Rabu, 30 Oktober 2013

catatan perjalanan, couple hiking, Merbabu via Selo



SAAT PERHATIAN TERASA HAMBAR
Oleh: Heri
berdua menikmati sun rise
Aku tahu bahwa cinta isteriku itu tulus dan tiada berkesudahan. Tetapi rasa itu perlahan memudar. Perhatian isteriku sebagai wujud cintanya yang bertubi tidak lagi menggetarkan jiwa serta sukmaku.
Nalarku terus bermutasi untuk menemukan ujung persoalannya. Semakin kuburu maka sebab itu makin samar.
Benarkah cinta bisa terasa hambar? Atau, aku yang memang tidak memahami arti cinta. Atau, bisa jadi nalarku yang tidak bisa memahami cinta. Atau, cinta itu memang tidak bernalar.
Beruntun kuberondongkan pertanyaan-pertanyaan agar aku menemukan kilasan cahaya. Harapanku agar dengan percikan sinar itu menemukan sinyal jawab.
Tetapi, ... .
Kusudahi saja petualangan misteri diri dengan satu keyakinan yang telah menyejarah, “Dasar lelaki, segalanya mau dipahami. Segala sesuatunya mau dimengerti. Masalah hati pun tidak boleh keluar dari rumus logis dan pasti”.
Pertanyaan mengapa sering menggiringku menemukan jenuh dalam hidup. Ah, tidak juga. Aku juga pernah mengalami kepuasan jawab atas pertanyaan mengapa itu.
Saat ini, aku kembali dipusingkan dengan pertanyaan mengapa. Mengapa cinta isteriku terasa hambar?
Sebagai laki-laki dan aku memang laki-laki maka naluriku untuk terus bernalar menemukan titik terang tidak dapat aku hentikan. Hingga yang terjadi cinta isteriku semakin terasa hambar. Perhatian tidak lagi membungakan hatiku. Segala yang dilakukan untuk sekedar menyenangkan hati aku anggap sebagai kewajiban, “itulah tugas seorang isteri”.
Benarkah tugas seorang isteri? Adakah tugas wajib dalam sebuah rumah tangga? Yang ada jobdes itu ‘kan perusahaan. Bisakah urusan rumah tangga disejajarkan dengan perusahaan. Bukankah sudah menjadi keharusan bahwa hukum alam menuntun setiap anggota keluarga mesti bisa mengambil peran.
Peran itu tidak mengikat dan tidak terikat oleh jenis kelamin. Kecuali yang tidak dapat ditawar lagi, seperti melahirkan. Kodrat alam menentukan peran yang pasti. Tetapi tugas, pekerjaan yang lain semuanya bisa dilakukan oleh lelaki maupun perempuan. Ada banyak lelaki yang jagoan mencipta rasa masakan. Ada banyak wanita yang jagoan mengganti genteng bocor. Bahkan ada lelaki yang hanya bisa memasak, mencuci dan menyeterika.
Ah, kenapa aku terus berkeliaran dalam alam logika yang tiada bertepi. Kenapa aku juga terus usil untuk membuat peta distingsi dari kaum lelaki dan perempuan. Bukankah telah ada perjuangan kesejajaran gender.
Sejajar?
Aku rasa itu baru sebatas wacana. Prakteknya masih jauh dari harapan. Toh banyak kaum lelaki juga perempuan yang belum bisa menerima kalau ada bapak rumah tangga.
Lalu bagaimana dengan aku sendiri? Apakah aku juga termasuk orang yang bersembunyi di bawah tumpukan logika, bernalar dengan rumus sebab akibat sehingga menemukan pembenaran tetapi bukan kebenaran. Kutelusuri lorong kehidupan yang pernah kulewati dengan kesadaran maupun yang belum kusadari. Kutembus kisah yang berlalu dengan pengetahuan maupun yang tanpa pemahaman. Petualangan yang berani, menyibak belukar masa silam, menyusuri setapak sejarah yang telah usang untuk sekedar menemukan  bagian dari aku.
Setapak terjal itu perlahan menuntunku masuk ke dalam belukar yang kian lebat. Ada kengerian karena ketakutan yang semakin kuat mencengkeram batinku. Ketakuatan yang bersumber pada aku sendiri. Bukan kenyataan yang di luar aku. Tetapi yang bersumber pada aku. Semakin dalam aku masuk menyusuri setapak itu, seolah aku semakin liar menelanjangi diriku. Dengan brutal kukoyak selubung, bingkai-benteng akuku.
Hingga.
Aku tak berani menatap. Melihatpun aku enggan.
Aku muak dan segera isi perutku pun berhamburan, keluar bersama kesadaran yang baru datang. Aku yang selama ini menuntut perhatian hingga lupa merasakannya.
Ternyata.
Aku tidak mampu melakukan itu. Hanya bisa menuntut tetapi tidak mampu mewujudkan.
Berontak aku menyadari diri yang seperti itu.
Kesadaran hanya berhenti pada pernyataan bila tidak terjadi tindakan. Oleh karena itu untuk sedikit memperbaiki diri atau tepatnya mengubah diri, aku akan memulai dengan langkah yang sederhana. Aku harus menciptakan kesempatan atau situasi sehingga perhatianku bisa menjadi aktual, perhatian yang mewujud, perhatian yang tidak hanya berhenti sebagai potensi saja.
Menciptakan kesempatan? Dengan cara apa? Dan bagaimana?
Kembali runtutan pertanyaan itu menggiringku pada kebingungan.
Berhari-hari tidak juga tercipta kegiatan untuk menampung ide itu. Mungkin aku terlalu banyak pertimbangan hingga aku tidak juga berani mengambil keputusan.
Aku harus memaksa. Aku harus berani menindas persepsi hukum sebab-akibat. Resiko harus dihadapi bukan dipikirkan.
Ya sudahlah. Yang penting aku harus memutuskan untuk melakukan kegiatan bersama isteriku. Hanya berdua. Tidak dengan yang lain.
sabana 2
Mendaki gunung mungkin kegiatan yang tepat. Ada tantangan yang tidak mudah. Dan itu mungkin yang paling tepat untuk memberi jalan agar aku bisa memberi hati untuk isteriku.
Jumat, 27 September 2013 tanpa ada momen yang istimewa namun kuingin ciptakan momen itu biar menjadi istimewa. Kuyakin keadaan dan waktu akan menjadi bermakna terletak pada isinya dan bagaimana cara mengisinya.

Kusapa isteriku dengan lembut. Hal ini tidak sering aku lakukan bahkan belum pernah. Sore yang telah merayap dan biasanya melayukan gairahku untuk bergerak, hari ini hal itu aku sangkal karena aku ingin mencipta juga mencinta. Kuajukan satu ide kepada isteriku. “Jeng, ke sanggar yuk”.
Hal yang belum pernah kulakukan. Namun, aku tahu bahwa isteriku sebelum berumah tangga sangat gemar ke sanggar. Kuingin ciptakan kegembiraan pada hatinya dengan memberi waktu menikmati kegemarannya. Isteriku begitu heran dengan ajakanku. Tetapi ia juga tidak mampu menyembunyikan hatinya yang berbunga. Aku bersyukur ia tidak bertanya alasan. Ia langsung mengiyakan.
Malam telah merangkak mengusir penat untuk segera rebah. Namun, aku dan isteriku masih asik menikmati hidangan ala kadarnya. Isteriku rutin memasak sendiri. Masakan sehat. Isteriku memiliki kebiasaan yang sangat baik, ia selalu menghindari bumbu-bumbu instan. Maka masak sendiri terpaksa menjadi pilihan.
Sambil menikmati makan malam yang sederhana itu, isteriku pun berani mengungkapkan rasa penasarannya, “Mas, tumben ngajak ke sanggar. Ada apa to?”
“Besok ke Merbabu ya?”
“Jadi, ini tadi pemanasan ya. Boleh. Asik”.
Wajah isteriku nampak begitu berbinar dan berseri. Kulihat ada kebahagiaan yang luar biasa. Aku tidak mengira bahwa rencana ini telah melahirkan keceriaan. Aku pun berharap semoga petualangan  ke Merbabu besok dapat mendatangkan lebih.

Sabtu, 28 September 2013, ketika pagi menorehkan perhatiannya, kujalani hari dengan hal yang rutin. Begitu pula dengan isteriku. Hingga siang hari pun tiba. Saatnya beranjak dari tempat kerja kembali pulang ke rumah. Rencana telah matang. Ada tantangan dan harapan. Berharap Merbabu membantu melahirkannya.
Tepat jarum jam menunjuk angka 16.00 kutinggalkan rumah untuk menikmati sambutan dingin kabut pegunungan. Sengaja kulajukan motorku secara pelan agar perjalan ini makin terasa beda. Kuingin nikmati saat yang tidak setiap waktu menghampiri hidupku. Hingga akhirnya sampailah kami di pasar Cepogo. Di tempat inilah kami mencari serta melengkapi perbekalan pokok dalam pendakian Merbabu nanti.
Melaju kembali motorku, meliuk menyusuri jalanan yang berliku naik-turun. Indahnya panorama pegunungan menidurkan sejenak kegundahan karena rutinitas. Sejuknya udara senja dengan semburat jingga mentari yang telah lelah menjadikan langit nampak membiru. Pesona alam pegunungan sore yang tidak setiap saat terlihat anggun nan elok-cantik rupawan. Hingga waktu memaksaku untuk berhenti bercengkerama dengannya, karena kami telah tiba di base camp Merbabu via Selo tepat pukul 17.30.

Terperanjat aku karena rumah bapak Bari terlihat penuh sesak. Deretan motor yang terparkir rapi berjubel menyisakan sedikit ruang untuk para  pendaki melakukan  persiapan. Tidak ada ruang lagi. Ini lah musim pendakian. Merbabu menjadi sangat ramai.
Sugeng sonten pak, pripun kabare, met sore pak, bagaimana kabarnya?”
“Eh, pak guru. Monggo pinarak. Langsung ke belakang saja”, jawab pak Bari ramah. Karena aku memang sudah sering berkunjung ke base camp ini.
“Lagi ramai ya pak?”
Inggih. Ramai sekali pak. Hari ini dan kemaren ada sekitar 500 an yang masih di atas. Dan ibu juga sudah menyiapkan hidangan untuk 150 orang yang akan mendaki nanti malam. Besok juga ada rombongan dari Jakarta sekitar 200 pendaki. Ini memang baru ramai-ramainya. Cuaca sangat bagus. Terang bulan. Edelweiss baru mekar-mekarnya. Walau tidak dapat dipungkiri ini juga baru dingin-dinginnya’.
“Wah, repot ya pak. Tapi rejekinya jadi lancar to, hehe”
Berkahing Gusti pak. Monggo istirahat di belakang saja sambil berdiang”.
Matur nuwun pak”.
Aku dan isteriku pun segera ke dapur mengikuti langkah pak Bari. “Hallo Bu. Sugeng pinanggih”.
“Eh, Pak Guru. Monggo pinarak. Saya sambi ya. Ini baru repot hehe”. Sambutan ramah khas penduduk desa. Benar-benar bersaudara.
Monggo pun unjuk tehipun”.
Matur nuwun”. Kami pun akrab bercengkerama dalam cerita berbagi remah-remah hidup.
Di luar terdengar renyah tawa perjumpaan para pendaki  berbagi kisah. Ada keceriaan, ada kebanggaan yang sekaligus bercampur dengan nada-nada sombong. Ada banyak kisah pendakian yang kudengar dari mereka. Seolah-olah bersaing perkasa, kuat dan berlomba untuk terkesan sebagai yang paling jago. Dalam hati aku hanya tersenyum karena aku pun juga pernah begitu.
Kulihat ada sisa ruang yang kira-kira cukup untuk aku dan isteriku sejenak rebah memulihkan tenaga. Aku berencana setelah sedikit istirahat dan tidur bisa memulihkan tenaga untuk bekal pendakian nanti.
Perut telah kenyang terisi. Udara makin malam kian dingin. Hembusan angin kemarau semakin menyiutkan nyali untuk belama-lama tanpa aktifitas. Istiriku terlihat lelah dan ngantuk sekali, maka kuminta ia untuk segera beristirahat. “Jeng, istirahat dulu. Nanti aku bangunkan sekitar jam 22.00. Persiapan dan siap nanjak”.
“Mas, gak bobok to?”
“Sebentar, entar aku menyusul. Aku ingin berbagi cerita dengan pendaki lain dulu ya”.
Tanpa menunggu lama, isterikupun segera membuka sleeping bag dan ia pun lelap.
“Pak, mau nanjak jam berapa?” sapa rombongan yang tidak jauh dari tempatku.
“Nanti-nanti saja mas. Mungkin sekitar jam 22.30. Kami sudah tua. Kami hanya sekedar jalan-jalan. Tidak mengejar puncak. Sesampainya saja”.
“Kalau saya, setiap pendakian mesti harus sampai puncak pak”.
“Hebat. Ya wajarlah kalian kan masih muda. Rombongan dari mana mas?”
“Dari Klaten. Bapak sudah berapa kali ndaki Merbabu?”
“Gak banyak mas. Hanya beberapa kali saja”.
“Kalau kami, ini pendakian yang pertama. Tapi kami sudah sering mendaki kok. Kami yakin bisa mencapai puncak”.
“Baguslah. Semangat yang luar biasa. Rencana nanjak jam berapa?”
“Jam 20.00, rencananya kami akan nenda di pos savanna satu. Pagi hari setelah sunrise baru lanjut untuk mencapai puncak”.
“Rencana yang matang. Berarti ini sudah siap-siap berangkat?”
“Iya. Monggo pak. Kami duluan ya”.
Monggo-monggo. Hati-hati ya”. Mereka hanya tersenyum dan berpaling meninggalkan kami. Lalu akupun beristirahat. Sayup-sayup suara-suara pendaki yang berlomba untuk menjadi yang terhebat terus terdengar. Hingga pelan dan pasti rombongan demi rombongan telah meninggalkan base camp. Suasana menjadi sepi, tenang dan alam pun membuaiku untuk istirahat dengan nyaman.

Terperanjat aku karena waktu telah menunjuk angka 22.30. Suasana sangat sepi. Tidak ada pendaki lagi. Semua rombongan telah memulai pendakiannya. Maka, segera kubangunkan isteriku. Bergegas kami menyiapkan diri. Membereskan perlengkapan, packing dan sedikit peregangan. Kudengar pak Bari masih berjaga. Aku segera mengajak isteriku memesan teh hangat. Obrolan demi obrolan menambah hangatnya suasana. Hingga waktu tepat jam 23.00, aku dan isterikupun berpamitan untuk memulai langkah, bercumbu dengan kedamaian alam Merbabu.
“Pak, berangkat dulu ya”
Monggo. Hati-hati. Kalau ketemu anak-anak yang kemaki, baru mendaki sekali, dua kali tetapi seolah-olah semua gunung pernah ditahklukan. Di gunung tidak boleh sombong. Alam punya cara sendiri. Punya hukumnya sendiri. Maka, hormatilah alam”.
“Siap pak”. Aku dan isteriku pun segera meninggalkan base camp  dengan langkah pasti. Sekitar seratus meter, di bawah gerbang pendakian Selo, sebelum memasuki hutan kuhentikan langkah untuk sejenak meluangkan waktu berdoa, bersandar dan berserah pada kerahiman Tuhan yang mahakuasa. Melangkah pelan dan tertatih kami terus melaju menyusuri setapak pendakian. Hingga kami pun tiba di pos Dok Malang, pos I tepat pukul 24.00. suasana masih sangat sepi. Belum terdengar suara-suara pendaki yang tadi riuh meramaikan suasana base camp.

Kecepatan yang masih wajar. Walau tidak dapat kupungkiri bahwa saat ini, kondisi tubuhku tidak bagus. Aku hanya berbekal pengalaman untuk terus melangkah secara pelan dan mengobarkan motivasi agar aku tidak kalah dengan kelemahan ragaku. Beberapa kali aku tersandung karena kakiku tidak mengikuti naluriku.
“Mas kenapa? Kok tidak seperti biasanya?”
“Tidak ada apa-apa kok. Mari lanjut. Pelan-pelan saja”.
Aku tahu bahwa isteriku mengerti keadaanku. Ia cukup mengenal bagaimana aku dalam dunia pendakian. Agar ia tetap bersemangat maka kupaksa diriku untuk tidak terlihat sempoyongan. Melewati selter sebelum pos II, keadaan diriku tidak dapat lagi munafik. Nafasku tersengal, badan menjadi lemas. Setelah melangkah sekitar 10 meter kaki-kakiku tidak lagi mau bekerjasama. Isteriku terlihat sangat cemas. “Istirahat dulu aja mas. Gak usah maksa”.
“Di sini anginnya kencang. Kita tidak bawa tenda hanya bawa fly sheet. Kita harus menemukan tempat yang cocok untuk mendirikan tenda darurat agar keadaan bisa menjadi lebih baik”.
Aku tetap bersikeras memaksa jalan pelan agar menemukan tempat yang cocok. Dari pengalamanku tempat beristirahat yang menguntungkan akan memberi dampak banyak bagi  raga agar tetap prima. Isteriku terus membujuk. Namun, aku semakin keras memaksa diri.
Selangkah demi selangkah hingga kakiku menginjak tanah lapang Pos II, Pandean. Di sini angin tidak terlalu kencang. Suasana hangat karena ada beberapa tenda pendaki yang ngekem. Aku bersama isteriku memanfaatkan api unggun yang tidak ditunggui oleh pembuatnya. Mereka terdengar renyah bersendau-guru di dalam tenda. “Mas, numpang api-apai ya”, sapaku serta ijinku. Tidak ada jawaban. Pikirku, “Pendaki Pemula, tidak mengerti etika pendakian. Disapa malah tidak menjawab”.
pura-pura
Kubuka bekalku dan kami pun menikmati malam yang bertaburan bintang dengan sejuk angin pegunungan, ditemani hangat api anggun dan nyanyian serangga gunung. Cukup lama, aku dan isteriku beristirahat di tempat ini. Saat waktu menunjuk angka 02.00 kuteruskan langkah untuk menggapai pos III, Pos Batu Tulis. Selepas pos II, tenaga dan kesehetanku telah pulih, maka semangat berlipat yang ditopang kekuatan raga yang prima mampu mendobrak gairahku untuk mencapai puncak sebelum matahari terbit.
Sayup namun jelas terdengar kicauan, tawa dan canda ria suara-suara pendaki dari pos III, mengundangku untuk segera tiba. Sekitar pukul 02.30 kami telah sampai di sana. Tidak berhenti lama aku di pos III, setelah bertegur sapa dengan beberapa pendaki kulanjutkan langkah. Menapaki terjal setapak curam antara pos Batu Tulis menuju Savanna I aku tetap bersemangat. Hingga tepat pukul 03.00 aku telah sampai di pos IV. Perjalanan yang cukup patas.
“Jeng, mau istirahat di sini kah?”
“Gak lah. Anginnya kenceng. Kita jalan pelan-pelan aja. Kalau lancar, pas dua jam kita akan tiba di puncak. Jadi sekitar jam lima kita tiba. Itu golden moment. Pasti apik”.
Melewati Savanna I menuju Savanna II angin bertiup dengan kencang, tanpa penghalang. Udara kering karena musim kemarau semakin membekukan darah. Semua pendaki tidak ada yang  terlihat berkeliaran. Api unggun pun menari tanpa penunggunya. Semua nyaman bersembunyi dalam tenda. Aku dan hanya dengan isteriku menikmati perjalanan ini. Langit begitu bersahabat, alam memaparkan keindahannya. Langit yang ditaburi bintang berteman dengan lengkung rembulan yang tidak penuh, tarian rerumputan nampak rapi meliuk manja. Aku hanya terkagum-kagum. Keindahan yang luar biasa. Mata bebas memandang, tanpa halangan. Indah sungguh indah.

Namun raga isteriku mulai sempoyongan. Kerasnya serta dinginnya angin pagi ini menjadikan kekuatan raganya terpaksa merapuh. Kuputuskan untuk menghentikan langkah saat tiba di pos Jemblungan. Di bawah hutan edelweiss yang tingginya sekitar 3-5 meter, kuyakin angin tidak begitu kencang. Benar lah demikian. Segera kubuat tenda darurat, api unggun dan kusiapkan air panas untuk membuat minuman serta makanan hangat. Isteriku pun segera bersembunyi dan tidak menunggu lama, dengkurnya telah bersaing dengan irama pegunungan pagi hari. Pada saat itu jam tanganku menunjuk angka 04.30.
Setelah semuanya siap kubangunkan isteriku agar kesehatannya segera pulih. Apalagi semburat merah di ufuk timur telah memamerkan keindahannya. Batas cakrawala membelah warna bumi menjadi kontras sekali. Di bawah masih samar hitam sedangkan dilangit bintang juga masih bertaburan menghiasi langit yang sudah nampak membiru. Perpaduan warna yang tidak mungkin dilukis dengan kata. Aku berharap bisa menikmati sunrise di puncak Kenteng Songo.
“Jeng, ayo bangun. Ini makanan sudah siap. Minuman juga. Kita agak terburu untuk mengejar sunrise di puncak”. Isteriku tidak menjawab. Aku tahu kesehatannya belum pulih. Mungkin staminanya sudah habis. Kupaksa untuk mengisi perut dengan asupan nutrisi. Temaram pagi yang kian menarik untuk menunjukkan pesona sunrise di ketinggian Merbabu sedikit mampu mendorong semangat isteriku. Hingga akhirnya ia mau beranjak dari tenda darurat.

“Mas, entar gak usah nyampai puncak ya. Kan kita sudah terlalu sering sampai puncak. Aku hanya ingin menikmati sunrise saja”.
Aku hanya mengangguk. Segera kutinggalkan tenda dan isteriku pun mengikutiku. Dalam kondisi prima, langkahku memang sangat cepat. Berulang kali aku berhenti untuk menunggunya. Hingga akhirnya kubelokkan langkah ke sebelah kanan untuk menikmati indah sunrise dari punggungan Merbabu yang jarang dilewati pendaki. Aku juga baru pertama melewati jalur ini. Sengaja kulakukan ini agar aku dan isteriku dapat menikmati indah panorama matahari terbit tanpa harus sampai di puncak tertinggi Merbabu. Dan yang kami harapkan pun terjadi. Menikmati sunrise hanya berdua. “Sangat romantis”, aku berpikir demikian.
Kamera pocket dengan program timer-nya membantu kami untuk mengabadikan peristiwa langka ini. Sebenarnya dari tempat kami berada, puncak tertinggi Merbabu dapat kami tempuh sekitar 30 menit. Tetapi isteriku telah bulat tekat untuk tidak mencapai puncak. Ia memilih untuk turun mendahului semua pendaki. Karena jalanan setapak sangat berdebu. Ia khawatir tidak bisa menikmati kesegaran udara pegunungan yang dinodai dengan pekatnya debu jalanan.

Kusetujui permintaanya. Kami meninggalkan pos Jemblungan sekitar pukul 06.30. sepanjang perjalan kami sungguh menikmati keindahan alam yang disuguhkan oleh Merbabu. Panorama indah savanna, gagahnya gunung Merapi dan harum serta keindahan taman edelweiss. Semuanya sungguh memikat dan menjadikan hati tunduk untuk terus dicengkeram kekaguman.
           
            Perjalanan sangat lancar. Dan benarlah, semua pendaki masih berlomba menuju puncak sedangkan kami berlenggang turun. Di pos Savana I kubertemu dengan pendaki yang dari Klaten.
            “Sudah turun pak? Sampai dimana dan dapat sunrise-nya?”
            “Kami tidak sampai puncak tetapi kami dapat menikmati indah panorama mentari terbit”.
            “Kami malah tidak dapat pak. Kami semalam tepar di Pos II”. Aku berpikir, “Ternyata ini to, pendaki yang aku sapa tetapi tidak menjawab itu”.
Monggo dilanjut saja. Kami mau turun supaya tidak buru-buru. Maklum tenaga tua. Kalau turun tidak lagi secepat anak muda seperti mas-mas ini”.

Selepas pos Batu Tulis, setapak seolah milik kami berdua. Kami tidak berpapasan dengan pendaki lain, baik yang mau nanjak maupun yang turun. Hingga akhirnya tepat pukul 10.00 kami telah tiba di base camp.
Perjalanan yang tidak begitu lama. Sekitar 11 jam, kami telah menaiki dan menuruni setapak Merbabu. Dan dalam waktu yang pendek itu kami telah menorehkan kisah yang menyemangati hidup keluarga kami. Semoga melalui peristiwa ini, kami semakin mengerti arti diperhatikan namun yang lebih penting adalah kami mau melakukannya. Hingga pada akhirnya kami bisa saling memperhatikan dan menerima perhatian serta merasakannya. Ini lah sebenarnya arti mencinta itu. Merbabu terimakasih atas caramu mengajari kami cara mencinta, yaitu cara untuk bisa memberikan diri ini bagi pasangan kami.
berdua kita bisa