RENUNGAN SELAMA
MENDAKI:
“Kesalahan
Mendaki, Nyawa Melayang”
Oleh: Heri
Waktu terus
menjulur, merambat pelan menuju titik tertingginya. Dalam perjalan waktu terus
membantu aku untuk mengabadikan kisah dan terutama sejarah hidup. Salah satu
serpihan-serpihan kisah yang ingin kubingkai dalam catatan sederhana ini adalah
hasil pengamatan yang tidak sengaja. Mungkin malah bisa dikatakan sebagai
penemuan. Bukan barang. Bukan pula edelweiss atau kembang hutan lainnya. Tidak
juga ranting-ranting kayu langka. Yang kutemukan adalah beberapa tindakan
pendaki yang kurang tepat.
Ini lah
beberapa tindakan pendaki yang salah dan dapat berakibat fatal. Bahkan bisa
kehilangan jiwanya:
1.
Mendaki Gunung hanya Sekedar Mengikuti
Tren
Sekitar awal tahun 2000 sampai 2007,
saat mendaki gunung sering kujumpai medan yang sepi dan jarang kutemui dengan
pendaki lainnya. Bahkan sering pula mendaki hanya dengan teman satu rombongan.
Dari berangkat sampai puncak lalu kembali lagi ke basecamp tidak ketemu dengan
pendaki lainnya. Tapi sekarang, setiap kali mendaki selalu ketemu dengan
rombongan lain. Sekarang tidak lagi mengalami suasana gunung yang tanpa pendaki
lainnya (hanya bebrapa kali pendakian saja aku tidak berjumpa dengan pendaki
lain, Sindoro jalur Bansari dan Lawu jalur Cetho).
Dengan demikian, aku berani
menyimpulkan bahwa saat ini, kegiatan mendaki gunung telah menjadi tren. Banyak
remaja dan anak-anak muda yang mengisi waktu luangnya dengan kegiatan mendaki.
Mereka beramai-ramai ikut merayakan tahun baru di puncak-puncak gunung. Bahkan
aku sempat tercengang ketika melihat daftar yang najak sampai 300 hingga 500.
Jumlah yang sangat fantastis. Menguntungkan pengelola, member peluang untuk
mengais rejeki penduduk lokal dan membuka kesempatan usaha bagi para produser.
Tetapi memprihatinkan bagi tanah dan detapak, karena menjadi tidak nyaman untuk
dilihat, penuh dengan barang-barang yang tidak bisa terurai.
Yang perlu disayangkan adalah banyak
diantara mereka mendaki yang tanpa persiapan dan kemampuan teknis yang cukup. Bahkan
ada yang mendaki hanya sekedar untuk hura-hura, membawa bekal logistiknya bukan
ala pendaki tetapi gaya orang pesta. Ada pula yang dengan bangganya malah mencoreti
batu, mengukir nama di pohon serta meninggalkan sampah.
2.
Membuka Jalur Baru
Sering kubertanya pada pendaki yang
tiba-tiba muncul di depanku, pada hal tidak ada persimpangan. Ternyata mereka
membuka jalur baru. Alasan yang mereka
sampaikan juga sama yaitu mencari tantangan. Maka mereka berani mencari jalur
di luar yang resmi. Seandainya mereka dilengkapi peralatan yang mendukung,
buatku sih tidak masalah. Seringkali mereka melakukannya tanpa kemampuan
navigasi yang baik. Mereka tidak membawa GPS, tidak juga membawa peta
topografi, bahkan yang paling dasarpun juga tidak dibawa, yaitu kompas.
Maka tidak mengherankan bila banyak
yang tersesat dan petualangan mereka pun berakhir di dasar jurang atau ditandu
Tim SAR ke rumah sakit bahkan ada yang mati kedinginan di lembah.
Perlu dipahami bahwa membuka jalur
baru itu berarti merusak konservasi. Mengganggu kehidupan liar dan ekosistem. Sejauh
aku tahu, para pendaki berpengalaman tidak akan melakukannya selain untuk
kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan.
3.
Tidak Mampu Mengepak Barang
Saat mendaki, sering kulihat para pendaki yang membawa barang bawaan
tetapi di luar tas kerir. Terlihat berantakan. Tidak rapi. Pating crentel. Seolah-olah
melihat tukang rongsok. Menggelikan saat melihat ada panci digantung ke ransel.
Tangan mereka kadang juga menenteng sleeping bag atau jaket. Dapat disimpulkan
kalau mereka tidak tahu cara mengepak barang bawaan. Kelihatannya sederhana,
tetapi mengepak barang member efek yang luar biasa. Kalau bagus dan bias mengepak
barang, maka barang bawaan yang berat bias terasa ringan. Tetapi kalau tidak
mampu mengepak barang maka, bawaan yang ringan akan terasa sangat berat.
Packing atau
mengepak barang dalam ransel adalah seni yang harus dikuasai pendaki gunung.
Seluruh barang bawaan harus masuk ke dalam ransel. Karena medan sulit, tak
boleh ada yang tergantung di luar ransel selain botol air minum. Tangan harus
bebas karena memegang walking stick
(tongkat) atau berpegangan pada akar-akar pohon saat dibutuhkan.
Aku juga pernah melihat pendaki yang tas kerirnya tidak ada covernya. Pernah
kubertanya, “Packing basah to mas?” “Packing basah itu apa to mas?” Berarti
mereka tidak tahu. Dapat diambil kesimpulan kalau mereka asal memasukan barang
dalam tasnya. Pakaian di dalam kerir tidak dilapisi plastik. Jika hujan, semua
pakaian, jaket dan sleeping menjadi basah. Padahal sangat penting menjaga
pakaian ganti tetap kering. Tidur dengan keadaan basah bisa mengakibatkan
hipotermia. Ini juga bisa menjadi penyebab kematian seorang pendaki gunung.
4.
Tidak Memiliki Kemampuan Manajemen Logistik
Pernah kualami beberapa peristiwa
yang menyedihkan. Mendaki baru sampai puncak tetap bekal telah habis. Ada pula
yang lupa dengan teman pembawa logistik, yang lain nanjak sedangkan yang
membawa logistic malah tidak sampai dan ditinggal. Ada juga kejadian pendaki
yang ngemil mie instan. Saat kutanya alasannya mereka menjawab ringan, “Gak membawa
kompor mas. Mendaki tanpa alat masak, lalu bagaimana mereka bias mendapatkan
asupan nutrisi yang standar. Mungkin bekal rotinya banyak. Tetapi tubuh kan
butuh asupan minuman atau makanan yang masih hangat. Agar lebih mudah mengatasi
dinginnya cuaca.
Sebenarnya, mendaki gunung adalah
kegiatan berat. Butuh kalori hingga 4.000 kkal per hari. Bayangkan dengan
aktivitas sehari-hari yang rata-rata hanya membutuhkan 2.000 kkal per hari. Kebutuhan
kalori yang besar ini didapat dari daging-dagingan berlemak, coklat dan
karbohidrat. Tentu bukan mie instan yang sulit dicerna tubuh dan malah menyerap
air dalam tubuh.
Ada pula pendaki yang enggan makan. Mungkin
karena bekal tidak sesuai selera. Kondisi tubuh yang capek juga menurunkan
selera makan. Melihat makanan yang tak nikmat, lalu napsu makan pun berkurang. Makan
hanya sedikit. Itu pun juga sejauh dipaksa. Padahal tubuh butuh banyak masukan
untuk tenaga dan menjaga suhu agar tetap hangat.
Tubuh yang kondisinya lemas dan lapar
merupakan faktor penyebab utama terjadinya kecelakaan, pingsan hingga kematian.
5.
Hipotermia Dikira Kesurupan
Banyak kulihat para pendaki yang
najak tanpa ilmu/ bekal pengetahuan yang memadahi yang kulihat mereka sering
hanya berbekal semangat dan tanpa perlengkapan memadai. Dapat dikatakan
menanjak dengan modal nekat. Geli rasanya, saat ketemu dengan penderita
hipotermia, korban yang menggigil dan kehilangan kesadaran, sehingga bicaranya
ngelantur. Mereka nyerocos tidak karuan dan sukar diajak komunikasi, lalu
dikira kesurupan. Teman-temannya, malah membacakan doa untuk mengusir setan.
Seharusnya, penderita segera ditolong.
Berikan langkah pertolongan pertama yaitu mengganti pakaiannya dengan pakaian
kering. Masukkan dalam sleeping bag yang sudah dihangatkan. Taruh juga beberapa
botol air panas di dalam sleeping bag itu. Jaga kondisi lingkungan tetap
hangat. Jika keadaan sudah membaik beri makanan hangat sedikit demi sedikit. Sebisa
mungkin jangan diberi kopi atau minuman keras.
6.
Mengejar Julukan “Pendaki Tercepat”
Saat ini, banyak pendaki berusia muda.
Kakhasan dari anak muda adalah dinamika yang cepat. Mereka identik dengan
selalu bergerak dengan cepat. Mereka terlihat tergesa-gesa. Akibatnya, mendaki
gunung pun dianggap sama, mendaki seolah lomba lari ke puncak. Mereka malu
menjadi yang paling belakang. Rasa superior mereka tidak mau dikatalahkan,
sehingga mereka tidak mau dianggap sebagai yang terlemah. Biasanya mereka dapat
mencapai puncak dengan lebih singkat/ cepat.
Saat pulang atau turun pola yang sama
juga masih sering mereka pakai. Banyak diantara anak muda yang saat turun
gunung dengan berlari. Akibat dari tindakan ini, mereka sering kehabisan
tenaga, cidera otot hingga kecelakaan dan tidak jarang yang kehilangan arah/
tesesat.
Beberapa penemuan ini, cukup menarik perhatianku. Semoga kesimpulan
ini bukan kesimpulan sembarangan. Pengalaman lah yang membawaku untuk sampai
pada titik ini bahwa mendaki gunung bukanlah kegiatan yang sembarangan. Ada persiapan,
ada menegemen dan ada kewaspadaan serta kerendahan hati untuk mengandalkan
kekuatan Tuhan menjadi tuntutan yang tidak tergantikan agar mendaki gunung
sungguh menjadi kegiatgan yang menyenangkan bukan menyusahkan. Berharap dengan mendaki
gunung bisa memperoleh kebahagiaan bukan air mata. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar