Kamis, 09 Juni 2016

SOLO HIKING: LAWU VIA CEMORO SEWU

SOLO HIKING: LAWU VIA CEMORO SEWU
Oleh: Heri
menikmati suasana puncak lawu

Bila malam menjelang dengan segala pesonanya, di saat itu lah hati yang penat mulai gundah. Setiap manusia punya persoalan dan dinamika hidup yang tidak sama. Ada kalanya jiwa yang lelah dan penat karena pertarungan hidup, membutuhkan ruang untuk sejenak relai. Dengan demikian setiap  manusia dituntut untuk memiliki kemampuan untuk mengenal dirinya, mengerti batas kemampuan dan daya juangnya. Namun yang utama adalah memahami cara bagaimana mengurai segala kelelahan dalam hidupnya. Karena dengan itu manusia akan terus mampu bertahan hidup. Kemampuan yang seperti itu merupakan cara yang mujarab untuk terus bisa menikmati hidup dengan damai dan bahagia.
Di tengah bising segala pergumulan hidup itulah benakku melayang pada cara sederhana untuk mengurainya. Aku sungguh mengenal diriku, bila beban hidup terasa berat, gunung adalah sumber penghiburan. Aku adalah salah satu dari berjuta orang yang suka mendaki gunung. Mungkin tepatnya adalah mencintai setapak gunung. Bukan gunungnya, bukan pula panoramanya, bukan pula tantangannya. Tetapi kesegaran udara dan lukisan cakrawala yang tidak akan pernah sama.
Telah berulang aku menapaki setapak gunung, namun aku tidak pernah bosan. Bahkan cenderung untuk semakin mencintainya lebih dalam. Di tengah pergumulan hidup itulah, segala memori tentang kedamian mengundangku untuk kembali mencengkeramainya.
Kali ini, kuingin ziarahi setapak Lawu via Cemoro Sewu. Beberapa kali aku mendaki gunung Lawu lewat jalur ini, selalu bersama dengan teman-teman. Saat ini kuingin mendaki seorang diri. Mendaki solo, bagiku bukan sesuatu yang baru, namun mendaki Lawu sendirian, ini merupakan pengalaman pertama. Maka, aku harus menyiapkan segalanya. Agar pendakian ini menjadi saat untuk sungguh berjumpa dengan kedalaman hidupku, terutama untuk berjumpa dengan Aku Sejatiku.
Sabtu, 21 Mei 2016 aku mendapat kesempatan untuk mendampingi anak-anak SMA N 5 Surakarta dalam rekoleksi singkat. Sabtu, aku diberi kesempatan untuk mengisi beberapa sesi. Acara berjalan lancar hingga sampai pukul 23.30.  Waktu sesiku sudah selesai dan anak-anak terlihat bahagia. Pendampingan sederhana namun mampu menghantar anak-anak menyusuri hidupnya. Semoga rekoleksi ini bisa memupuk bibit-bibit kebaikan dalam diri mereka.
Bukan kebetulan tetapi memang sudah menjadi satu rencana. Rekoleksi tersebut bertempat di Tawangmangu. Maka, jarak tempuh menuju base camp Cemoro Sewu tidak begitu jauh, hanya sekitar 6 km. Tepat pukul 00.00, aku tiba di base camp Cemoro Kandang, segera kuparkirkan motor. Sengaja aku memilih untuk parkir kendaraan di base camp Cemoro Kandang. Karena, aku berencana untuk turun lewat jalur ini. Selain itu, aku juga telah akrab dengan beberapa sahabat AGL. Benarlah, mereka pun segera menyambutku hangat, ngobrol sejenak, lalu aku pamitan untuk mencari asupan nutrisi. Makan malampun usai. Tepat jarum jam bertengger di titik 01.00, aku meninggalkan warung dan menuju base camp Cemoro Sewu, dengan jalan kaki. Kupikir ini hitung-hitung sebagai pemanasan sebelum pendakian.
suasana sun rise lawu

Sesampainya di base camp Cemoro Sewu, aku tidak menunda-nunda waktu, segera regristrasi (tarif pendakian Rp. 10.000). Sebelum mendaki  aku sempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan beberapa orang yang asik ngobrol karena usai mendaki. Mereka antusias untuk memberi petunjuk tentang jalur pendakian, aku dengan rendah hati mendengarkannya. Kendati aku sedikit telah tahu jalur tersebut, namun kerendahan hati adalah modal utama untuk tidak takkabur dan sombong.
Tepat pukul 01.30, kumulai pendakian ini. Hatiku cukup tenang, cukup siap untuk melakukan pendakian seorang diri.
Lengang dan sunyi.
Melenggang kakiku melangkah pelan dan pasti, menyusuri setapak yang jelas.
Temaram sinar bulan yang hampir bulat penuh menemani peziarahanku. Hening malam menghantarku untuk menyusuri relung-relung diriku. Hingga membawa kenangan bahwa pendakian terakhirku di gunung Lawu ini adalah bersamaan dengan peristiwa kebakaran hutan yang menyebabkan 7 korban meninggal. Hatiku pun bergetar. Lalu, kuhentikan langkah. Berdiri sambil menundukkan kepala, kulambungkan doa untuk kedamian arwah mereka yang telah berpulang dalam pendakian gunung ini.
Setelah hatiku beroleh ketenangan dan kemantapan. Kembali aku pun melangkah. Nafas yang tidak lagi muda memintaku untuk sejenak istirahat. Saat meredakan detak jantung yang memburu kulihat di kejahuan terlihat samar ada cahaya senter. Kupastikan bahwa itu adalah pendaki. Hanya satu orang. Mungkin, ia sama dengan diriku, pendaki solo. Sesaat aku pun menunggu dan benarlah perkiraanku. Kami pun saling menyapa. Kutahu ia seorang lelaki, mahasiswa jurusan sastra Arab, UGM, berasal dari Bandung. Sayangnya aku tidak menanyakan namanya. (Salah satu kebiasaan ku yang buruk, tidak bertanya nama, tetapi ngobrol seolah sudah saling kenal lama). Kami pun tanpa kesepakatan melaju saling bertukar pengalaman dan menapaki setapak.
Kami terus melangkah dalam dekapan berbagi kisah, hingga tidak terasa kami telah tiba di Pos I[1]. Di sini kami beristirahat. Lalu, teman Bandung berpamitan melaju sendiri. Mungkin, sudah niatnya untuk mendaki sendirian. Aku pun begitu. Maka, kupersilahkan. Setelah istirahat beberapa menit. Hingga waktu menunjuk angka 02.15, aku pun bangkit untuk kembali melukiskan kisah.  
Hening dan dingin malam masih setia menemaniku. Akupun dengan tenang melaju dengan keterbukaan hati untuk terus merenungi dan merefleksikan berjuta pengalaman hidup yang boleh aku lewati.
birunya langit menjadi pendorong untuk terus naik

Jalanan kian menanjak, terjal dan berliku. Namun malam ini keindahan alam memang disuguhkan bagi para pendaki karena temaramnya sinar rembulan membantu untuk menikmati suasana dan pemandangan yang beda. Samar cahaya rembulan menimbulkan dan memunculkan eksotisme panorama Lawu menjadi sangat menawan.
Selama perjalanan dari Pos I menuju Pos II, aku berjumpa dengan dua rombongan turun gunung dan satu rombongan yang masih berjuang untuk menuju puncak. Ada pula satu rombongan yang sibuk mendirikan tenda, hingga saat kusapa mereka tidak menjawab. Semoga mereka bukan hantu. Up, awas, jadi takut, …
Kurasa tenagaku masih cukup prima, maka aku pun tiba di Pos II sekitar pukul 03.00[2]. Perjalanan yang cukup cepat, dari base camp sampai Pos II, hanya butuh waktu 1,5 jam. Akupun beristirahat sejenak. Di pos ini, kembali aku berjumpa dengan pendaki dari Bandung. Lalu, kamipun meneruskan pendakian. Sepanjang perjalanan ini, kami tidak lagi banyak bercerita. Mungkin karena tenaga kami yang mulai pudar. Lalu, kupersilahkan dia duluan. Motivasi dan harapan untuk menginjak puncak sebelum matahari menjadi pendorong yang memampukan aku untuk terus melangkah. Kendati lelah, kaki ini masih mampu untuk membawaku sampai di Pos III.
Namun, kekuatan raga yang renta tidak lagi mau menopang. Kekuatan ada batasnya. Maka, aku putuskan untuk sejenak beristirahat, sambil mendulang energi. Segera kusiapkan peralatan masak. Mendidihkan air, menyiapkan minuman susu panas ditemani dengan roti menjadi hidangan yang maha-nikmat.
dulu pernah hijau

Badan kembali pulih, tenanga kembali melimpah. Segera kubereskan segala perlengkapan perangku. Tepat pukul 04.00, aku kembali menyongsong harapan untuk bercengkerama dengan panorama surya-fajar.
Masih seorang diri.
Namun, suasana tidak lagi sunyi dan sepi. Teriakan demi teriakan untuk membangkitkan daya agar raga dari para pendaki yang koyak dapat dipicu untuk menggapai puncak. Teriakan–teriakan motivasi saling bersambut. Aku yang tidak terbiasa dengan berteriak-teriak hanya bisa geleng-geleng dan berusaha untuk bisa menikmatinya.
Tenagaku yang kembali utuh bahkan seolah belum terpakai, menjadikanku berjalan setengah berlari. Semua pendaki yang melihat hanya terbengong-bengong dan terheran-heran. Rata-rata mereka terlihat kelelahan dan sudah sempoyongan. Aku berpikir positif saja, mungkin mereka baru pemula atau belum biasa atau mungkin belum memiliki tenik mendaki yang benar. Namun, yang paling jelas adalah medan pendakian yang curam, jalur antara pos III menuju pos IV adalah jalur yang paling berat. Menanjak tajam.
Pukul 04.30, aku telah tiba di Pos IV. Dari pos ini, aku bersama dengan satu pendaki yang tercecer dari rombongannya. Ia seorang cewek yang mengaku dari Purwodadi. Ia paling duluan, karena teman-temannya masih jauh tertinggal di belakang. Ia bercerita bahwa mereka memulai pendakian sekitar pukul 18.30. Saat ia tahu bahwa aku memulai pendakian pukul 01.30, ia hanya berkomentar, “Ngapusi. Bohong. Gak mungkin”. Aku hanya tersenyum. Tidak ada upaya untuk membela diri. Buat apa?
Laju pendakianku berubah irama menjadi sangat-sangat lambat. Namun, karena kasihan, aku pun bertekat untuk menghantar ia sampai ke puncak. Dengan langkah yang kian gontai, aku yakin bahwa ia kelaparan dan kelelahan. Aku tidak berani menanyakan, namun pengalaman menjadikanku berani mengambil kesimpulan.
Tepat pukul 05.00, semburat merah telah menghiasi cakrawala, pertanda golden sun rise akan menjamu perjuangan para pecinta ketinggian dan segarnya udara pegunungan. Kulihat di puncak Hargo Dumilah, penuh sesak dengan para pendaki. Kupikir dari pada berjejal di puncak dan tidak bisa menikmati keindahan secara hening dan khusuk, aku memilih untuk menikmatinya di Sendang Drajat. Teman dari Purwodadi, aku tawari kalau mau langsung ke puncak tinggal mengikuti setapak yang sudah terlihat dan tidak mungkin keliru. Namun, mereka memutuskan mengikuti caraku untuk mencumbui surga pagi di atas 3.000 mdpl.
keren kan?

Segera kugelar matras, kusiapkan menu pagi spesial. Sambil menunggu datangnya cahaya mentari, kami terus berbagi pengalaman untuk membangun persaudaraan. Tidak berapa lama, menu spesialpun telah siap. Bersama surya pagi yang menghangatkan bumi, aku pun menikmati dengan sarapan sederhana namun terasa begitu mewah. Akhirnya terbukti, bahwa pendaki dari Purwodadi itu, tidak punya apa-apa, hingga mereka pun ikut lahap menikmati bekal yang kupunya. Sebuah kebersamaan dalam bingkai kekeluargaan terjalin secara alami tanpa rencana. Hal yang luar biasa.
Sang surya pun mulai bergegas merangkak meninggalkan peraduan. Sesaat pun mengubah cahaya kuning keemasan menjadi putih keperakan.  Mentari pun makin tinggi melambung menatap kami, sinarnyapun mulai mengusir dingin malam. Hangat terasa yang kian lama terasa makin menyengat.
Maka, kuputuskan untuk segera menyudahi kemesraan ini. Segera kukemasi perbekalan dan segala perlengkapanku. Aku pun berpamitan dan tetap membuka diri mengajak mereka agar tetap bersama. Namun, mereka berencana untuk mampir ke warung tertinggi, warung pecel Mbok Yem di puncak Hargo Dalem. Kami pun berpisah di pertigaan. Aku mengambil belokan ke kiri dan mereka berbelok ke kanan. Sampai jumpa kawan, semoga waktu mempertemukan kita untuk kembali melukis kisah di atas kanvas setapak Lawu.
Dari titik ini, jalur pendakian menjadi sangat ramai. Ada yang turun, namun ada pula yang masih berjuang menuju puncak. Saling tegur sapa menjadikan suasana akrab dan penuh rasa persaudaraan. Hingga akhirnya, tepat pukul 06.45, aku tiba di puncak Hargo Dumilah. Kakiku berdiri di salah satu atap tinggi pulau Jawa, 3.265 mdpl.
tugu puncak lawu

Rasa syukur yang tiada tara menguap dari dalam hati. Kulambungkan doa sujud syukur kepada Tuhan, kumohonkan kedamiana arwah untuk yang meninggal dalam pendakiannya ke Lawa dan kumohon rahmat untuk terus dilindungi dalam perjalanan pulang. Sejenak kemudian, aku pun bercengkerama dengan Lawu.
Belum juga puas bahagia dalam diri ini, namun mentari terasa sudah sangat menyengat. Maka kuputuskan untuk bergerak turun, meninggalkan segala keindahan. Pukul 07.00, aku pun berpamitan dengan Hargo Dumilah. Sepanjang perjalanan dari puncak menuju Pos IV, aku tidak bertemu satu pendakipun. Hanya bertemu satu rombongan besar yang baru persiapan menuju puncak.
Perjalanan turun ini, diriku diwarnai dengan kepiluan hati. Bekas kebakaran kemarau lalu masih dominan. Hutan-huntan yang menghitam, pohon dan perdu yang mengering, cokelat. Gunung yang tidak lagi didominasi warna hijau tetapi hitam dan cokelat. Besar harapanku untuk kembali mengalami hijaunya Lawu. Semoga terwujud.
kebakaran tanpa sisa. semua hangus

Tidak terasa, tepat pukul 08.00, aku telah tiba di Pos III. Perjalanan turun dari Pos IV kembali aku mengalami suasana yang sunyi, tidak bertemu satu pendakipun. Hanya di Pos III, aku bertemu dengan satu rombongan dari Klaten yang mengadakan penmas. Tidak menunggu lama, kembali aku melangkah.
Setapak dari Pos III benar-benar licin. Setelah semalam diguyur hujan, hutan yang mengering dan hanya perdu menjadikan tanah masih becek. Hal ini diperparah dengan terhalangnya sinar matahari karena punggungan Lawu. Beberapa kali aku hampir jatuh. Terpeleset berulang kali. Maka, kuputuskan untuk mengurangi laju kecepatanku. Pelan-pelan saja. Setapak bercabang-cabang. Para pendaki banyak yang membuat jalur baru. Wajar karena setapak utama licin, hutan terbuka, tanpa adanya perdu, sehingga orang bisa melihat keadaan di bawah. Lalu meutuskan untuk potong kompas. Demi menyingkat perjalanan turun, maka meng-halal-kan terabas jalur. Buatku, ini memprihatinkan.
Perjalanan yang sunyi cenderung memompa energi yang tidak kumengerti. Aku terus berjalan, hingga tidak terasa, telah sampai di Pos II. Tidak bertemu atau berpapasan dengan pendaki lain. Istirahat sejenak. Kembali kulangkahkan kakiku. Mendadak perutku berontak. Segera kulobangi tanah, untuk menyembunyikan hal yang terbuang. Lega. Lanjut lagi. Selepas Pos II, aku baru bertemu satu rombongan yang akan happy camp di Pos II. Rombongan yang cukup besar. Mereka ber-10 dan berasal dari Magetan.
masih ada yg tersisa, hutan lebat yg hijau

Sang waktu berdiri di titik 09.30, dan aku juga telah berdiri di Pos I. Perjalanan turun yang tidak terlalu cepat juga lambat. 2,5 jam dari puncak sampai di Pos I. Di Pos ini, kulihat ada seorang bapak yang sedang menggelar dagangannya. Kutahu bahwa pendakian jalur Cemoro Kandang kali ini sepi. Bermodal belas kasihan, aku pun berhenti dan membeli beberapa potong gorengan. Sambil beristirahat kunikmati jajanan di Pos ini. Tepat pukul 10.00, kembali kaki kulangkahkan. Melaju dengan gagah hingga tepat pukul 10.20, aku telah tiba di base camp Cemoro Kandang.
Niat hati, mau beristirahat sebentar, lalu meneruskan perjalanan pulang ke Solo, harus tertunda. Teman-teman AGL malah mengajak ngobrol dan menyuguhkan segelas teh hangat. Keakraban dengan semangat persaudaran pun terjalin dengan asiknya. Hingga tidak terasa, waktu telah menunjuk titik 11.30. Lalu, aku pun memaksa diri untuk berpamitan. Karena malam ada acara di Solo. Mereka pun mau mengerti. Selamat berpisah kawan. Semoga lain hari bisa kembali berbagi.
pohon ini masih setia menunggu kedatanganku berikutnya

 Mengakhiri petualangan ini aku hanya bisa berkata, “Terimakasih Lawu. Engkau telah mengajariku cara untuk semakin rendah hati sehingga semakin bisa bersabar. Engkau juga mengajariku untuk rela berbagi dalam banyak hal, mengajariku untuk dapat mengalahkan diri dan semakin percaya diri. Pada kesempatan ini, kuingin sampaikan juga terimakasihku kepada isteri tercintaku yang selalu mau mendukung dan mengerti tentang diriku, selalu memberi waktu dan ijinnya sehingga aku terus bisa menyatu dengan alam, khususnya menyatu dengan dingin kabut pegunungan. Semoga dengan peziarahan ini, aku dapat semakin menumbuhkan cinta kepada semua orang, terutama kepada isteriku”. Salam sang pecinta udara segar dan kabut dingin di ketinggian.




[1] Perjalanan dari base camp dimulai dengan melewati gerbang pendakian, medan awal berupa jalur tanah dan bebatuan. Di sepanjang jalur awal ini banyak ditumbuhi oleh pohon cemara. Baru setelah melewati hutan cemara ini, di kiri – kanan jalur terdapat kebun sayur milik penduduk. Dari basecamp menuju pos satu, jalur tidak begitu menanjak, namun pendaki harus tetap berhati – hati, karena tanah bebatuan yang dilewati lumayan licin. Dari base camp menuju pos satu dapat ditempuh dengan waktu sekitar satu jam. Di pos satu, terdapat sebuah pondok, dan di depannya juga ada warung. Namun waktu kami mendaki, warung-warung ini sedang tutup. Mungkin karena musim puasa.
[2] Perjalanan dari pos 1 menuju pos 2 merupakan jalur terpanjang, dan medannya mulai memiliki kemiringan lebih tajam dibandingkan jalur pos 1. Jalur ini berada di kawasan hutan pegunungan tropis.