Senin, 20 Januari 2014

Kesalahan Mendaki, Nyawa Melayang



RENUNGAN SELAMA MENDAKI:
Kesalahan Mendaki, Nyawa Melayang
Oleh: Heri
Waktu terus menjulur, merambat pelan menuju titik tertingginya. Dalam perjalan waktu terus membantu aku untuk mengabadikan kisah dan terutama sejarah hidup. Salah satu serpihan-serpihan kisah yang ingin kubingkai dalam catatan sederhana ini adalah hasil pengamatan yang tidak sengaja. Mungkin malah bisa dikatakan sebagai penemuan. Bukan barang. Bukan pula edelweiss atau kembang hutan lainnya. Tidak juga ranting-ranting kayu langka. Yang kutemukan adalah beberapa tindakan pendaki yang kurang tepat.
Ini lah beberapa tindakan pendaki yang salah dan dapat berakibat fatal. Bahkan bisa kehilangan jiwanya:
1.      Mendaki Gunung hanya Sekedar Mengikuti Tren
Sekitar awal tahun 2000 sampai 2007, saat mendaki gunung sering kujumpai medan yang sepi dan jarang kutemui dengan pendaki lainnya. Bahkan sering pula mendaki hanya dengan teman satu rombongan. Dari berangkat sampai puncak lalu kembali lagi ke basecamp tidak ketemu dengan pendaki lainnya. Tapi sekarang, setiap kali mendaki selalu ketemu dengan rombongan lain. Sekarang tidak lagi mengalami suasana gunung yang tanpa pendaki lainnya (hanya bebrapa kali pendakian saja aku tidak berjumpa dengan pendaki lain, Sindoro jalur Bansari dan Lawu jalur Cetho).
Dengan demikian, aku berani menyimpulkan bahwa saat ini, kegiatan mendaki gunung telah menjadi tren. Banyak remaja dan anak-anak muda yang mengisi waktu luangnya dengan kegiatan mendaki. Mereka beramai-ramai ikut merayakan tahun baru di puncak-puncak gunung. Bahkan aku sempat tercengang ketika melihat daftar yang najak sampai 300 hingga 500. Jumlah yang sangat fantastis. Menguntungkan pengelola, member peluang untuk mengais rejeki penduduk lokal dan membuka kesempatan usaha bagi para produser. Tetapi memprihatinkan bagi tanah dan detapak, karena menjadi tidak nyaman untuk dilihat, penuh dengan barang-barang yang tidak bisa terurai.
Yang perlu disayangkan adalah banyak diantara mereka mendaki yang tanpa persiapan dan kemampuan teknis yang cukup. Bahkan ada yang mendaki hanya sekedar untuk hura-hura, membawa bekal logistiknya bukan ala pendaki tetapi gaya orang pesta. Ada pula yang dengan bangganya malah mencoreti batu, mengukir nama di pohon serta meninggalkan sampah.
2.      Membuka Jalur Baru
Sering kubertanya pada pendaki yang tiba-tiba muncul di depanku, pada hal tidak ada persimpangan. Ternyata mereka membuka jalur baru.  Alasan yang mereka sampaikan juga sama yaitu mencari tantangan. Maka mereka berani mencari jalur di luar yang resmi. Seandainya mereka dilengkapi peralatan yang mendukung, buatku sih tidak masalah. Seringkali mereka melakukannya tanpa kemampuan navigasi yang baik. Mereka tidak membawa GPS, tidak juga membawa peta topografi, bahkan yang paling dasarpun juga tidak dibawa, yaitu kompas.
Maka tidak mengherankan bila banyak yang tersesat dan petualangan mereka pun berakhir di dasar jurang atau ditandu Tim SAR ke rumah sakit bahkan ada yang mati kedinginan di lembah.
Perlu dipahami bahwa membuka jalur baru itu berarti merusak konservasi. Mengganggu kehidupan liar dan ekosistem. Sejauh aku tahu, para pendaki berpengalaman tidak akan melakukannya selain untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan.
3.      Tidak Mampu Mengepak Barang
Saat mendaki, sering kulihat para pendaki yang membawa barang bawaan tetapi di luar tas kerir. Terlihat berantakan. Tidak rapi. Pating crentel.  Seolah-olah melihat tukang rongsok. Menggelikan saat melihat ada panci digantung ke ransel. Tangan mereka kadang juga menenteng  sleeping bag atau jaket. Dapat disimpulkan kalau mereka tidak tahu cara mengepak barang bawaan. Kelihatannya sederhana, tetapi mengepak barang member efek yang luar biasa. Kalau bagus dan bias mengepak barang, maka barang bawaan yang berat bias terasa ringan. Tetapi kalau tidak mampu mengepak barang maka, bawaan yang ringan akan terasa sangat berat.
Packing atau mengepak barang dalam ransel adalah seni yang harus dikuasai pendaki gunung. Seluruh barang bawaan harus masuk ke dalam ransel. Karena medan sulit, tak boleh ada yang tergantung di luar ransel selain botol air minum. Tangan harus bebas karena memegang walking stick (tongkat) atau berpegangan pada akar-akar pohon saat dibutuhkan.
Aku juga pernah melihat pendaki yang tas kerirnya tidak ada covernya. Pernah kubertanya, “Packing basah to mas?” “Packing basah itu apa to mas?” Berarti mereka tidak tahu. Dapat diambil kesimpulan kalau mereka asal memasukan barang dalam tasnya. Pakaian di dalam kerir tidak dilapisi plastik. Jika hujan, semua pakaian, jaket dan sleeping menjadi basah. Padahal sangat penting menjaga pakaian ganti tetap kering. Tidur dengan keadaan basah bisa mengakibatkan hipotermia. Ini juga bisa menjadi penyebab kematian seorang pendaki gunung.
4.      Tidak Memiliki Kemampuan Manajemen Logistik
Pernah kualami beberapa peristiwa yang menyedihkan. Mendaki baru sampai puncak tetap bekal telah habis. Ada pula yang lupa dengan teman pembawa logistik, yang lain nanjak sedangkan yang membawa logistic malah tidak sampai dan ditinggal. Ada juga kejadian pendaki yang ngemil mie instan. Saat kutanya alasannya mereka menjawab ringan, “Gak membawa kompor mas. Mendaki tanpa alat masak, lalu bagaimana mereka bias mendapatkan asupan nutrisi yang standar. Mungkin bekal rotinya banyak. Tetapi tubuh kan butuh asupan minuman atau makanan yang masih hangat. Agar lebih mudah mengatasi dinginnya cuaca.
Sebenarnya, mendaki gunung adalah kegiatan berat. Butuh kalori hingga 4.000 kkal per hari. Bayangkan dengan aktivitas sehari-hari yang rata-rata hanya membutuhkan 2.000 kkal per hari. Kebutuhan kalori yang besar ini didapat dari daging-dagingan berlemak, coklat dan karbohidrat. Tentu bukan mie instan yang sulit dicerna tubuh dan malah menyerap air dalam tubuh.
Ada pula pendaki yang enggan makan. Mungkin karena bekal tidak sesuai selera. Kondisi tubuh yang capek juga menurunkan selera makan. Melihat makanan yang tak nikmat, lalu napsu makan pun berkurang. Makan hanya sedikit. Itu pun juga sejauh dipaksa. Padahal tubuh butuh banyak masukan untuk tenaga dan menjaga suhu agar tetap hangat.
Tubuh yang kondisinya lemas dan lapar merupakan faktor penyebab utama terjadinya kecelakaan, pingsan hingga kematian.
5.      Hipotermia Dikira Kesurupan
Banyak kulihat para pendaki yang najak tanpa ilmu/ bekal pengetahuan yang memadahi yang kulihat mereka sering hanya berbekal semangat dan tanpa perlengkapan memadai. Dapat dikatakan menanjak dengan modal nekat. Geli rasanya, saat ketemu dengan penderita hipotermia, korban yang menggigil dan kehilangan kesadaran, sehingga bicaranya ngelantur. Mereka nyerocos tidak karuan dan sukar diajak komunikasi, lalu dikira kesurupan. Teman-temannya, malah membacakan doa untuk mengusir setan.
Seharusnya, penderita segera ditolong. Berikan langkah pertolongan pertama yaitu mengganti pakaiannya dengan pakaian kering. Masukkan dalam sleeping bag yang sudah dihangatkan. Taruh juga beberapa botol air panas di dalam sleeping bag itu. Jaga kondisi lingkungan tetap hangat. Jika keadaan sudah membaik beri makanan hangat sedikit demi sedikit. Sebisa mungkin jangan diberi kopi atau minuman keras.
6.      Mengejar Julukan “Pendaki Tercepat”
Saat ini, banyak pendaki berusia muda. Kakhasan dari anak muda adalah dinamika yang cepat. Mereka identik dengan selalu bergerak dengan cepat. Mereka terlihat tergesa-gesa. Akibatnya, mendaki gunung pun dianggap sama, mendaki seolah lomba lari ke puncak. Mereka malu menjadi yang paling belakang. Rasa superior mereka tidak mau dikatalahkan, sehingga mereka tidak mau dianggap sebagai yang terlemah. Biasanya mereka dapat mencapai puncak dengan lebih singkat/ cepat.
Saat pulang atau turun pola yang sama juga masih sering mereka pakai. Banyak diantara anak muda yang saat turun gunung dengan berlari. Akibat dari tindakan ini, mereka sering kehabisan tenaga, cidera otot hingga kecelakaan dan tidak jarang yang kehilangan arah/ tesesat.
            Beberapa penemuan ini, cukup menarik perhatianku. Semoga kesimpulan ini bukan kesimpulan sembarangan. Pengalaman lah yang membawaku untuk sampai pada titik ini bahwa mendaki gunung bukanlah kegiatan yang sembarangan. Ada persiapan, ada menegemen dan ada kewaspadaan serta kerendahan hati untuk mengandalkan kekuatan Tuhan menjadi tuntutan yang tidak tergantikan agar mendaki gunung sungguh menjadi kegiatgan yang menyenangkan bukan menyusahkan. Berharap dengan mendaki gunung bisa memperoleh kebahagiaan bukan air mata. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar