, Lombok. Dari pelabuhan ini, kami bersama meliukan motor menyususri jalanan yang masih ramai padat-lancar. Gila, ternyata pak jaya masih sangat gesit. Aku sampai sempoyongan mengejar beliau. Memang beliau sangat hafal dengan jalanan pulau Lombok. Beda dengan diriku. Hingga akhirnya, aku tidak mampu mengimbangi keahlian beliau. Aku pun tertinggal. Saat kugeber motorku, aku malah kelewat kencang, hingga kami pun terpisah. Kami berkontak lewat telpon, berjanji bertemu di Lembar dan nanti bersama-sama menuju Denpasar.
tombo kesel
Tiga kali aku mengunjungi Lombok, tidak serta merta aku menguasai medan di sini. Hingga sekitar pukul 22.00, aku baru tiba di pelabuhan. Bapak Made Jaya tepat sepuluh meter di depanku. Antrian masih sangat panjang. Pada hal ini sudah sangat malam. Keberuntungan ada pada beliau. Saat aku berada di depan, aku kena portal. Maka, terpaksa kami berpisah dan tidak bisa satu kapal dalam penyeberangan. Kami kontak telpon dan beliau akan menunggu kami di Denpasar. Kami harus mampir.
Antrian yang cukup panjang, hingga sekitar pukul 23.30, kami baru bisa masuk ferry dan tepat pukul 00.00, ferry meinggalkan Lombok, selamat tinggal kenangan. Di kapal, suasana penuh sesak tanpa aturan. Yang bisa masuk dulu berebut tempat dengan arogan. Karena masing-masing berencana menyeberang sambil istirahat. Maka harus berbaring dan tiduran. Niat hati ku pun sama. Tetapi harus menerima kenyataan. Harus mencari lantai yang sedikit longgar. Kami beruntung karena bareng dengan sepasukan tentara AD, mereka dengan tegas meminta seluruh penumpang untuk tidak arogan. Semua memiliki hak yang sama dengan ongkos yang sama. Maka, banyak penumpang yang awalnya berbaring dan tidur langsung bangkit. Satu penumpang satu kursi. Kendati aku terpaksa berpisah dengan isteriku, minimal kami masing-masing mendapat tempat duduk dan bisa bersandar untuk sejenak beristirahat. Terimakasih Pak Tentara.
tombo kesel 2
Di kapal ini, aku bertemu kembali dengan biker asal Madiun, mereka terlambat satu hari dari target perjalanan. Karena kena portal saudara biker Lombok. Kapal pelan menyeberangi lautan, karena ombak lagi besar. Goncangan begitu terasa. Hingga niat hati untuk tiduran  berganti menjadi kesiap sediaan-waspada. Aku bersyukur, kulihat isteriku bisa leluasa istirahat. Ia mendapat dua kursi. Aku terpaksa meninggalkan kursi dan memilih berbaring di lantai. Saat kapal menghantam ombak besar, dalam posisi tidur aku merasa berguling-pindah posisi. Terlelap-berjaga, terus menerus bergantian mewarnai penyeberanganku kali ini. Sebisa mungkin, aku berupaya untuk bisa menikmatinya. Ini lah seni petualangan.

Hari X, Minggu 24 Juni 2018: Terdampar di Surga-Saudara Jalanan
            Tepat pukul 04.30, kami mendaratkan kaki di tanah Dewata, Padang Bai. Suasana masih gelap. Apalagi di langit menggulung mendung hitam penuh kilat dan bergemuruh suara Guntur. Pertanda akan hujan. Cuaca kepulauan memang agak sedikit rumit. Mudah hujan tetapi juga mudah panas-terik. Sekitar 20 menit mininggalkan pelabuhan, hujan turun dengan lebat. Dalam suasana masih gelap, aku putuskan untuk mencari tempat perlindungan. Aku berpikir, dari kemarin pagi hingga pagi ini, aku belum isitirahat dengan benar. Semuanya istirahat atau tidur dalam posisi curian. Tidak sengaja istirahat atau tertidur. Semua karena kondisi raga yang capek hingga mudah terlelap dimana saja.
tombo kesel 3
            Dalam keadaan raga yang seperti ini, tidak baik bila kena air hujan. Kami berteduh sampai sekitar pukul 05.00 sekalian menunggu terang cahaya pagi. Remang cahaya fajar sesudah diguyur hujan deras beberapa saat menyejukkan udara menemani perjalanan kami selanjutnya. Kami memutuskan untuk tidak mampir ke Denpasar. Target kami, hari ini harus menyeberang ke tanah Jawa.
Selepas  Denpasar, sekitar kecamatan Mengwi kembali langit menurunkan berkatnya. Hujan rintik-sedang kembali mengguyur. Kami putuskan untuk berteduh sekaligus istirahat di rumah teman. Kebetulan kami sedang melintas di dekat rumah mereka. Hitung-hitung sekalian silahturahmi. Sengaja kami tidak mencari penginapan, pertimbangan kami bila hujan reda kami akan langsung lanjut. Langit tidak juga berhenti menurunkan rahmatnya. Hujan pelan masih lanjut. Dalam situasi seperti ini, teman kami sengaja menahan kami untuk belama-lama di rumahnya. Hal ini sekaligus membentangkan kisah kami masing-masing. Kami asik berbagi kisah dan pengalaman hidup. Istirahat yang kami lakukan tidak tiduran tetapi asik berbincang.
istirahat dulu
Sekitar pukul 12.30, langit membuka senyumnya. Biru angkasa memberkati perjalanan kami selanjutnya. Masih sekitar 90 km, kami menempuh perjalanan menuju Gilimanuk. Situasi jalan super padat. Hingga perjalanan pun menjadi super lambat. Tepat pukul 15.30, kami tiba di pelabuhan. Tidak berapa lama, kami sudah di atas kapal dan menyeberang. Ombak masih cukup besar. Hingga akhirnya tunggangan kami harus berguling bersama motor-motor yang lain. Menjelang merapat ke dermaga Ketapang, tiba-tiba ombak bergemuruh meninggi sekitar 3 meter, maka dengan sendirinya ferri menukik tajam, hingga yang berada di atasnya banyak yang tumbang.
Tepat pukul 16.00 (sekarang sudah WIB), kami mendaratkan diri di tanah Jawa. Seolah-olah kami berada di daerah sendiri. Tingkat kenyamanan mendadak naik berlipat-lipat. Sore ini, kami ditunggu saudara-jalanan (kami dipertemukan di jalan dalam kegiatan touring dengan tujuan yang beda). Kang Bagus, dengan sigap memandu kami melalui seluler. Sebenarnya dari Ketapang hanya butuh waktu 45 menit. Berhubung, kami belum tahu daerah yang dituju, maka dengan sendirinya perjalanan banyak kendala. Kami akhirnya berhenti di pasar Srono, sekitar 3 km dari rumah Kang Bagus. Lalu, kami pun dijemput dan kemudian bersama-sama menuju rumahnya.
Sekitar pukul 18.00, kami telah tiba. Kami disambut keluarganya dengan ramah. Isteriku mendadak akrab dengan salah satu keponakannya (Kalinga, si bocah cerdas yang cerewet). Kami meluangkan waktu untuk mandi, mencuci seabrek pakain kotor dalam petualangan yang hampir 2 minggu. Selepas makan malam, kami banyak berbagi cerita dan kisah. Sekitar pukul 22.00, kami pamit untuk beristirahat. Sebelum tidur, kami mendapat pesan untuk diiklaskan istirahatnya. Saatnya membayar hutang. Tidur sepuasnya.

Hari XI, Senin 25 Juni 2018: Menembus Surga Hutan Magrove
            Udara Banyuwangi sisi barat memang masih sangat bersih, sejuk, dan segar. Hingga malam pun mapu menidurkan aku dengan lelap. Begitu pula dengan isteriku. Sekitar pukul 08.00, kami baru bangun. Segera mandi. Dan tuan rumah telah menyediakan sarapan. Sambil mengisi energi raga, kami banyak bercerita berbagi pengalaman hidup, melanjutkan kisah yang semalam tertunda karena lelah. Hingga tidak terasa waktu telah bertengger pada titik 10.30.  Saatnya persiapan untuk petualangan berikutnya.
menuju bedul
Hari ini, Kang Bagus akan memandu kami menikmati kawasan hutan lindung-kawasan konservasi khusus mangrove daerah Bedul. Tepat pukul 11.00, kami pun meluncur menuju lokasi. Perjalanan sekitar 30 menit. Di mana kami telah melewati kawasan hutan yang masih asri dan menyegarkan. Kami pun menikmati pesona hutan mangrove. Kami juga sempatkan diri untuk menyeberang di kawasan hutan lindung, bagian dari Alas Purwa yang menyatu dengan hutan bakung.
Menurut cerita dari Kang Bagus, hutan bakung beserta lebatnya hutan heterogen Alas Purwa yang kami kunjungi adalah warisan dari ayah beliau. Yang pada waktu ia masih kecil, ayahnya adalah pimpinan perhutani di kawasan tersebut. Jadi, kami sekaligus bersilahturami pada kenangan masa lalu. Beberapa kawasan dan beberapa pohon merupakan hasil tanaman dari Kang Bagus.
pohon yg besar
Di seberang hutan yang padat mempesona, kami disuguhkan panorama lautan dengan pasir hitam bercampur putih yang membentang sejauh mata memandang tidak terhalang batuan karang. Pantai yang melengkung. Sangat indah dan keren. Di kawasan ini, banyak dihuni oleh kera ekor panjang yang kebanyakan nakal, suka mencuri (=merampok) bekal dari pengunjung.
Setelah puas menikmati panorama alam Bedul, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini, kami berkunjung ke rumah dari kakak Kang bagus yang merupakan “penguasa” daerah tersebut. Kami banyak mendengar kiprah-peran dari keluarga Kang Bagus di daerah tersebut.
menikmati bedul
Sore menjelang gelap, akhirnya kami pamitan. Kang Bagus pun menghantar kami untuk istirahat sejenak dan sekaligus berziarah di kawasan taman doa Bunda Maria Gapuraning Sih. Sejenak aku dan isteriku pun memanjatkan doa-syukur atas segala yang boleh kami alami. Kemudian kami banyak ngobrol di kawasan tersebut. Banyak hal yang bisa ditimba dan dipetik sebagai buah pelita hidup.
saatnya bersama Tuhan
Kemudian, dalam suasana gelap kami melanjutkan perjalanan  menembus hutan (yang aku tidak tahu namanya). Hingga akhirnya sekitar pukul 21.00, kami tiba di rumah. Saatnya membersihkan diri dan istirahat. Semoga besok bangun dengan tenaga baru. Karena kami akan melanjutkan perjalanan pulang menuju Solo tercinta. 

Hari XII, Selasa 26 Juni 2018: Menyambung Surga Pulau Merah sampai Gumitir
            Pagi merekah dengan sejuta harapan. Semangat hari ini karena kai akan bergerak menuju barat, Solo. Sekitar jam tujuh pagi, aku sudah mengemas semua perbekalan dalam sepeda motor. Berharap tepat pukul 08.00, bisa meninggalkan Banyuwangi. Namun sungguh di luar dugaan. Kalingga, si bocah nakal, menggemaskan tiba-tiba ngambek tidak karuan. Ia tidak mau dipamiti.  Segala bujuk rayu tidak mempan. Ia tidak mau ditinggalkan terutama oleh isteriku, yang ia panggil “Anti”. Seluruh penghuni rumah berupaya membujuknya. Namun tetap saja tidak bisa. Sampai waktu menunjuk angka 10.00, kami tak juga mampu mempengaruhinya.
byson cs nmax
Akhirnya, aku memutuskan untuk mengubah rencana, hari ini kami berjanji masih akan melanjutkan jalan-jalan. Besok baru meneruskan perjalanan jauh. Kalingga pun luluh dengan masih berharap bisa berkumpul lagi. Karena sudah siang, tidak mungkin aku akan langsung menembus Solo. Maka, hari ini, kami mengunjungi wisata Pulau Merah. Dari siang sekitar pukul 14.00 sampai senja kami menikmati pantai.
menutup petualangan d pulau merah
Keindahan suasana sun set Pulau Merah begitu mempesona. Saat waktu menunjuk angka 19.00, kami bergerak menuju Genteng. Sesampainya di pertigaan Genteng, kami sempatkan diri untuk makan malam. Lalu, aku dan isteriku berpamitan dengan Kang Bagus dan Bang Sam. Mereka bergerak ke timur. Sedangkan aku ke barat. Melewati perkebunan kopi yang selanjutnya hutan Gumitir. Melewati hutan ini, sungguh akan disuguhkan wisata adrenalin yang luar biasa. Hutan yang masih lebat tanpa penerangan. Jalanan penuh tikungan tajam, turunan dan tanjakan. Ngeri-ngeri sedap.
Selepas melewati Gumitir, kami terus melaju menuju kota Jember. Target kami adalah mencari penginapan di sana. Hingga akhirnya, tepat pukul 22.00, kami telah memperoleh penginapan dengan harga bersahabat. 100 ribu dengan fasilitas kamar mandi dalam, TV, dengan AC. Kondisi badan yang lelah menjadikan kami sejenak beristirahat, ngobrol santai lalu tidur.
Hari XIII, Rabu 27 Juni 2018: Sampai Di Rumah, Surga yang Kami Punya
            Tepat pukul 04.30, alarm berbunyi. Kendati raga yang usang belum pulih mengais tenaga. Namun perjalanan harus diselesaikan. Target kami hari ini adalah sesegera mungkin melanjutkan perjalanan. Kami pun bergegas mandi dan siap-siap. Dalam keremangan fajar dan suasana sepi kota, tepat pukul 05.00 kami melaju meniggalkan Jember. Keindahan pagi di jalur ini sungguh menghibur. Pesona alam pedesaan-pertanian dan perkebunan menjadi pemandangan sepanjang petualangan.
Tidak terasa kami telah menembus Lumajang yang selanjutnya adalah Probolinggo. Sekitar pukul 07.00, kami telah membeli sarapan, istirahat dan meneruskan langkah. Meliuk motor menari mengikuti kontur jalan, membawa kami terus menuju barat. Sekitar pukul 11.00, kami telah tiba di kota Nganjuk. Kami putuskan untuk istirahat agak lama, sambil makan siang. Perjalanan lancar menjadikan kami yakin bahwa sebelum gelap kami akan tiba di Solo.
Tepat pukul 14.00, kembali kami melaju. Benarlah yang kami perkiraan, sekitar pukul 16.30 kami telah membuka pintu rumah tercinta. Selesailah petualangan sederhanan ini.

Pada Akhirnya

Demikianlah sekelumit catatan perjalanan, petualangan dan peziarahan yang kami alami. Ternyata tulisan ini tidak sepanjang petualagan yang terlewati. Sekitar tiga ribu kilo meter kami melintasi jalan darat. Jalan laut tidak terhitung (karena kami hanya duduk manis di dek kapal ferry). Dengan waktu tempuh 14 hari 13 malam, kami telah melukis kisah hidup untuk sejenak menjelajahi dan menikmati karya Tuhan di secuil wilayah timur Nusantara. Terimakasih Tuhan atas pengalaman ini. Terimakasih Isteriku yang setia untuk menjadi co-rider yang baik. Terimakasih untuk setiap hal yang kami jumpai. Terimakasih untuk sesamaku yang masih mau menghadirkan kebaikan.
Semoga pengalaman sederhana ini semakin mendewasakan kami. Berharap, semoga dengan peziarahan ini, kami semakin lebih mengenal diri. Hingga pada akhirnya, kami semakin barani untuk menekan ego, berani berbagi, selalu terbuka pada kebaikan sesama untuk membangun persaudaraan di manapun kami singgah. Karena di situlah selalu mengalir suka cita dan kebahagiaan.