SAAT
PERHATIAN TERASA HAMBAR
Aku tahu bahwa cinta isteriku itu tulus dan tiada
berkesudahan. Tetapi rasa itu perlahan memudar. Perhatian isteriku sebagai
wujud cintanya yang bertubi tidak lagi menggetarkan jiwa serta sukmaku.
Nalarku terus bermutasi untuk menemukan ujung
persoalannya. Semakin kuburu maka sebab itu makin samar.
Benarkah cinta bisa terasa hambar? Atau, aku yang
memang tidak memahami arti cinta. Atau, bisa jadi nalarku yang tidak bisa
memahami cinta. Atau, cinta itu memang tidak bernalar.
Beruntun kuberondongkan pertanyaan-pertanyaan agar aku
menemukan kilasan cahaya. Harapanku agar dengan percikan sinar itu menemukan
sinyal jawab.
Tetapi, ... .
Kusudahi saja petualangan misteri diri dengan satu keyakinan
yang telah menyejarah, “Dasar lelaki, segalanya mau dipahami. Segala sesuatunya
mau dimengerti. Masalah hati pun tidak boleh keluar dari rumus logis dan pasti”.
Pertanyaan mengapa sering menggiringku menemukan jenuh
dalam hidup. Ah, tidak juga. Aku juga pernah mengalami kepuasan jawab atas
pertanyaan mengapa itu.
Saat ini, aku kembali dipusingkan dengan pertanyaan
mengapa. Mengapa cinta isteriku terasa hambar?
Sebagai laki-laki dan aku memang laki-laki maka
naluriku untuk terus bernalar menemukan titik terang tidak dapat aku hentikan.
Hingga yang terjadi cinta isteriku semakin terasa hambar. Perhatian tidak lagi
membungakan hatiku. Segala yang dilakukan untuk sekedar menyenangkan hati aku
anggap sebagai kewajiban, “itulah tugas seorang isteri”.
Benarkah tugas seorang isteri? Adakah tugas wajib dalam
sebuah rumah tangga? Yang ada jobdes
itu ‘kan perusahaan. Bisakah urusan rumah tangga disejajarkan dengan
perusahaan. Bukankah sudah menjadi keharusan bahwa hukum alam menuntun setiap
anggota keluarga mesti bisa mengambil peran.
Peran itu tidak mengikat dan tidak terikat oleh jenis
kelamin. Kecuali yang tidak dapat ditawar lagi, seperti melahirkan. Kodrat alam
menentukan peran yang pasti. Tetapi tugas, pekerjaan yang lain semuanya bisa
dilakukan oleh lelaki maupun perempuan. Ada banyak lelaki yang jagoan mencipta rasa
masakan. Ada banyak wanita yang jagoan mengganti genteng bocor. Bahkan ada
lelaki yang hanya bisa memasak, mencuci dan menyeterika.
Ah, kenapa aku terus berkeliaran dalam alam logika
yang tiada bertepi. Kenapa aku juga terus usil untuk membuat peta distingsi
dari kaum lelaki dan perempuan. Bukankah telah ada perjuangan kesejajaran
gender.
Sejajar?
Aku rasa itu baru sebatas wacana. Prakteknya masih
jauh dari harapan. Toh banyak kaum lelaki juga perempuan yang belum bisa
menerima kalau ada bapak rumah tangga.
Lalu bagaimana dengan aku sendiri? Apakah aku juga
termasuk orang yang bersembunyi di bawah tumpukan logika, bernalar dengan rumus
sebab akibat sehingga menemukan pembenaran tetapi bukan kebenaran. Kutelusuri
lorong kehidupan yang pernah kulewati dengan kesadaran maupun yang belum
kusadari. Kutembus kisah yang berlalu dengan pengetahuan maupun yang tanpa pemahaman.
Petualangan yang berani, menyibak belukar masa silam, menyusuri setapak sejarah
yang telah usang untuk sekedar menemukan
bagian dari aku.
Setapak terjal itu perlahan menuntunku masuk ke dalam
belukar yang kian lebat. Ada kengerian karena ketakutan yang semakin kuat
mencengkeram batinku. Ketakuatan yang bersumber pada aku sendiri. Bukan
kenyataan yang di luar aku. Tetapi yang bersumber pada aku. Semakin dalam aku
masuk menyusuri setapak itu, seolah aku semakin liar menelanjangi diriku.
Dengan brutal kukoyak selubung, bingkai-benteng akuku.
Hingga.
Aku tak berani menatap. Melihatpun aku enggan.
Aku muak dan segera isi perutku pun berhamburan,
keluar bersama kesadaran yang baru datang. Aku yang selama ini menuntut
perhatian hingga lupa merasakannya.
Ternyata.
Aku tidak mampu melakukan itu. Hanya bisa menuntut
tetapi tidak mampu mewujudkan.
Berontak aku menyadari diri yang seperti itu.
Kesadaran hanya berhenti pada pernyataan bila tidak
terjadi tindakan. Oleh karena itu untuk sedikit memperbaiki diri atau tepatnya
mengubah diri, aku akan memulai dengan langkah yang sederhana. Aku harus
menciptakan kesempatan atau situasi sehingga perhatianku bisa menjadi aktual,
perhatian yang mewujud, perhatian yang tidak hanya berhenti sebagai potensi
saja.
Menciptakan kesempatan? Dengan cara apa? Dan
bagaimana?
Kembali runtutan pertanyaan itu menggiringku pada
kebingungan.
Berhari-hari tidak juga tercipta kegiatan untuk
menampung ide itu. Mungkin aku terlalu banyak pertimbangan hingga aku tidak
juga berani mengambil keputusan.
Aku harus memaksa. Aku harus berani menindas persepsi
hukum sebab-akibat. Resiko harus dihadapi bukan dipikirkan.
Ya sudahlah. Yang penting aku harus memutuskan untuk
melakukan kegiatan bersama isteriku. Hanya berdua. Tidak dengan yang lain.
sabana 2
Mendaki gunung mungkin kegiatan yang tepat. Ada
tantangan yang tidak mudah. Dan itu mungkin yang paling tepat untuk memberi
jalan agar aku bisa memberi hati untuk isteriku.
Jumat, 27 September 2013 tanpa ada momen yang istimewa
namun kuingin ciptakan momen itu biar menjadi istimewa. Kuyakin keadaan dan
waktu akan menjadi bermakna terletak pada isinya dan bagaimana cara mengisinya.
Kusapa isteriku dengan lembut. Hal ini tidak sering
aku lakukan bahkan belum pernah. Sore yang telah merayap dan biasanya melayukan
gairahku untuk bergerak, hari ini hal itu aku sangkal karena aku ingin mencipta
juga mencinta. Kuajukan satu ide kepada isteriku. “Jeng, ke sanggar yuk”.
Hal yang belum pernah kulakukan. Namun, aku tahu bahwa
isteriku sebelum berumah tangga sangat gemar ke sanggar. Kuingin ciptakan
kegembiraan pada hatinya dengan memberi waktu menikmati kegemarannya. Isteriku
begitu heran dengan ajakanku. Tetapi ia juga tidak mampu menyembunyikan hatinya
yang berbunga. Aku bersyukur ia tidak bertanya alasan. Ia langsung mengiyakan.
Malam telah merangkak mengusir penat untuk segera
rebah. Namun, aku dan isteriku masih asik menikmati hidangan ala kadarnya.
Isteriku rutin memasak sendiri. Masakan sehat. Isteriku memiliki kebiasaan yang
sangat baik, ia selalu menghindari bumbu-bumbu instan. Maka masak sendiri
terpaksa menjadi pilihan.
Sambil menikmati makan malam yang sederhana itu,
isteriku pun berani mengungkapkan rasa penasarannya, “Mas, tumben ngajak ke
sanggar. Ada apa to?”
“Besok ke Merbabu ya?”
“Jadi, ini tadi pemanasan ya. Boleh. Asik”.
Wajah isteriku nampak begitu berbinar dan berseri.
Kulihat ada kebahagiaan yang luar biasa. Aku tidak mengira bahwa rencana ini
telah melahirkan keceriaan. Aku pun berharap semoga petualangan ke Merbabu besok dapat mendatangkan lebih.
Sabtu, 28 September 2013, ketika pagi menorehkan
perhatiannya, kujalani hari dengan hal yang rutin. Begitu pula dengan isteriku.
Hingga siang hari pun tiba. Saatnya beranjak dari tempat kerja kembali pulang
ke rumah. Rencana telah matang. Ada tantangan dan harapan. Berharap Merbabu
membantu melahirkannya.
Tepat jarum jam menunjuk angka 16.00 kutinggalkan
rumah untuk menikmati sambutan dingin kabut pegunungan. Sengaja kulajukan
motorku secara pelan agar perjalan ini makin terasa beda. Kuingin nikmati saat
yang tidak setiap waktu menghampiri hidupku. Hingga akhirnya sampailah kami di
pasar Cepogo. Di tempat inilah kami mencari serta melengkapi perbekalan pokok
dalam pendakian Merbabu nanti.
Melaju kembali motorku, meliuk menyusuri jalanan yang
berliku naik-turun. Indahnya panorama pegunungan menidurkan sejenak kegundahan
karena rutinitas. Sejuknya udara senja dengan semburat jingga mentari yang
telah lelah menjadikan langit nampak membiru. Pesona alam pegunungan sore yang
tidak setiap saat terlihat anggun nan elok-cantik rupawan. Hingga waktu
memaksaku untuk berhenti bercengkerama dengannya, karena kami telah tiba di base camp Merbabu via Selo tepat pukul
17.30.
Terperanjat aku karena rumah bapak Bari terlihat penuh
sesak. Deretan motor yang terparkir rapi berjubel menyisakan sedikit ruang
untuk para pendaki melakukan persiapan. Tidak ada ruang lagi. Ini lah musim
pendakian. Merbabu menjadi sangat ramai.
“Sugeng sonten
pak, pripun kabare, met sore pak, bagaimana kabarnya?”
“Eh, pak guru. Monggo
pinarak. Langsung ke belakang saja”, jawab pak Bari ramah. Karena aku
memang sudah sering berkunjung ke base
camp ini.
“Lagi ramai ya pak?”
“Inggih.
Ramai sekali pak. Hari ini dan kemaren ada sekitar 500 an yang masih di atas.
Dan ibu juga sudah menyiapkan hidangan untuk 150 orang yang akan mendaki nanti
malam. Besok juga ada rombongan dari Jakarta sekitar 200 pendaki. Ini memang
baru ramai-ramainya. Cuaca sangat bagus. Terang bulan. Edelweiss baru
mekar-mekarnya. Walau tidak dapat dipungkiri ini juga baru dingin-dinginnya’.
“Wah, repot ya pak. Tapi rejekinya jadi lancar to,
hehe”
“Berkahing Gusti
pak. Monggo istirahat di belakang
saja sambil berdiang”.
“Matur nuwun
pak”.
Aku dan isteriku pun segera ke dapur mengikuti langkah
pak Bari. “Hallo Bu. Sugeng pinanggih”.
“Eh, Pak Guru. Monggo
pinarak. Saya sambi ya. Ini baru
repot hehe”. Sambutan ramah khas penduduk desa. Benar-benar bersaudara.
“Monggo pun
unjuk tehipun”.
“Matur nuwun”.
Kami pun akrab bercengkerama dalam cerita berbagi remah-remah hidup.
Di luar terdengar renyah tawa perjumpaan para pendaki berbagi kisah. Ada keceriaan, ada kebanggaan
yang sekaligus bercampur dengan nada-nada sombong. Ada banyak kisah pendakian
yang kudengar dari mereka. Seolah-olah bersaing perkasa, kuat dan berlomba
untuk terkesan sebagai yang paling jago. Dalam hati aku hanya tersenyum karena
aku pun juga pernah begitu.
Kulihat ada sisa ruang yang kira-kira cukup untuk aku
dan isteriku sejenak rebah memulihkan tenaga. Aku berencana setelah sedikit
istirahat dan tidur bisa memulihkan tenaga untuk bekal pendakian nanti.
Perut telah kenyang terisi. Udara makin malam kian
dingin. Hembusan angin kemarau semakin menyiutkan nyali untuk belama-lama tanpa
aktifitas. Istiriku terlihat lelah dan ngantuk sekali, maka kuminta ia untuk
segera beristirahat. “Jeng, istirahat dulu. Nanti aku bangunkan sekitar jam
22.00. Persiapan dan siap nanjak”.
“Mas, gak bobok to?”
“Sebentar, entar aku menyusul. Aku ingin berbagi
cerita dengan pendaki lain dulu ya”.
Tanpa menunggu lama, isterikupun segera membuka sleeping bag dan ia pun lelap.
“Pak, mau nanjak jam berapa?” sapa rombongan yang
tidak jauh dari tempatku.
“Nanti-nanti saja mas. Mungkin sekitar jam 22.30. Kami
sudah tua. Kami hanya sekedar jalan-jalan. Tidak mengejar puncak. Sesampainya
saja”.
“Kalau saya, setiap pendakian mesti harus sampai
puncak pak”.
“Hebat. Ya wajarlah kalian kan masih muda. Rombongan
dari mana mas?”
“Dari Klaten. Bapak sudah berapa kali ndaki Merbabu?”
“Gak banyak mas. Hanya beberapa kali saja”.
“Kalau kami, ini pendakian yang pertama. Tapi kami
sudah sering mendaki kok. Kami yakin bisa mencapai puncak”.
“Baguslah. Semangat yang luar biasa. Rencana nanjak
jam berapa?”
“Jam 20.00, rencananya kami akan nenda di pos savanna satu. Pagi hari setelah sunrise baru lanjut untuk mencapai puncak”.
“Rencana yang matang. Berarti ini sudah siap-siap
berangkat?”
“Iya. Monggo
pak. Kami duluan ya”.
“Monggo-monggo.
Hati-hati ya”. Mereka hanya tersenyum dan berpaling meninggalkan kami. Lalu
akupun beristirahat. Sayup-sayup suara-suara pendaki yang berlomba untuk
menjadi yang terhebat terus terdengar. Hingga pelan dan pasti rombongan demi
rombongan telah meninggalkan base camp. Suasana
menjadi sepi, tenang dan alam pun membuaiku untuk istirahat dengan nyaman.
Terperanjat aku karena waktu telah menunjuk angka
22.30. Suasana sangat sepi. Tidak ada pendaki lagi. Semua rombongan telah
memulai pendakiannya. Maka, segera kubangunkan isteriku. Bergegas kami
menyiapkan diri. Membereskan perlengkapan, packing
dan sedikit peregangan. Kudengar pak Bari masih berjaga. Aku segera mengajak
isteriku memesan teh hangat. Obrolan demi obrolan menambah hangatnya suasana.
Hingga waktu tepat jam 23.00, aku dan isterikupun berpamitan untuk memulai
langkah, bercumbu dengan kedamaian alam Merbabu.
“Pak, berangkat dulu ya”
“Monggo. Hati-hati.
Kalau ketemu anak-anak yang kemaki,
baru mendaki sekali, dua kali tetapi seolah-olah semua gunung pernah
ditahklukan. Di gunung tidak boleh sombong. Alam punya cara sendiri. Punya
hukumnya sendiri. Maka, hormatilah alam”.
“Siap pak”. Aku dan isteriku pun segera meninggalkan base camp dengan langkah pasti. Sekitar seratus meter,
di bawah gerbang pendakian Selo, sebelum memasuki hutan kuhentikan langkah untuk
sejenak meluangkan waktu berdoa, bersandar dan berserah pada kerahiman Tuhan
yang mahakuasa. Melangkah pelan dan tertatih kami terus melaju menyusuri
setapak pendakian. Hingga kami pun tiba di pos Dok Malang, pos I tepat pukul
24.00. suasana masih sangat sepi. Belum terdengar suara-suara pendaki yang tadi
riuh meramaikan suasana base camp.
Kecepatan yang masih wajar. Walau tidak dapat
kupungkiri bahwa saat ini, kondisi tubuhku tidak bagus. Aku hanya berbekal
pengalaman untuk terus melangkah secara pelan dan mengobarkan motivasi agar aku
tidak kalah dengan kelemahan ragaku. Beberapa kali aku tersandung karena kakiku
tidak mengikuti naluriku.
“Mas kenapa? Kok tidak seperti biasanya?”
“Tidak ada apa-apa kok. Mari lanjut. Pelan-pelan
saja”.
Aku tahu bahwa isteriku mengerti keadaanku. Ia cukup
mengenal bagaimana aku dalam dunia pendakian. Agar ia tetap bersemangat maka
kupaksa diriku untuk tidak terlihat sempoyongan. Melewati selter sebelum pos
II, keadaan diriku tidak dapat lagi munafik. Nafasku tersengal, badan menjadi
lemas. Setelah melangkah sekitar 10 meter kaki-kakiku tidak lagi mau
bekerjasama. Isteriku terlihat sangat cemas. “Istirahat dulu aja mas. Gak usah
maksa”.
“Di sini anginnya kencang. Kita tidak bawa tenda hanya
bawa fly sheet. Kita harus menemukan
tempat yang cocok untuk mendirikan tenda darurat agar keadaan bisa menjadi
lebih baik”.
Aku tetap bersikeras memaksa jalan pelan agar
menemukan tempat yang cocok. Dari pengalamanku tempat beristirahat yang
menguntungkan akan memberi dampak banyak bagi raga agar tetap prima. Isteriku terus
membujuk. Namun, aku semakin keras memaksa diri.
Selangkah demi selangkah hingga kakiku menginjak tanah
lapang Pos II, Pandean. Di sini angin tidak terlalu kencang. Suasana hangat
karena ada beberapa tenda pendaki yang ngekem.
Aku bersama isteriku memanfaatkan api unggun yang tidak ditunggui oleh
pembuatnya. Mereka terdengar renyah bersendau-guru di dalam tenda. “Mas,
numpang api-apai ya”, sapaku serta ijinku. Tidak ada jawaban. Pikirku, “Pendaki
Pemula, tidak mengerti etika pendakian. Disapa malah tidak menjawab”.
pura-pura
Kubuka bekalku dan kami pun menikmati malam yang bertaburan
bintang dengan sejuk angin pegunungan, ditemani hangat api anggun dan nyanyian
serangga gunung. Cukup lama, aku dan isteriku beristirahat di tempat ini. Saat
waktu menunjuk angka 02.00 kuteruskan langkah untuk menggapai pos III, Pos Batu
Tulis. Selepas pos II, tenaga dan kesehetanku telah pulih, maka semangat
berlipat yang ditopang kekuatan raga yang prima mampu mendobrak gairahku untuk
mencapai puncak sebelum matahari terbit.
Sayup namun jelas terdengar kicauan, tawa dan canda
ria suara-suara pendaki dari pos III, mengundangku untuk segera tiba. Sekitar
pukul 02.30 kami telah sampai di sana. Tidak berhenti lama aku di pos III,
setelah bertegur sapa dengan beberapa pendaki kulanjutkan langkah. Menapaki
terjal setapak curam antara pos Batu Tulis menuju Savanna I aku tetap
bersemangat. Hingga tepat pukul 03.00 aku telah sampai di pos IV. Perjalanan
yang cukup patas.
“Jeng, mau istirahat di sini kah?”
“Gak lah. Anginnya kenceng. Kita jalan pelan-pelan aja.
Kalau lancar, pas dua jam kita akan tiba di puncak. Jadi sekitar jam lima kita
tiba. Itu golden moment. Pasti apik”.
Melewati Savanna I menuju Savanna II angin bertiup
dengan kencang, tanpa penghalang. Udara kering karena musim kemarau semakin
membekukan darah. Semua pendaki tidak ada yang
terlihat berkeliaran. Api unggun pun menari tanpa penunggunya. Semua
nyaman bersembunyi dalam tenda. Aku dan hanya dengan isteriku menikmati
perjalanan ini. Langit begitu bersahabat, alam memaparkan keindahannya. Langit
yang ditaburi bintang berteman dengan lengkung rembulan yang tidak penuh,
tarian rerumputan nampak rapi meliuk manja. Aku hanya terkagum-kagum. Keindahan
yang luar biasa. Mata bebas memandang, tanpa halangan. Indah sungguh indah.
Namun raga isteriku mulai sempoyongan. Kerasnya serta
dinginnya angin pagi ini menjadikan kekuatan raganya terpaksa merapuh.
Kuputuskan untuk menghentikan langkah saat tiba di pos Jemblungan. Di bawah
hutan edelweiss yang tingginya sekitar 3-5 meter, kuyakin angin tidak begitu
kencang. Benar lah demikian. Segera kubuat tenda darurat, api unggun dan
kusiapkan air panas untuk membuat minuman serta makanan hangat. Isteriku pun
segera bersembunyi dan tidak menunggu lama, dengkurnya telah bersaing dengan
irama pegunungan pagi hari. Pada saat itu jam tanganku menunjuk angka 04.30.
Setelah semuanya siap kubangunkan isteriku agar
kesehatannya segera pulih. Apalagi semburat merah di ufuk timur telah
memamerkan keindahannya. Batas cakrawala membelah warna bumi menjadi kontras
sekali. Di bawah masih samar hitam sedangkan dilangit bintang juga masih
bertaburan menghiasi langit yang sudah nampak membiru. Perpaduan warna yang
tidak mungkin dilukis dengan kata. Aku berharap bisa menikmati sunrise di puncak Kenteng Songo.
“Jeng, ayo bangun. Ini makanan sudah siap. Minuman
juga. Kita agak terburu untuk mengejar sunrise
di puncak”. Isteriku tidak menjawab. Aku tahu kesehatannya belum pulih. Mungkin
staminanya sudah habis. Kupaksa untuk mengisi perut dengan asupan nutrisi.
Temaram pagi yang kian menarik untuk menunjukkan pesona sunrise di ketinggian
Merbabu sedikit mampu mendorong semangat isteriku. Hingga akhirnya ia mau
beranjak dari tenda darurat.
“Mas, entar gak usah nyampai puncak ya. Kan kita sudah
terlalu sering sampai puncak. Aku hanya ingin menikmati sunrise saja”.
Aku hanya mengangguk. Segera kutinggalkan tenda dan
isteriku pun mengikutiku. Dalam kondisi prima, langkahku memang sangat cepat.
Berulang kali aku berhenti untuk menunggunya. Hingga akhirnya kubelokkan
langkah ke sebelah kanan untuk menikmati indah sunrise dari punggungan Merbabu yang jarang dilewati pendaki. Aku
juga baru pertama melewati jalur ini. Sengaja kulakukan ini agar aku dan
isteriku dapat menikmati indah panorama matahari terbit tanpa harus sampai di
puncak tertinggi Merbabu. Dan yang kami harapkan pun terjadi. Menikmati sunrise hanya berdua. “Sangat romantis”,
aku berpikir demikian.
Kamera pocket
dengan program timer-nya membantu
kami untuk mengabadikan peristiwa langka ini. Sebenarnya dari tempat kami
berada, puncak tertinggi Merbabu dapat kami tempuh sekitar 30 menit. Tetapi
isteriku telah bulat tekat untuk tidak mencapai puncak. Ia memilih untuk turun
mendahului semua pendaki. Karena jalanan setapak sangat berdebu. Ia khawatir
tidak bisa menikmati kesegaran udara pegunungan yang dinodai dengan pekatnya
debu jalanan.
Kusetujui permintaanya. Kami meninggalkan pos
Jemblungan sekitar pukul 06.30. sepanjang perjalan kami sungguh menikmati
keindahan alam yang disuguhkan oleh Merbabu. Panorama indah savanna, gagahnya
gunung Merapi dan harum serta keindahan taman edelweiss. Semuanya sungguh
memikat dan menjadikan hati tunduk untuk terus dicengkeram kekaguman.
Perjalanan sangat lancar. Dan
benarlah, semua pendaki masih berlomba menuju puncak sedangkan kami berlenggang
turun. Di pos Savana I kubertemu dengan pendaki yang dari Klaten.
“Sudah turun pak? Sampai dimana dan
dapat sunrise-nya?”
“Kami tidak sampai puncak tetapi
kami dapat menikmati indah panorama mentari terbit”.
“Kami malah tidak dapat pak. Kami
semalam tepar di Pos II”. Aku berpikir, “Ternyata ini to, pendaki yang aku sapa
tetapi tidak menjawab itu”.
“Monggo
dilanjut saja. Kami mau turun supaya tidak buru-buru. Maklum tenaga tua. Kalau
turun tidak lagi secepat anak muda seperti mas-mas ini”.
Selepas pos Batu Tulis, setapak seolah milik kami
berdua. Kami tidak berpapasan dengan pendaki lain, baik yang mau nanjak maupun
yang turun. Hingga akhirnya tepat pukul 10.00 kami telah tiba di base camp.
Perjalanan yang tidak begitu lama. Sekitar 11 jam,
kami telah menaiki dan menuruni setapak Merbabu. Dan dalam waktu yang pendek
itu kami telah menorehkan kisah yang menyemangati hidup keluarga kami. Semoga
melalui peristiwa ini, kami semakin mengerti arti diperhatikan namun yang lebih
penting adalah kami mau melakukannya. Hingga pada akhirnya kami bisa saling
memperhatikan dan menerima perhatian serta merasakannya. Ini lah sebenarnya
arti mencinta itu. Merbabu terimakasih atas caramu mengajari kami cara mencinta,
yaitu cara untuk bisa memberikan diri ini bagi pasangan kami.
berdua kita bisa