Selasa, 23 Juli 2019

trail run alternatif pendakian untuk mengurangi sampah gunung


TRAIL RUN:
“Sebuah Alternatif Pendakian untuk Mengurangi Sampah di Gunung”
Oleh: Heri
sabana 1 merbabu
            Salam jumpa sobat petualang. Salam lestari. Salam persahabatan.
            Kali ini, aku akan berbagi pengalaman dalam menekuni metode pendakian “Trail Run”. Aku merupakan pendaki yang mengalami hijrah dari satu “cara” pendakian ke “cara” yang lainnya. Aku menyebut diri sebagai pendaki karena yang aku pahami ketika seseorang sering mendaki gunung bisa disebut sebagai pendaki (pendaki yang aku maksudkan mungkin tidak sama dengan gambaran atau definisi dari para penggiat alam bebas). Aku pribadi juga belum memiliki segunung pengalaman. Hanya beberapa kali pernah mendaki gunung di sekitar Jawa dan yang paling sering aku daki adalah 3 gunung yang dekat dengan rumahku, yaitu Merbabu, Lawu, dan Merapi.
pasar bubrah, merapi

Di sini, aku tidak ada maksud untuk menggurui, atau merasa yang paling tahu. Tidak. Sama sekali tidak ada maksud demikian, aku hanya berbagi pengalaman. Pertama kali aku mendaki gunung di tahun 2001. Sampai hari ini, di tahun 2019 aku masih menekuninya. Aku bersyukur, karena sampai hari ini masih bisa menyempatkan diri untuk menuntaskan rinduku pada sejuk dan segar udara gunung. Minimal dalam setahun aku mendaki 2 kali. Tidak sering, tetapi layak untuk disyukuri, “Masih bisa mendaki”. Selama 19 tahun, aku banyak mengalami perjumpaan dengan berbagai aliran dan metode pendakian. Dari orang-orang yang kujumpa itulah ilmu itu menular dalam diriku.
puncak sindoro via kledung

Secara pribadi, aku memang senang mencoba sesuatu yang baru. Bila aku melihat ada metode “yang beda” dan ada kesempatan menggali  informasi tentang hal tersebut maka aku pun berkeinginan mencobanya. Khusus dalam dunia pendakian gunung, biasanya yang aku inginkan, aku coba praktekan.
gunung kukusan, merbabu

Pertama kali mendaki gunung masih terhitung sebagai pendaki “Nekat”. Modalnya adalah tekat, karena pada tahun-tahun itu perlengkapan gunung merupakan sesuatu yang mewah (sekaligus langka). Awal memasuki dunia pendakian, aku tidak memiliki perlengkapan yang standar. Berhubung yang mengajakku telah memiliki “jam terbang” tinggi dalam dunia pendakian, maka aku pun merasa “Yakin-Aman”. Temanku ini adalah asli anak lereng gunung. Ia tinggal di tengah-tengah (daerah) Merbabu-Merapi. Ia dari kecil terbiasa ikut leluhurnya untuk berziarah ke gunung-gunung di sekitar Jawa Tengah. Temanku ini bisa dibilang sebagai peziarah gunung (tampilannya juga tidak seperti pendaki pada umumnya).
pos iv lawu via kandang

Ah, pada waktu itu  memang perlengkapan masih sangat sederhana. Bayangkan, mantol (jas hujan bat-man/ poncho) menjadi perlengkapan yang multi fungsi. Mantol merangkap sebagai alas tidur/ matras, jadi selimut, dan jadi pelindung/ selter darurat. Sarung adalah alat wajib karena memang serba guna. Logistik yang tidak boleh tertinggal adalah gula Jawa. Awal-awal memasuki dunia pendakian, ketemu pendaki lain adalah sesuatu yang istimewa. Bertemu pendaki lain menjadi saat yang paling melegakan (karena memang langka).
puncak lawu

Dari satu pendakian ke pendakian berikutnya menghantarku pada satu keyakinan bahwa aku memang menyukai kegiatan ini. Ada damai yang kurasa. Ada bahagia yang tidak bisa kujelaskan. Ada kepenuhan bagi dahagia jiwaku. Ada semangat yang berkobar kendati raga telah lelah dihajar tanjakan. Bagiku mendaki gunung adalah saat menemukan oasis hidup.
watu lumpang merbabu

Merasa bahwa mendaki gunung adalah salah satu caraku mengurai gundah hidup. Maka, aku pun secara bertahap mencoba membeli dan memiliki perlengkapan guna menopang kegiatan ini. Satu demi satu alat-alat utama itu terpenuhi. Seingatku di pertengahan tahun 2005, saat mau mendaki gunung Sindoro untuk pertama kalinya peralatan dasarku terpenuhi. Ada kebanggaan yang luar biasa. Menabung dan membeli secara bertahap hingga semua bisa kumiliki, dari tas carrier, jaket, tenda, sleeping bag, kompor, nesting, matras, sandal gunung (belum mampu membeli sepatu), dan perlengkapan yang kecil-kecil lainnya.
bkn porter raung

Tahun 2005 aku mengalami hijrah untuk pertama kali dari “pendaki darurat” menjadi “pendaki konvensional”. Pendaki yang siap tempur. Dengan perlengkapan mandiri yang memenuhi standard pendakian (untuk gunung-gunung di Jawa) menggiringku untuk mulai berani menjajaki pendakian ekspedisi. Artinya, untuk pertama kalinya aku beserta teman rombongan memasuki area tersebut. Satu rombongan belum memiliki atau pernah melewati jalur gunung yang akan kami daki. Berbekal pengalamaan di pendakian sebelum-sebelumnya serta ditopang dengan peralatan yang memenuhi syarat menghantarku menjelajahi setapak-setapak gunung secara ekspedisi.

bkn porter rinjani

Waktu berjalan, menemaniku untuk mengalami perjumpaan demi perjumpaan. Dinamika hidup pun ikut bergerak, berganti dan berubah. Dunia kerja yang kugeluti menghantarku untuk berlaku cerdas. Aku harus bisa memainkan waktu agar hobiku tetap jalan. Keterbatasan waktu tidak menjadikanku berhenti dan menyerah untuk tidak “nanjak”. Sabtu usai kerja, langsung ke base camp untuk melakukan pendakian. Pernah suatu kali, aku mendaki lengkap dengan seperangkat alat tempur. Sampai atas sudah pagi. Berat-berat membawa properti, yang pada akhirnya tidak terpakai (seutuhnya). Siap bermalam, membawa tenda, sampai di penghujung gunung sudah benderang. Tenda tidak jadi digelar. Situasi seperti ini, menggiringku untuk mencoba mendaki dengan model “tik-tok”.
puncak hargo dumilah

Aliran baru yang kugeluti adalah “tik-tok”, sebuah metode pendakian yang hanya membawa perlengkapan dasar, tetap mengutamakan safety. Tetapi tidak memiliki tujuan untuk menginap (tidak membawa tenda). Dengan metode ini, usai kerja aku langsung ke base camp, istirahat dulu, bahkan tidur dulu. Tengah malam baru memulai pendakian. Sehingga tepat saat menjelang sun rise, aku sudah bertengger di puncak. Model pendakian ‘Tik-tokan” yang aku tekuni lebih cocok untuk solo-hiking. Ritme disesuaikan dengan kemampuan personal. Target waktu hampir selalu akurat.
watu lumpang merbabu

Model pendakian tiktok yang kugeluti menghantarku pada pengalaman yang berbeda. Ringan di pundak, tetap safety tetapi tidak bisa menginap. Keprihatinan ini menggiringku untuk mencoba aliran pendakian yang lainnya, yaitu UL (ultralight). UL merupakan salah satu metode pendakian yang memiliki tiga prinsip, yaitu: safety, nyaman, dan ringan. Saat nanjak bisa ngacir, ringan dan tetap safety. Segala perlengkapan “siap tempur” terbawa sehingga bisa cepat tetapi juga bisa santai untuk menikmati alam dalam selter  di tengah alam. Metode tiktok dan UL lebih bersifat personal. Jadi, bisa berangkat rombongan, tetapi perlengkapan digunakan secara perseorangan. Maka, akupun lebih sering mendaki sendiri. Mau berangkat siang, atau malam atau pun pagi, aku mendaki seorang diri (solo hiking).
pasar bubrah, merapi

Sebagai pendaki yang sering  ber-solo hiking, aku jadi lebih longgar untuk bergaul dan bergabung dengan sesama pendaki lainnya. Aku menjadi lebih terbuka untuk memulai komunikasi/ pembicaraan dengan “liyan”. Pernah suatu kali, ketika aku nanjak Merbabu (juga sendirian), ketemu rombongan yang menurutku “gila”. Mereka nanjak hanya bermodalkan perlengkapan yang terbatas. Kulihat mereka hanya menggunakan tas kecil, bahkan ada yg hanya memakai tas pinggang, kecil pula. Yang semakin membuatku takjub adalah mereka berlari. Nanjak gunung tetapi dengan berlari. Ketika ada kesempatan aku pun menggali informasi tentang metode pendakian yang mereka gunakan. Ternyata mereka menggunakan metode trail run atau “kebut gunung” atau bisa juga disebut “pelari gunung’.
menuju sabana 1 merbabu

Salah satu dari rombongan itu bercerita bahwa untuk bisa menggunakan metode ini dibutuhkan beberapa syarat. Pertama, mental. Artinya punya kemampuan untuk mengatasi segala kemungkinan negatif dari kegiatan ini. Punya kemampuan orientasi medan yang mumpuni. Juga memiliki keterampilan untuk bertahan hidup (survival). Semua itu bisa didapat dari “jam terbang”. Semakin seseorang sering melakukan kegiatan di alam, ia akan semakin bisa menyatu dengannya. Kedua, adalah kekuatan dan daya tahan fisik. Bila seseorang mampu berlari di daerah bawah sejauh 5 km tanpa berhenti, ia sudah bisa mencoba metode trail run.
puncak swanting, merbabu

Dari informasi inilah, kemudian aku pun tertantang untuk mencobanya. Pertama yang kulakukan adalah melatih fisik dan daya tahan. Dari kemampuan lari sejauh 3 km, kemudian naik tingkat menjadi 3,5 km, terus naik sampai pada kemampuan 7 km. Latar belakang diriku sebagai pendaki konvensional yang telah memiliki pengalaman menari di atas setapak-setapak gunung mendorongku untuk berani mencoba metode pendakian trail run. Ternyata, mencari teman yang memiliki waktu dan keinginan yang sama sangat lah sulit. Hingga akhirnya kuputuskan untuk merambah hobi baru ini secara perseorangan. Kurang lebih sampai saat ini, aku sudah mencoba metode trail run sebanyak 15 kali. Tanpa bimbingan dari mereka yang berpengalaman di bidan trail run, aku belajar secara otodidak. Informasi terus aku perkaya dari sumber belajar di internet. Jam terbang (pengalaman pribadi) semakin menyempurnakannya. Kendati demikian aku tetaplah masih amatir dalam dunia trail run. Aku terus harus belajar agar menjadi semakin ahli dan terampil.

Seingatku kurang lebih sekitar 2 tahun, aku menggeluti metode pendakian gunung dengan cara trail run. Kendati demikian, aku dlm beberapa kesempatan tetap mendaki dengan metode yang lain ( = konvensional, tik-tok, maupun UL). Dari pengalaman pribadi, kuberanikan diriku untuk mengambil kesimpulan bahwa metode trail run dalam dunia pendakian merupakan metode yang paling sedikit membawa perlengkapan. Maka dengan sendirinya sisa perbekalan yang tidak terpakai juga yang sedikit.
seluruh bekalku ada diranselku

Dewasa, ini dunia pendakian merupakan kegiatan yang baru booming. Mendaki gunung seolah-olah sudah menjadi bagian dari life style remaja pada umumnya. Gaya hidup dari kalangan anak muda salah satunya adalah “mendaki gunung”. Seolah-olah, bila anak muda belum pernah mendaki belum layak/ sah disebut sebagai anak muda. Sayangnya, geliat untuk menekuni kegiatan ini tidak diimbangi dengan kesadaran akan p[entingnya menjaga lingkungan gunung. Hampir di setiap jalur pendakian yang kulewati, sampah gunung begitu banyaknya. Kendati dari pihak pengelola base camp ataupun relawan yang melakukan operasi bersih gunung, tetapi sampah gunung masih juga menumpuk.
pos iv lawu via kandang

Oleh karena itu mendaki dengan metode trail run bisa sebagai  salah satu solusi untuk mengurangi jumlah sampah di gunung. Aku berpikir, bila ada persiapan yang matang dalam banyak hal, semua orang bisa menggunakan metode trail run.
Bagi rekan petualang, dan sobat pendaki yang masih belum memahami kegiatan ini. Pada kesempatan ini, aku mau berbagi tentang metode ini.

Trail run atau mountain running merupakan olahraga yang terdiri dari running dan hiking. Kegiatan ini berbeda dari lari di jalan aspal dan hiking biasa. Trail run dapat dijelaskan sebagai kegiatan olah raga yang menggabungkan kegiatan “lari” dan “mendaki”. Oleh karena itu trail run biasanya dilakukan di daerah pegunungan. Trail run adalah olah raga lari dengan medan gunung atau pegunungan. Sehingga medannya tidak biasa, artinya pelari akan  menemukan turunan dan tanjakan, serta jalanan setapak yang bervariasi antara tanah, rumput, kerikil, batu, selokan, sungai, dan lain-lain.

Pada prinsipnya trail run itu olah raga yang sama halnya dengan lari di jalan raya. Bedanya trail run berlari di jalur pendakian, jalur setapak di kebun teh, perbukitan, atau jalur trail lainnya. Kegiatan trail run dapat dilakukan hampir di semua gunung dengan mode trek yang memiliki tanjakan dan turunan seperti trek gunung pada umumnya. Sedangkan untuk medan lari yang berlokasi di atas 2.000 mdpl biasanya disebut Sky Running. Artinya jika cuaca mendukung, dari ketinggian tersebut pelari biasanya sudah sejajar atau di atas awan.

Dalam melakukan trail run diperlukan peralatan-peralatan khusus yang tentunya tidak sama dengan yang dibawa ketika mendaki gunung. Peralatan dalam melakukan trail run relatif jauh lebih ringan dibandingkan dengan peralatan yang dibawa ketika mendaki gunung. Beberapa perlengkapan wajib yang mesti dibawa dalam pendakian dengan metode trail run adalah sepatu, baju dan celana (pakaian), hydropack, waterblader, dan P3K.
Sepatu yang digunakan dalam kegiatan trail run biasanya dirancang khusus dan memiliki sol agresif menonjol yang umumnya lebih kaku dari sepatu lari biasa. Sepatu ini kurang ’empuk’ daripada sepatu yang dirancang untuk aspal. Selain itu, sepatunya lebih rendah yang membuat stabilitas terbaik di medan tidak rata.
Saat melakukan trail run sebaiknya pakaian yang dikenakan dapat menyerap keringat dengan baik namun memiliki kemampuan kering yang lebih cepat. Maka pilihlah kaos dengan bahan quick dry, baik lengan pendek ataupun panjang, begitupun untuk celana juga yang berbahan quick dry.

Tas ransel dalam trail run tidak sama dengan tas ransel pada pendakian. Tas ransel untuk trail run merupakan tas ransel yang kecil. Saat trail run biasanya menggunakan tas ransel sepeda atau hydropack yang berukuran kecil. Tas ransel ini berfungsi untuk menyimpan peralatan seperti air minum, makanan, obat-obatan, dompet, handphone, dan lain-lain. Keperluan lain yang diperlukan adalah aksesoris yang memiliki kegunaan tertentu, seperti topi, scarf/badana, kacamata hitam, masker, running jacket, peluit, dan snack bar. Biasanya tas ini juga didesain untuk membawa water blader atau kantung air yang disesuaikan dengan kebutuhan (ukuran 1/1,5/2/3,5 liter).

Perbekalan yang tidak boleh ketinggalan adalah P3K. Biasanya merupakan obat-obatan yang pokok, misalnya bethadine, counterpine, koyok, plester, perban, paracethamol, dan diapet. Satu hal lagi yang perlu dibawa adalah hypothermia blanket yang terbuat dari aluminium, selimut ini biasa digunakan untuk pertolongan bagi penderita hypothermia atau kehilangan panas tubuh[1].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar