Kamis, 04 Juli 2019

Catatan Perjalanan: Couple Rider, Touring dari Solo ke Nusa Penida Bali


COUPLE RIDER:
MENEMUKAN BIJAK SEPANJANG SOLO NUSA PENIDA BALI
Oleh: Heri


Pada mulanya…
Waktu berlalu, dan jaman terus bergeser, bergerak. Tak ada yang abadi. Begitupun “cara” menyampaikan kisah. Dewasa ini, manusia perlahan-lahan mulai meninggalkan penyampaian cerita melalui tulisan. Orang lebih suka “melihat” dari pada membaca. Menonton menjadi sarana cepat untuk memperoleh informasi. Vlog sekarang lebih popular dari blog. Chanel you tube lebih menggairahkan dari link berita tulis.
Sempat ragu-ragu untuk menuliskan sepenggal cerita hidup ini. Kisah yang terlalu sederhana dan remeh. Serbuan vlog yang kian gencar, dari yang apik penuh muatan sinematografi ataupun dari yang sangat amatir memenuhi ruang medsos. Jadi gamang untuk merangkai kata (walau saya pribadi juga tidak produktif membuat tulisan di blog pribadi). Tetapi bila mengamati diriku sendiri yang masih sangat menikmati “membaca kisah”. Sejelek apapun tulisan seseorang mengenai kisah hidup, aku suka. Semiskin apapun diksi yang digunakan, aku tetap bisa menikmatinya. Ketika membaca kisah, ada imajinasi yang mengalir. Membaca kisah menjadikan diriku lebih hidup.
Dari pengalaman ini lah, kuberanikan dan kutekadkan untuk setia menulis kisah. Ada pengandaian bahwa tipikal orang beragam, dan mungkin ada yang sama dengan diriku, “lebih suka membaca kisah dari pada menonton kisah”.


Pada Jarak 1.533 Km, dalam Waktu 7 Hari: Kubercermin
Telah beberapa kali aku dan isteriku mengisi waktu luang untuk sejenak menikmati semesta. Sudah menjadi komitmen kami bahwa adanya keterbatasan tidak boleh menjadi penghalang. Demi menekan biaya, kami terbiasa untuk bermotor ria. Hingga dalam beberapa kesempatan kami disebut couple rider. Sebenarnya kami tidak layak juga disebut seperti itu. Kalau secara harafiah ya memang benar kami sebagai pasangan suami isteri sering berkendara. Tetapi apakah demikian yang dimaksudkan sebagai couple rider.

Ah, terserahlah. Kami tidak mau terjebak pada sebuah definisi. Yang jelas dalam beberapa kesempatan, kami sering mengisi waktu untuk berpetualang dengan sepeda motor. Bagi kami, petualangan adalah sumber sukacita dan bahagia hidup. Maka, kami sering meluangkan waktu untuk berkelana, menjelajahi tempat, budaya yang selama ini belum kami kunjungi. Perjumpaan dengan sesama, situasi, lingkungan, dan tradisi yang “beda” merupakan makanan jiwa.

Perjalanan kali ini ada kaitannya dengan petualangan tahun lalu. Pada waktu itu, secara tidak sengaja kami berjumpa dengan couple rider yang sangat senior. Kami bertemu di deck ferry penyeberangan dari Labuan Bajo menuju Sape. Kami sama-sama dari sejenak menikmati pesona pulau Flores. Sepanjang perjalanan  itu lah jalinan hati mulai terajut. Hingga kami merasa telah menjadi saudara. Lebih tepatnya ikatan antara anak dan orang tua. Mereka asli Bali dan tinggal di sana. Tahun ini mereka mengundang kami untuk berkunjung.
Bu Dhe Made n Isteriku

Maka, perjalanan kali ini bisa disebut sebagai petualangan silahturami. Di satu sisi berkunjung pada saudara, di sisi lain tetap menentukan daerah yang kami belum pernah singgah. Kami menetapkan tujuan untuk berkunjung ke tiga nusa di Bali, yaitu Penida, Lembongan, dan Ceningan.
Sabtu, 1 Juni 2019 tepat pukul 05.00, kami memulai perjalanan. Biasanya, kami naik motor dari Solo-Ketapang, Banyuwangi membutuhkan waktu sekitar 10-12 jam. Berharap semoga perjalanan lancar sehingga malam sudah bisa berjumpa sahabat di sana. Kendati ada rencana, namun kami juga terbiasa fleksibel. Ada target tetapi tetap realistis pada peristiwa. Sehingga, kami sangat biasa menerima berbagai peristiwa yang terjadi dalam setiap petualangan.
Arus mudik pada tahun ini memang beda dengan tahun-tahun yang lalu. Situasi jalan raya cukup terkendali-lancar. Sehingga tepat pukul 16.30 kami tiba di pelabuhan penyeberangan Ketapang, Banyuwangi. Registrasi dengan sistem e-money sangat membantu terurainya kemacetan (NB: membayar dengan uang tunai masih tetap dilayani). Pukul 17.00 kami mulai menyeberang. Ombak agak sedikit meninggi. Goncangan begitu terasa. Niat hati mau sedikit rebah agar tenaga pulih menjadi percuma. Teriakan histeris dari para penumpang menjadikan aku tak bisa lelap. “Ah, wajar. Mungkin mereka baru pertama mengalami situasi seperti ini”.

Situasi yang tidak memungkinkan untuk tidur sejenak menjadikanku terkenang dengan beberapa peristiwa yang menarik untuk dimaknai. Sepanjang perjalanan Solo-Banyuwangi ada kejadian-kejadian yang akhirnya bisa mengisi hidup. Pertama, tersesat. Lebih dari 4 kali, aku melewati jalan Mojokerto-Mojosari yang selanjutnya akan ke Pasuruan dan seterusnya. Karena lebih dari 4 kali itulah serta merta menjadikan diriku tidak waspada. Yang seharusnya aku memilih belok ke kanan tetapi malah lurus sehingga aku malah sampai di Sidoarjo. Kami sempat berseteru karena peristiwa ini. Bagiku, pengalaman seperti ini dalam dunia adventure merupakan bumbu. Secara tidak sengaja, akhirnya aku pernah menikmati pesona jalanan kota Sidoarjo.

Kedua, dua kali mengalami hampir mati (jika terjadi crush). Dua kali terselamatkan dari peritiwa yang nyaris tabrakan. Peristiwa pertama saat keluar dari Bangil menuju Pasuruan, sebuah bus ¾ dari pinggir jalan tanpa aba-aba dan tidak ada lampu sein menyala tiba-tiba masuk ke tengah jalan. Pada hal aku berada tepat di belakangnya. Direm jelas tidak mungkin, maka tindakan yang bisa aku pilih adalah banting kiri, keluar aspal mengisi ruang yang tadinya diisi bus. Cukup berat aku menyeimbangkan sepeda motor yang full muatan (1 boncenger dan tiga box dengan isinya) di jalanan luar aspal dengan kecepatan 60-70 km/jam.
Peristiwa hampir tabrakan yang kedua adalah pada saat keluar dari Probolinggo menuju Paiton. Dari arah berlawanan sebuah angkot belok ke kanan memotong jalan tanpa memberi tanda. Pada hal waktu itu kecepatanku sekitar 90 km/jam. Apa daya, banting kiri tidak mungkin, banting kanan juga. Terpakasa rem total. Motorku sampai meliuk-liuk dahsyat. Nyaris. Tinggal 30 cm banku berhenti tepat di samping body angkot. “Puji Tuhan. Masih selamat”. Sudah jadi prinsipku dalam tiap petualanganku, “Apapun peristiwa buruknya, tidak boleh mengumpat. Mboten pareng misuh”.

Di tengah syukurku karena masih diberi keselamatan, ferry telah berlabuh. Saatnya turun. Tepat pukul 20.00, kami tiba di Gilimanuk, Bali. Sebelum keluar dari ferry, aku memeriksa motorku dan ternyata side box sebelah kanan engsel tutupnya telah lepas. Pasti terpental saat ada gelombang besar. Ini bukan peristiwa pertama. Jadi tidak heran. Setelah menyiasati tutup box, kami melanjutkan petualangan.
Situasi jalan di seputaran pelabuhan masih cukup ramai para pemudik. Perantau yang di Bali pada mau pulang kampung. Tetapi antara arus yang masuk dan keluar Bali tidak seimbang. Sehingga para pengendara yang dari arah berlawanan cenderung “arogan”. Beberapa kali aku harus mengalah demi selamat. Bebeapa kali harus rela turun dari jalan aspal. Raga yang tidak lagi kokoh dengan keadaan lalu lintas yang demikian menggiring isteriku menyampaikan ide, “untuk segera mencari penginapan”.
Sekitar 30 km dari Gilimanuk sampailah kami di Negara. Pandanganku membagi konsentrasi, di satu sisi fokus melihat jalan dan di sisi lain mencari plakat bertuliskan penginapan/ home stay. Tidak berapa lama, sebelum hujan turun, kami telah memperoleh penginapan dengan harga ramah di kantong. Hotel dengan fasilitas doble bad, kamar mandi dalam, tv, almari, teras dengan seperangkat meja kursi, tempat parkir luas, dan taman hanya 100 ribu.
Segera berkemas, mandi, dan keluar lagi untuk mencari makan. Usai makan malam, kami kembali ke hotel. Setelah sejenak menyesuaikan diri dengan lingkungan, cuaca, dan udara kami pun lelap dalam istirahat.

***
Di temani rintik hujan lembut sepanjang malam, kami pun dapat tidur pulas. Bangun dengan segar. Sayangnya cuaca masih mendung dan cenderung akan hujan lagi. Kami sejenak malas-malasan untuk segera beranjak melanjutkan kisah. Melihat cuaca yang tidak memberi tanda-tanda akan cerah berbinar-binar, kami pun memaksa diri untuk terus dengan prinsip, “Hujan, ya istirahat. Berteduh. Lagian misi kami hari ini hanya menemukan rumah saudara dan saling berbagi kisah serta mengisi hidup”.
Sekitar pukul 08.00, kami meninggalkan hotel. Baru keluar dari kota Negara, hujan turun dengan sendu. Terlihat dari arah berlawanan semua telah memakai jas hujan. Aku putuskan untuk mencari tempat berteduh sekaligus bisa untuk mencari sarapan. Tidak begitu jauh, kami pun menemukan warung khas Bali, segera kami pun merapat. Sarapan di temani hujan di tengah hamparan sawah yang menghijau. Dipadu dengan aroma air laut. Sungguh kenikmatan yang tiada tara.
Jalanan antara Negara-Tabanan adalah surgaku. Bagiku keindahan yang ditawarkan telah menampung kebutuhan seorang raider-petualang. Ada tanjakan, turunan, kelokan tajam, halus dan sedang. Ada medan lurus dengan hamparan sawah dengan hijaunya pepadian, menembus hutan-hutan kecil, melewati kebun karet, menyisir pinggiran pantai dengan alunan deburan ombak dan angin yang menaburkan aroma lautan, lembah, dedaunan, dan aroma tanah basah. Melintasi jembatan panjang maupun pendek untuk nyeberangi sungai-sungai dengan bening air gemericiknya.
Sekitar 60 km surga telah terlampui. Sebelah kiri kulihat terminal Mengwi, berarti sebentar lagi akan bertemu dengan pertigaan yang memisahkan arah Denpasar atau arah utara (Bedugul/ Singaraja). Rumah saudara yang ingin kami tuju berada di lintasan antara Denpasar-Bedugul. Karena kami memang belum pernah ke sana, jadi wajarlah bila harus konsentrasi untuk menemukannya. Sekitar 5 km dari Mengwi, sampailah kami.
Dengan kehangatan bagaikan keluarga lama yang tidak jumpa, kami disambut. Dipersilahkan masuk dan dijamu. Obrolan demi obrolan mengalir mengisi jiwa kami. Sore telah lewat, merambat melewati malam. Sekitar pukul 21.00, kami sudahi obralan hati untuk beristirahat. Karena besok kami, akan melanjutkan kisah.
di taman sederhana milik Pak Dhe
***
Pagi menjelang, sarapan telah tersedia. Tak lupa kami mandi dan packing ulang. Saat kami berpamitan, tidak terasa air mata tuan rumah mengalir. Perpisahan yang haru. Kami pun berjanji untuk datang lagi. Dengan harapan hati yang telah terikat akan menjadi semakin lekat.
Target hari ini adalah sampai Nusa Panida. Untuk bisa menyeberang ke pulau tersebut, kami harus lewat Padang Bai. Sebuah pelabuhan yang bisa menghantar penumpang dengan armadanya. Di pelabuhan ini, ada fasilitas ferry, sehingga penumpang bisa sekaligus membawa kendaraannya. Untuk sampai di pelabuhan, kami memilih rute Ubud-Gianyar-Klungkung-Padang Bai. Sengaja kami memilih jalur ini, karena rute ini merupakan jalur wisata Bali. Ada banyak spot wisata yang bisa disinggahi. Sambil melintas sekaligus mengisi jiwa dengan keindahan semesta. Tepat pukul 11.30, kami tiba di pelabuhan. Membeli tiket dan antri.

Sekitar pukul 12.30, ferry meninggalkan Bali. Penumpang rata-rata adalah pelancong, baik lokal maupun manca. Ada juga penduduk setempat dan pedagang. Ferry tidak terlalu penuh. Menurut perkiraan, lama penyeberangan hanya 1 jam. Kudengar di kanan-kiriku banyak yang berbincang tentang petualang-petualangan seru dalam mengarungi keindahan-keindahan Nusantara. Ada beragam tempat yang disebutkan dan diceritakan. Aku enggan ambil bagian karena aku hanya pengembara sederhana. Pengelana sepeda motor yang hanya sesekali memuaskan dahaga hati dengan berkelana. Kehadiran kami seolah-olah tidak ada. Hal itu mungkin karena segala atribut dan aksesoris yang aku dan isteriku pakai tidak menunjukan hal-hal yang bernuansa seorang petualang.
 Sekitar pukul 14.00, kami mendarat di Sauna, Nusa Penida. Sekarang kami berada di daratan, tempat, situasi dan lingkungan yang baru. Kerendahan hati untuk tidak mengunakan tolok ukur personal mutlak perlu. Saatnya menanggalkan segala konsep dan pengalaman tentang “yang indah” agar bisa mengalami, menikmati, dan meresapi segala yang ada. Acuan dan gambaran tentang yang baik harus ditinggalkan. Keindahan merupakan keberhasilan dari “cara menikmati”. Bukan yang terpampang di hadapan mata, tetapi yang bisa ditangkap hati yang selanjutnya mampu mengisi relung-relung jiwa.

Petualangan hari ini aku mulai dari sisi timur menuju selatan. Keluar dari pelabuhan kubelokkan motor ke arah kiri. Saatnya menari di atas motor, meliuk, menikuk, meluncur lurus, merambat pelan saat nanjak tajam, melesat terkendali saat menuruni perbukitan. Hamparan semesta dari paduan bentangan biru lautan di sisi kiri jalan dan gundukan-gundukan perbukitan yang menghijau permai. Hembusan segarnya udara pantai selatan menghantar untuk semakin hanyut dalam dekapan mesra semesta.
Sepanjang jalan ini, banyak bungalow, resto, kafe dan home stay yang rata-rata dihuni oleh tamu manca. Wisatawan domistik langka ada. Sambil mematri keindahan alam ini dalam sanubari, mendadak perutku berontak.  Kode keras. Segera aku dan isteriku mencari resto yang ada wisatawan domestiknya, tetapi tidak juga kutemukan. Akhirnya asal masuk saja. Resto yang didesain sangat privat dan natural. Dari jalan hanya terlihat tulisan. Ketika masuk ke lokasi, langsung kita disuguh panorama biru lautan dengan kesegaran udaranya. Sepanjang kami beristirahat dan menikmati makan siang menjelang sore ini, tak ada satupun tamu domestik. Kami serasa asing di negeri sendiri. Seluruh pengunjung adalah wistawan asing.

Sedikit ngobrol dengan pengelola resto, akhirnya kami memperoleh gambaran sekilas tentang pulau ini dengan segala keindahan alam dan keunikan budayanya. Sekitar pukul 15.30, kami meneruskan petualangan tanpa target. Sasaran kami adalah waktu. Mengalir mengikuti alur jalanan hingga kami tiba di keindahan pantai Atuh. Karena baru pertama ke tampat ini, maka yang kami lewati adalah jalur yang tidak popular. Kami tidak melewati jalur yang sekaligus dapat sampai di pantai Diamond, dan Tree House.
Setelah puas menyegarkan dahaga jiwa, saatnya kembali ke arah awal. Kami belum mencari tempat berteduh. Sepanjang jalan sambil menikmati yang ada, berharap untuk menemukan penginapan yang ramah di kantong. Akhirnya kami tiba kembali di Suana (Suane). Ada banyak pilihan home stay. Kami memilih home stay Dewi. Dengan tarif 200 ribu, kami memperoleh fasilitas keramahan yang tiada tara, wi-fi, kamar AC super dingin, gede, TV, 2 almari, sarapan, kebebasan membuat minuman sendiri, ada dapur, mesin cuci dan tempat menjemur. Semua itu tidak ada sesalnya bila hanya mendapat kekurangan kamar mandi bersama (ada 2). Home stay ini memiliki 5 kamar dan satu-satu tamu domestik hanya kami. Bahkan ada tamu yang menginap lebih dari 1 bulan.
Malam berlalu menggiring hati untuk memaknai hari dengan segala keindahannya.  Sebelum mata terlelap kusyukuri perjumpaanku dengan satu keluarga yang pagi tadi menitikan air mata. Sebuah rahmat yang luar biasa, selain kekayaan hidup yang mereka bagikan, ada juga tawaran seni hidup yang tidak pernah memadamkan api harapan. Kerasnya perjuangan hidup akan menjadi sia-sia bila tanpa ada harapan yang sejalan dengan kedamaian hati. Kesuksesan hidup mesti diukur dengan kemampuan untuk berdamai dengan segala peristiwa yang terjadi.

***
Pagi merekah, saatnya mengisi lembaran hidup dengan seni petualangan. Kali ini, kami menuju ke barat, melewati Ped, Toya Pakeh (mengalami kemacetan sejauh 3 km), terus ke barat (Cristal beach, Gamat, dan Klingking). Wisata Nuspen sisi barat ternyata lebih ramai dari pada sisi Timur (wisatawan pun lebih beragam). Beberapa titik mengalami kemacetan. Wajar, karena jalannya sempit dan di beberapa titik rusak parah (aspalnya hancur lebur).


Pertengahan hari, kami telah tiba di parkiran air terjun Seganing. Sebuah wisata religi sekaligus adrenalin yang tidak terlalu populer. Tempat yang sangat asik. Sungguh mengisi jiwa. Di sini, kami berjumpa dengan pengelola warung yang merangkum beberapa budaya dalam darahnya (Jawa, Bali, Lampung dan Nuspen). Beliau masih sangat muda, ramah dan menarik. Ada banyak informasi yang bisa kami dapat. Bahkan beliau menawarkan ikatan persaudaraan untuk singgah di rumahnya. Bila nanti kami berkunjung lagi, kami diminta untuk menginap di rumahnya, “jangan nginap di hotel”.

Dari ketinggian tebing nam curam kami mampu memotret keindahan semesta dengan jiwa dan hati. Kemudian kami menuruni jalur peziarah. Di bawah tebing ada air terjun langsung dari mata air, ada kolam dan pura. Tidak banyak wisatawan yang berani turun ke bawah. Kami menantang diri untuk  menguji batas kekuatan, keberanian, ketakutan dan nyali. Beberapa kali isteriku menyerah untuk tidak melanjutkan. Beberapa kali pula aku harus mendukungnya. Akhirnya kami bersama-sama tiba di mata air. Langsung minum sepuasnya dan mandi serta berendam. Segarnya luar biasa. Sambil berendam kami menikmati tarian deburan ombak dan lukisan riak-riak air yang bekejaran menepi. Di kejahuan bentangan batas horizon tersenyum manja, seolah-olah menyelamati keberhasilan perjuangan kami.
mata air yg akhirnya njatuh sbg air terjun seganing

Perjuangan yang tidak kalah seru adalah naik kembali ke titik perjuangan. Berpamitan dengan pemilik warung. Lanjutkan petualangan. Sasaran kami adalah menikmati sun set di Broken Beach (Angel-Billabong). Situasi jalanan tidak ada bedanya, semuanya masih menantang nyali, menguji adrenalin. Target kami tercapai. Saatnya bercengkerama dengan santapan jiwa.



Sebelum terang menjemput gelap, kami pun berpamitan dengan pesona alam yang seolah tidak akan pernah tuntas. Tak berapa lama gelapun menyelimuti. Jalanan di tengah hutan, bukit, lembah, tanpa aspal, tanpa lampu jalan melengkapi adventure kali ini. Kulihat banyak wisatawan baik manca maupun domestik (yang menggunakan sepeda motor rental) mengandalkan GPS tampak kebingungan. Sebenarnya, tidak mengherankan bila mereka sering berhenti dipinggir jalan demi menunggu sinyal yang terbawa angin, agar GPS menjadi akurat. Kubersyukur dikaruniai kemampuan “orientasi medan” yang lumayan baik. Kendati hanya bermodalkan selembar peta, jarang kami tersesat.

Tidak terasa, kami telah tiba di Toya Pakeh. Daerah yang cukup ramai. Malam ini adalah malam takbiran karena besok adalah hari raya idul fitri. Ada persiapan pawai takbiran. Menurut informasi di Toya Pakeh, memang ada komunitas muslim yang cukup besar. Sebelum tiba di penginapan, kami menyempatkan diri untuk makan malam. Sekitar pukul 20.00, kami telah sampai di penginapan dengan selamat bersama segala kenangan petualangan.
Malam ini terlalu ceria. Ada taburan bitang yang merona cerah. Angin pantai berhembus dengan lembut membawa kesejukan hati. Sayang bila hanya dilewati dengan tidur pulas. Kulihat di sekitar penginapan ada beberapa kafe dan resto yang isinya adalah tamu asing. Mereka sungguh-sungguh penikmat suasana.
Segelas kopi hitam menemaniku di pojok ruang. Segelas kopi menjadi kunci menemukan cara sebagai “penikmat suasana”. Segelas kopi menghantarku untuk leluasa mencumbui malam, merambati kisah, dan berselancar mengarungi ombak hati. Hingga aku bertemu dengan remah-remah hidup yang mesti aku olah lagi.

Dua hari di Nuspen, aku tidak melihat adanya plat kendaraan selain “DK”. Mungkin, hanya motorku yang dari luar Bali. Selama dua hari ini, kutemukan satu keyakinan bahwa beda orang beda cara untuk menikmati keindahan serta cara mengekspresikan dirinya. Ada yang cukup berswafoto, ada pula yang sungguh menyatu dengan keindahan itu, ada pula yang hanya duduk bengong sambil ditemani segelas kopi. Bisa jadi, caraku menikmati dinilai tidak berarti oleh orang lain. Maka, aku juga tidak boleh mengadili dan menilai bahwa cara orang menikmati keindahan itu buruk dan tidak cocok. Diriku ya diriku, diri orang lain ya milik mereka dengan segala keunikannya.
***
Rangkaian makna hidup menghantar lelap tidurku hingga pagi merekah. Mentari bersinar dengan gagah, membuyarkan rasa malas yang melekat. Hari ini, kami akan berkunjung ke Nusa Lembongan dan Ceningan. Selepas sarapan, kami segera menuju ke arah barat. Sekitar 10 km dari penginapan, kami tiba di Toya Pakeh. Penyeberangan dengan sped boat dari tempat ini. Setelah parkir sepeda motor, kami pun segera naik ke speed boat. Penyeberangan hanya sekitar 10 menit. 5 menit selepas dari Toya Pakeh, bentangan jembatan kuning (Yellow Bridge) yang menghubungkan Lembongan-Ceningan terlihat gagah mengundang datang.

Kami mendarat dengan selamat dan membayar 25 ribu/orang. Setelah itu, aku bernegosiasi untuk menentukan kesepakatan harga sewa rental sepeda motor. Untuk setengah hari (sampai pukul 12.00), 60 ribu aku mendapat motor matic 150 cc. Tidak menyia-nyiakan waktu, kami segera merambati keindahan Nusa Lembongan, dari satu tempat wisata menuju wisata yang lainnya. Hingga akhirnya, kami telah berhasil mengelilingi pulau ini. Lalu kami pun melewati jembatan kuning untuk menengok keindahan semesta di Nusa Ceningan.

nyelfi di yellow bridge

Dari tiga nusa yang ada, Ceningan merupakan pulau terkecil. Sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa mengelilinginya. Usai puas menikmati gugusan keindahan di dua nusa, kami pun mengembalikan motor sesuai kesepakatan. Lalu menyeberang balik ke Penida. Masih ada separo hari. Padahal kami telah menuntaskan misi mengelilingi dua pulau. Lalu, kami memutuskan untuk mengunjungi beberapa tempat yang belum sempat kami singgahi.

Kunjungan pertama, kami memilih mencari tempat makan siang yang menyuguhkan panorama laut beserta semilirnya angin dan aroma laut. Akhirnya, kami memilih menyusuri sisi timur dari Nuspen yang memang masih sepi. Resto telah kami temukan saatnya makan. Kembali terulang, hanya kami wisatawan lokal, lainnya adalah tamu manca. Kembali kami meneruskan kisah, hingga sampai di Pantai Diamond.

Untuk bisa mencapai Diamond Beach, membutuhkan nyali yang cukup. Karena jalan turun cukup terjal. Sudah dibikin tangga, tetapi belum semuanya. Menjelang pantai, tangga dari tatahan tebing batu belum selesai (semoga segera diselesaikan, sehingga pengunjung merasa nyaman). Pantainya sangat cocok untuk bermalas-malasan, sejuk dan berpasir putih, serta tidak terpapar sinar matahari langsung (kalau sore). Pantai ini hanya dipisahkan tebing bukit dari pantai Atuh. Maka, pantai ini sangat cocok untuk menikmati sun rise.

Sore menjemput, kami pun melanjutkan cerita kembali ke penginapan. Bersih diri. Ke luar lagi untuk mencari makan malam. Sejenak menghabiskan malam dengan duduk manis di pojok kafe. Hingga malam kian larut, membawa sejuk hati untuk mengurai lelah.
sempitnya tangga ke diamond


***
Hari terakhir di Nuspen. Pagi kami bangun, sarapan. Tepat pukul 07.30, kami meninggalkan penginapan. Antrian yang cukup panjang dengan layanan yang cenderung lambat tidak menghambat niat hati untuk mendapatkan tiket menuju Padang Bai. Sekitar pukul 09.30, akhirnya bisa duduk di bangku fery. Sambil menunggu fery berangkat, kami sempat berbagi kisah dengan beberapa penumpang. Ada banyak info yang saling memperkaya hidup. Sekitar pukul 10.30, fery mulai bergerak.

Kulirik jam tanganku, saat waktu berada pada tepat pukul 12.00, kami tiba di dermaga Padang Bai. Tidak menunda waktu, kami langsung tancap gas. Berharap sebelum gelap sudah sampai di Ketapang. Harapan kami terkabul, 4 jam perjalanan yang diselingi makan siang telah menghantar kami hingga berada di bangku fery penyeberangan Gilimanuk-Ketapang. Penyeberangan lancar. Pukul 16.00 WIB kami langsung geber gas, target kami bila raga mampu menopang akan berlabuh di Probolinggo. Namun apadaya, raga yang lelah tak mampu bekerjasama. Akhirnya, kami memutuskan untuk mencari penginapan di sekitar Pantai Pasir Putih, Situbondo. Pukul 18.30, kami telah memperoleh kamar, mandi, mencari makan dan istirahat.

Pagi merekah, semangat membara. Kami bergegas meninggalkan hotel pagi-pagi sekali. Sekitar pukul 07.00, kami pun telah tiba di Pasuruan. Segera mencari sarapan, sekaligus istirahat. Setelah raga terpuaskan dengan asupan nutrisi dan istirahat, kami pun melanjutkan perjalananan. Tengah hari, kami telah sampai di Nganjuk, istirahat di Pom Bensin. Ada banyak teman seperjalanan (walau beda asal dan tujuan) yang sedang istirahat. Kami pun dengan rela berbagi pengalaman hidup. Sekitar pukul 14.00, kami tiba di hutan Mantingan, saatnya mencari makan siang. Lanjut lagi dan tepat pukul 16.30, kami tiba kembali di rumah tercinta, Solo (dengan selamat dan bahagia).



Pada Akhirnya, …
Cerita ini hanyalah kumpulan serpihan-serpihan kisah dalam perjalanan, petualangan dan peziarahan yang kami lakukan. Tidak ada detil peristiwa yang mampu dituliskan. Namun, kenangan akan abadi dalam ingatan. Tepat tujuh hari enam malam, kami (aku dan isteriku) meninggalkan rumah untuk sejenak melakukan perjalanan ke timur dan berhenti di Nusa Penida lalu kembali lagi ke Solo. Dari perjalanan singkat ini, ada banyak makna hidup yang kutemukan. Selama melakukan petualangan dengan bermotor ria ada banyak cerita yang bisa kami lukiskan. Kami berharap petualangan ini mampu mengikat hati kami sebagai suami isteri agar semakin dalam. Hingga kami semakin mampu saling memahami, mengisi, memberi, dan menerima. Semoga dengan kegiatan ini, kami tidak hanya berhenti pada suka cita permukaan tetapi akan bermuara pada pendewasaan diri.





1 komentar:

  1. Perjalanan yang tentu saja menyenangkan, meskipun hanya menggunakan motor. Namun tetap Nusa Penida menjadi idola bagi semua wisatawan. Semoga bisa terus memberikan keindahan untuk semua wisatawan. Jangan takut untuk yang punya waktu sedikit coba aja one day trip Nusa penida atau tour nusa penida 1 hari

    BalasHapus