Senin, 07 Juni 2021

CATATAN PERJALANAN: GUNUNG JOBOLARANGAN VIA WONOREJO, JATIOSO, KARANGANYAR

 CATATAN PERJALANAN: GUNUNG JOBOLARANGAN VIA WONOREJO

Oleh: Heri Jimanto


Puncak Jokoloarangan 2.300 mdpl

 

Salam jumpa sobat petualang. Kembali bertemu dalam sebuah cerita. Kali ini aku akan berbagi pengalaman mendaki Gunung Jobolarangan dengan ketinggian 2.300 mdpl. Memang bukan gunung tinggi dan juga bukan gunung terkenal. Tetapi soal keindahannya boleh diadu. Terutama bagi yang suka dengan petualangan “junggle trekking”.

 Sekilas pandang tentang Gunung Jobolarangan

            Bagi kebayakan dari sobat petualang bisa saja Gunung Jobolarangan masih asing. Atau mungkin malah belum pernah mendengarnya. Sedikit informasi, dan informasi ini murni atas kesimpulan pribadi, belum ada literasi yang memaparkan tentang gunung ini secara rinci dan akurat. Gunung Jobolarangan merupakan puncak tertinggi dari gugusan bukit-bukit yang berada di selatannya gunung Lawu. Jadi kalau teman-teman sobat petualang pernah mendaki gunung Lawu via Cemoro Kandang atau Sewu, di sebelah atau diseberang jalan terlihat gagah gunung yang tidak terlalu tinggi ya itulah letaknya. Dari temen2 penggiat alam yang biasa lintas hutan-gunung, Jobolarangan berdekatan dengan 4 kabupaten (bisa dikatakan sebagai titik temu dari 4 perbatasan kabupaten) yaitu Karanganyar, Magetan, Ponorogo, dan Wonogiri.

            Gunung Jobolarangan diyakini sebagai gunung Lawu purba. Artinya yang disebut gunung Lawu pada awal mula adalah Gunung Jobolarangan. Tetapi sekarang malah disebut sebagai anaknya Lawu. Di area puncak terdapat 2 punden berundak yang masih terawat. Punden berundak merupakan salah satu simbol keagamaan di nusantara. Terlihat masih ada aktivitas kegiatan spiritual yang ditandai dengan adanya bekas bakaran dupa. Juga ada tempat bertuliskan “Pertapaan”. Tempat ini berupa lubang tanah dengan ukuran 1x2 m. Bisa saja ini dipakai untuk meditasi karena pasti lebih hangat dan terlindung dari angin.

            Tak jauh dari puncak Jobolarangan ada yang disebut dengan puncak Jokolangan/Jokolarangan. Gunung ini memiliki tiga jalur atau tepatnya dapat ditempuh melalu 3 titik. Sampai hari ini belum ada jalur resmi untuk pendakian Gunung Jobolarangan. Ketiga jalur itu dua lewat Karanganyar, yaitu via Mongkrang dan via Wonorejo. Sedangkan yang satunya via Wonomulyo, Magetan.

            Saya pribadi baru melewati 2 jalur yaitu lewat Mongkrang dan Wonorejo.      

Transportasi Menuju Basecamp Wonorejo

            Gunung Jobolarangan  via Wonorejo beralamat di desa Wonorejo, Jatioyo, Karanganyar. Untuk menuju kelokasi BC bisa melacak melalui GPS, dengan mengetik  “Wisata Rumah Pohon Wonorejo”. Bila sobat petualang berminat kesana bisa menghubungi pengelola Mas Bim-Bim (wa 0821-3632-7901), atau menghubungai IG  @jokolangan.

                   

Simaksi Pendakian

            Berhubung jalur belum resmi, maka biaya simaksi masih seiklasnya (suka rela).

           

Ceritaku tentang Pendakian Gunung Jobolarangan via Wonorejo (dalam bentuk dokumen vidio)

 


Ceritaku tentang Pendakian Gunung Jobolarangan via Wonorejo (dalam bentuk tulisan)

            Hari ini, Minggu, 30 Mei 2021, satu hari sebelum bulan ini berakhir, aku bersama isteriku mencoba mengexplorasi sudut-sudut wilayah satu Kabupaten. Istilah kerennya, “daerahe dewe kudu ngerti”, daerah lain disambangi tetapi daerah sendiri kok tidak mengerti. Tu kan kebangeten, wkwk. Kendati aku bukan asli kelahiran Karanganyar, tetapi sekarang aku berdomisili dan tinggal di Kabupaten ini. Maka, ada baiknya kalau aku mulai mengenal seluk beluk wilayahnya. Hampir 10 tahun aku menjadi warga Karanganyar, tetapi belum pernah menyambangi kecamatan Jatioso. Kecamatan di ujung selatan-timur, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Wonogiri.

Tepat pukul 05.30 aku meninggalkan Colomadu (kecamatan paling barat) menuju ke timur. Dengan yakin, target pertama langsung menuju Kecamatan Matesih. Tanpa bertanya dengan keyakinan penuh, geber motor sampai di Karang Lo, lalu ketika bertanya, ternyata untuk menuju Wonorejo, Jatioso, harusnya lewat Matesih lurus menuju Beruk. Lalu kami diarahkan untuk melintasi desa-desa kecil. Ketidak tahuan ini, menghantar kami secara tidak langsung untuk explorasi Jatioso. Lebih dari 4 x kami harus bertanya untuk sampai pada tujuan.

Sesampainya di desa Beruk, Jatioso, kami menikmati keindahan yang disuguhkan. Desa Wonorejo berada di seberang bersebelahan dengan desa ini. Segera kami pun meluncur. Target kami adalah Wisata Rumah Pohon. Sesampainya di lokasi, ternyata tidak ada BC pendakian, lalu tanya-tanya warga sekitar yang asik berladang, ternyata BC ada di bawah. Lalu, kami pun di arahkan untuk langsung melakukan pendakian.

 

Ø  Rumah Pohon (BC) - Pos 1 Aruh

Pada mulanya wisata “Rumah Pohon” Wonorejo sempat viral dan rame pengunjung. Tetapi semenjak pendemi, pelan-pelan wisata ini mulai ditinggalkan dan kini sangat sepi bahkan terkesan tidak terurus.




Terlihat dari bekas kios-kios penjaja makanan yg tidak terawat. Lokasi berada di punggungan bukit yang datar. Dari pertigaan atau perempatan rumah pohon dengan jalur pendakian, pilih atau belok ke tikungan kanan. Pendakian ini kami mulai tepat pukul 08.15. diawali dengan jalanan datar seluas kurang lebih 1 meter.

Jalan yang sekaligus jalan warga dari hutan untuk membawa rumput. Di sisi kiri terdapat punggungan bukit yang terjal, sedangkan sisi kanan terdapat lereng turunan curam. Di sebelah kanan dan kiri terdapat hutan  pinus yang masih padat. Jadi udara dan hawanya sangat sejuk dan enak.






Sekitar 25 menit menikmati jalan yang cenderung datar di bawah kanopi hutan pinus, sampailah kami di pertigaan. Tenang ada penunjuk jalan. Kami belok kiri, dan jalanan pun mulai menanjak dengan hutan yang tidak lagi homogen. 50 menit meninggalkan titik pendakian sampailah di bak sumber air dengan air yang meluber-melimpah, sejenak istirahat dan kami pun terus melakukan perjalanan menyusuri  jalanan yang cukup lebar di bawah hutan heterogen. Hingga kami tiba di bulak padang rumput dan ternyata merupakan Pos 1 Aruh. Tepat 1 jam perjalanan, kami kini bernaung di selter yang cukup memadai di pos.



 Ø  Pos 1 Aruh - Pos 2 Surupan

Pos 1 Aruh (Aruh-Aruh), menurut keterangan pada postingan akun IG resmi @jokolangan bahwa berdasarkan cerita para tetua desa, dulu di sekitar pos sering dijumpai para penduduk yang berpapasan. Mereka sering keluar-masuk hutan dan saat berjumpa itulah mereka saling menyapa (dalam bahasa Jawa istilahnya adalah “Aruh-Aruh” atau “Ngaruhke”). Pos 1 Aruh merupakan sebidang tanah datar yang cukup luas. Bahkan bisa untuk mendirikan tenda lebih dari 20. Dari sini bisa melihat panorama bawah, terutama views lampu-lampu kota. Di pos ini juga ada selter yang sangat memadai, besar dan luas, seperti pendopo. Kami di pos ini tidak berhenti, hanya mengambil dokumentasi dan langsung meneruskan perjalanan.  Selepas Pos 1, setapak menyempit dan mulai menanjak ringan. Sekitar 10 menit, kami bertemu dengan pertigaan, tenang saja karena sudah ada papan penunjuk arah untuk memilih yang kanan. Lalu setapak dominan landai, dengan tetap berpayung lebatnya dedaunan dari pohon-pohon yang beraneka.






Jalur antara Pos 1 – 2 dominan datar, hanya ada tanjakan ringan di awal-awal, melewati aneka perdu, ada bunga-bunga hutan, dan ilalang. Tanda habisnya jalur adalah vegetasi yang kian rapat. Dari hutan buatan yang tidak lagi rapat menuju ke kawasan hutan tropis yang masih sangat padat, sehingga matahari pun susah masuk. Perjalanan dari Pos 1-2 hanya butuh waktu 40 menit dengan jalan santai.



.

Ø  Pos 2 Surupan - Pos 3 Batur Bayi

Pos 2 Surupan merupakan daerah yang cukup datar, tenang, dinaungi pepohonan yang beraneka ragam, cukup teduh dan sejuk. Sudah ada selter tetapi belum ada atapnya. Di sini juga terdapat sumber air tepat di samping selter. Jadi, para pendaki yang akan bermalam di area sini sangat dinyamankan dengan adanya sumber air yang berlimpah. Kata surupan merupakan istilah yang diambil dari kata “Surup”, yaitu kata Jawa yang berarti matahari tenggelam. Dengan demikian surupan menunjuk peristiwa alam, pergantian suasana dari terang ke gelap.





Sekitar 5 menit aku dan isteriku berisitirahat di Pos 2. Setelah pos ini jalur mulai naik tingkat, artinya tanjakannya mulai terasa, masih cukup landai tetapi naik terus. Merambati setapak dari pos ini tidak terasa berat karena hutannya begitu lebat. Beruntungnya kami, sepanjang perjalanan juga disuguhi kabut yang begitu tebal tiada berkesudahan. Sebuah keberuntungan bagi kami sehingga bisa membangun ruang imajinasi masuk ke dalam zaman kuno.



Sekitar 35 menit, kami merambati setapak antara Pos 2-3, dan kini kami telah berada di sebidang tanah datar. Artinya kami telah tiba di Pos 3 Batur Bayi.



 

Ø  Pos 3 Batur Bayi - Pos 4 Pundaan

Pos 3 Batur Bayi merupakan selter yang sudah ada kanopinya. Cukup nyaman buat istirahat, namun pos ini tidak cocok untuk nenda/ bermalam karena area yang miring. Yang datar hanya pas di bawah selter. Pos ini juga telah tersedia sumber air, tinggal putar kran maka air akan bersih dan jernih mengalir. Dengan demikian pendakian di jalur ini bisa terkurangi bebannya, karena sampai di pos 3 sumber air melimpah.





Tak berapa lama kami istirahat di pos ini, sekitar pukul 10.50 kami langsung jalan lagi. Sampai di sini kami belum berjumpa dengan pendaki lainnya. Selepas pos 3 hutan belantaranya sungguh luar biasa, begitu padat dengan berbagai jenis vegatasi yang tumbuh. Mulai dari pos 3 ini juga tanjakan makin mengganas, tiada henti dan tiada berkesudahan. Sungguh suasana yang langka, di Jawa masih ditemukan hutan hujan tropis yang masih jarang dijamah manusia. Semua pohon berlumut, menunjukkkan kalau di area sini masih sering hujan dan lembab.







Istriku mulai sering berhenti pertanda bahwa ia telah terkuras tenaga dan mentalnya. Kami pun putuskan untuk istirahat sejenak sambil menikmati bekal ala kadarnya.  Kembali kami tertatih untuk merambati tanjakan yang tiada ampun. Selepas pos 2 sudah tidak ada lagi penunjuk jalur, tetapi memang hanya ada satu setapak, tidak ada lagi persimpangan, jadi sudah pasti aman. Setelah pos 3 ada penanda tali rafiah berwarna kuning.  Setelah kurang lebih 60 menit tibalah kami pada setapak yang mendatar, dan ternyata ini adalah pos bayangan.

 

Ø  Pos 4 (Bayangan) Pundaan – Puncak Jobolangan (Jokolarangan)

Kami tiba di Pos 4 (Bayangan) Pundaan tepat satu jam selepas pos 3. Di sini tidak ada selter juga tidak ada keterangan pos. Tetapi ada plakat yang tertempel pada batang pohon gede dengan tulisan “Pundaan”. Maka saya menyebutnya pos 4 atau pos bayangan. Di pos ini medan cukup datar, dan lapang. Belum ada tanda-tanda orang yang pernah bermalam di sini. Tetapi medannya cukup baik untuk mendirikan tenda. Di pos ini bisa menampung puluhan tenda, tetapi harus membersihkan beberapa perdu.



Isteriku kian terseok-seok. Namun selepas pos 4 ini medan datar semacam bonus sekitar 100 meteran. Melewati medan datar ini imajinasi langsung liar menuju pesona-pesona hutan belantara. Bahkan di beberapa titik mengundang imajinasi seperti berada di hutan trembesi Benculuk Banyuwangi.

Bonus datar usai, langsung kami dihadapkan pada tanjakan super gianas. Seolah memaksa lutut kami harus beradu dengan dahi. Nafas harus diatur agar tenaga tidak cepat koyak. Isteriku kian terseok-seok. Hingga pada akhirnya ia pun menyerah mengatakan, “Cukup sampai di sini saja“. Lalu aku hentikan langkah. Tidak banyak kata, hanya berucap, “Istirahat dulu aja. Gak usah maksa. Setelah istirahat nanti langsung turun. Gak usah maksa sampai atas”. Lalu aku istirahat, minum dan menikmati buah kurma. Apa yang aku nikmati aku tawarkan ke isteriku, namun ia menolaknya. Aku tidak memaksa hanya mencoba menikmati senikmati mungkin, tanpa kata, tanpa komentar. Lalu aku coba tawari lagi, dan isteriku pun menerimanya, menikmatinya. Sekitar 10 menit istirahat tanpa kata dan omongan. Hanya menikmati bekal dan menikmati lelah. Mencoba berdamai antara asa, lelah raga, dan keindahan hutan.



Isteriku pun bangkit, bukan berjalan ke arah bawah tetapi malah melanjutkan petualangan. Aku ikuti saja dari belakang. Selangkah demi selangkah kami jalani dan mata tidak hanya fokus melihat tanjakan dan setapak tetapi lebih menikmati pesona hutan yang bagiku sangat epik, bahkan terlalu epik. Hingga tanjakan pun habis berganti medan yang melandai dan tibalah kami pada pohon besar dengan keterangan, “Jokolarangan 2.300 mdpl” dan di bawahnya ada papan yang bisa dibawa kemana-mana bertuliskan, “Jokolangan 2.300”. Dari pos 4 hanya butuh waktu 45 menit. Total perjalanan dari BC sekitar 4 jam. Isteriku pun langsung tersungkur di tanah. Duduk santai bahkan sangat santai.



Ø  Puncak Jobolangan (Jokolarangan) – Puncak Jobolarangan 2.300 mdpl

Lalu aku mengeksplorasi area sekitar. Dimana puncak ini sangat asik buat nenda. Tanahnya datar sudah disiapkan oleh pengelola. Malah ada selter alaminya. Sayangnya kami tiba pada saat kabut tebal, sehingga tidak bisa memandang views bawah. Ada beberapa tempat duduk yang sudah disiapkan. Sangat asik. Udaranya sejuk, tidak dingin, hanya sejuk. Pokoknya asik aja.

Aku hanya berpikir, kok puncak ini beda dengan yang pernah kudatangi, “yang namanya puncak “Jobolarangan” bukan ini?”. Lalu aku melihat ada papan penunjuk arah yang bertuliskan “puncak”. Berarti dugaanku benar. Setelah diskusi dengan isteriku, ia tidak ingin melanjutkan petualangan. Lalu aku pun mengikuti setapak dan bertemulah dengan jalur yang pernah kulewati dari arah Mongkrang. Lalu saat aku merivews jalur, isteriku pun medengar dan ia menyusul.



Lalu kami berdua meneruskan kisah, melewati lembah dan memasuki hutan lumut yang tidak seberapa luas, sekitar 7 menit dari puncak “Jokolangan” tibalah kami berdua di puncak ‘Jobolarangan 2.300 mdpl”. Di puncak ini kami bertemu 1 keluarga, suami-isteri dan 1 anaknya sekitar 5 tahun, mereka dari jalur Wonomulyo, Magetan.



Mereka adalah satu-satunya rombongan yang kami temui sepanjang perjalanan dari awal hingga akhir pendakian. Usai ngobrol sebentar kami kembali ke puncak “Jokolangan”. Di sini kami menghabiskan bekal makanan. Tentu sambil istirahat, menikmati suasana sambil ngobrol santai.

 

Ø  Saatnya Turun

Isteriku pun telah pulih dari lelahnya. Kembali ceria dan sangat menikmati tiap langkah untuk menapak. Sekitar pukul 13.40, kami memulai perjalanan turun. Awal perjalanan turun sampai pos 3 tantangan yang kami hadapi adalah turunan yang licin. Kendati sudah siang namun setapak masih basah. Hal ini bisa dipahami karena matahari seolah tak berdaya untuk menyentuh tanah. Kanopi vegetasinya memang sangat rapat dan padat.



Selepas pos 3 perjalanan sangat santai dan nikmat, 18 meit ketemu pos 2 lanjut dan ketemu pos 1 lanjut lagi hingga sampai juga di parkiran tepat pada pukul 16.00 dengan selamat, aman dan penuh kesan.

 

Ø  Akhirnya

Pendakian Jobolarangan via Wonorejo  ini menjadi salah satu caraku untuk menziarahi diri, dan merenunginya. Melalui peristiwa ini, aku semakin mengenal diriku dengan kurang dan lebihku, serta menemukan tekad untuk memperbaikinya. Terimakasih untuk isteriku sebagai teman dalam peziarahan ini serta semua orang yang mendukung petualangan ini. Terimakasih setapak Jobolarangan, terimakasih atas lebat vegetasimu dan biarkan sunyi-bijakmu menjadi lentera hidup. Terimakasih Tuhan untuk segala yang Engkau beri terutama untuk peristiwa ini. Bila masih ada sehat dan celah waktu aku pasti akan kembali. Melalui setapak kembali berziarah untuk menemukan makna agar semakin dewasa dalam merasa, berpikir, berkata, dan bertindak.

 

Ø  Tips Mendaki gunung Jobolarangan via Wonorejo

1.      Persiapkan fisik, mental dan peralatan.

2.      Sebelum mendaki dan setelah mendaki harap melaporkan diri ke BC (tujuannya untuk data dan demi keamanan).

3.      Jalur Jobolarangan via Wonorejo relatif sepi.

4.      Jalur Jobolarangan via Wonorejo, ini memiliki pemandangan yang keren.

5.      Bagi yang suka nenda, nendalah di Puncak Jokolangan, aman dan pastinya keren.

6.      Sumber air: ada 3 (sebelum Pos 1, Pos 2 dan Pos 3).

 

Ø  Estimasi Waktu Pendakian Gunung Jobolarangan via Wonorejo

1.      Basecamp (Rumah Pohon) - Pos 1 Aruh : 1 jam

2.      Pos 1 Aruh - Pos 2 Surupan: 40 menit

3.      Pos 2 Surupan - Pos 3 Batur Bayi: 35 menit

4.      Pos 3 Batur Bayi - Pos 4 Pundaan: 1 jam

5.      Pos 4 Pundaan – Puncak Jokolangan: 45 menit 

6.      Puncak Jokolangan – Puncak Jobolarangan 2.300 mdpl: 7 menit

 

 

6 komentar:

  1. Menarik sekali perjalanan kali ini,, salam kenal Pak,,jadi ingat dlu juga menjelajah gunung yg masih asing di telinga juga sepi pendaki di daerah Wonosobo kala itu, namanya gunung Sikudi, ketinggian ga nyampe 3000 an mdpl tp lumayan bikin ngos2 an jg treknya..hehehe..salam lestari Pak, sehat selalu

    BalasHapus
  2. mantap,ayo di agendakan , lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. siap. sbenere udh 3 x jln2 di jalur. ttp tetap kangen pengin k sana lg, hehe

      Hapus
  3. Mantap Pak , saya harap Pak Heri tetap meneruskan blog ini dengan tulisan tulisan catatan perjalanannya yg fantastis

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih untuk dukungannya. jujur, saya mulai hilang semangat untuk menulis. tetapi apresiasi yang Anda sampaikan berhasil memantik api gairah untuk kembali menulis, catatan2 pengalaman hidup.

      Hapus