CATATAN PERJALANAN: GUNUNG JOBOLARANGAN VIA WONOREJO
Oleh: Heri Jimanto
Puncak Jokoloarangan 2.300 mdpl
Salam jumpa sobat petualang. Kembali
bertemu dalam sebuah cerita. Kali ini aku akan berbagi pengalaman mendaki
Gunung Jobolarangan dengan ketinggian 2.300 mdpl. Memang bukan gunung tinggi
dan juga bukan gunung terkenal. Tetapi soal keindahannya boleh diadu. Terutama bagi
yang suka dengan petualangan “junggle
trekking”.
Bagi
kebayakan dari sobat petualang bisa saja Gunung
Jobolarangan masih asing. Atau mungkin malah belum pernah mendengarnya. Sedikit
informasi, dan informasi ini murni atas kesimpulan pribadi, belum ada literasi
yang memaparkan tentang gunung ini secara rinci dan akurat. Gunung Jobolarangan
merupakan puncak tertinggi dari gugusan bukit-bukit yang berada di selatannya
gunung Lawu. Jadi kalau teman-teman sobat petualang pernah mendaki gunung Lawu
via Cemoro Kandang atau Sewu, di sebelah atau diseberang jalan terlihat gagah
gunung yang tidak terlalu tinggi ya itulah letaknya. Dari temen2 penggiat alam
yang biasa lintas hutan-gunung, Jobolarangan berdekatan dengan 4 kabupaten (bisa
dikatakan sebagai titik temu dari 4 perbatasan kabupaten) yaitu Karanganyar,
Magetan, Ponorogo, dan Wonogiri.
Gunung
Jobolarangan diyakini sebagai gunung Lawu purba. Artinya yang disebut gunung Lawu
pada awal mula adalah Gunung Jobolarangan. Tetapi sekarang malah disebut
sebagai anaknya Lawu. Di area puncak terdapat 2 punden berundak yang masih
terawat. Punden berundak merupakan salah satu simbol keagamaan di nusantara. Terlihat
masih ada aktivitas kegiatan spiritual yang ditandai dengan adanya bekas
bakaran dupa. Juga ada tempat bertuliskan “Pertapaan”. Tempat ini berupa lubang
tanah dengan ukuran 1x2 m. Bisa saja ini dipakai untuk meditasi karena pasti
lebih hangat dan terlindung dari angin.
Tak jauh
dari puncak Jobolarangan ada yang disebut dengan puncak Jokolangan/Jokolarangan.
Gunung ini memiliki tiga jalur atau tepatnya dapat ditempuh melalu 3 titik.
Sampai hari ini belum ada jalur resmi untuk pendakian Gunung Jobolarangan.
Ketiga jalur itu dua lewat Karanganyar, yaitu via Mongkrang dan via Wonorejo.
Sedangkan yang satunya via Wonomulyo, Magetan.
Saya pribadi baru melewati 2 jalur yaitu lewat Mongkrang dan Wonorejo.
Transportasi Menuju Basecamp Wonorejo
Gunung
Jobolarangan via Wonorejo beralamat di
desa Wonorejo, Jatioyo, Karanganyar. Untuk menuju kelokasi BC bisa melacak
melalui GPS, dengan mengetik “Wisata
Rumah Pohon Wonorejo”. Bila sobat petualang berminat kesana bisa menghubungi
pengelola Mas Bim-Bim (wa 0821-3632-7901), atau menghubungai IG @jokolangan.
Simaksi Pendakian
Berhubung
jalur belum resmi, maka biaya simaksi masih seiklasnya (suka rela).
Ceritaku tentang Pendakian Gunung Jobolarangan via Wonorejo
(dalam bentuk dokumen vidio)
Ceritaku tentang Pendakian Gunung Jobolarangan via Wonorejo (dalam
bentuk tulisan)
Hari ini,
Minggu, 30 Mei 2021, satu hari sebelum bulan ini berakhir, aku bersama isteriku
mencoba mengexplorasi sudut-sudut wilayah satu Kabupaten. Istilah kerennya, “daerahe dewe kudu ngerti”, daerah lain
disambangi tetapi daerah sendiri kok tidak mengerti. Tu kan kebangeten, wkwk. Kendati aku bukan asli kelahiran
Karanganyar, tetapi sekarang aku berdomisili dan tinggal di Kabupaten ini.
Maka, ada baiknya kalau aku mulai mengenal seluk beluk wilayahnya. Hampir 10
tahun aku menjadi warga Karanganyar, tetapi belum pernah menyambangi kecamatan
Jatioso. Kecamatan di ujung selatan-timur, berbatasan dengan wilayah Kabupaten
Wonogiri.
Tepat pukul 05.30 aku meninggalkan
Colomadu (kecamatan paling barat) menuju ke timur. Dengan yakin, target pertama
langsung menuju Kecamatan Matesih. Tanpa bertanya dengan keyakinan penuh, geber
motor sampai di Karang Lo, lalu ketika bertanya, ternyata untuk menuju
Wonorejo, Jatioso, harusnya lewat Matesih lurus menuju Beruk. Lalu kami
diarahkan untuk melintasi desa-desa kecil. Ketidak tahuan ini, menghantar kami
secara tidak langsung untuk explorasi Jatioso. Lebih dari 4 x kami harus
bertanya untuk sampai pada tujuan.
Sesampainya di desa Beruk, Jatioso,
kami menikmati keindahan yang disuguhkan. Desa Wonorejo berada di seberang
bersebelahan dengan desa ini. Segera kami pun meluncur. Target kami adalah
Wisata Rumah Pohon. Sesampainya di lokasi, ternyata tidak ada BC pendakian,
lalu tanya-tanya warga sekitar yang asik berladang, ternyata BC ada di bawah.
Lalu, kami pun di arahkan untuk langsung melakukan pendakian.
Ø Rumah Pohon (BC) - Pos 1 Aruh
Pada mulanya wisata “Rumah Pohon”
Wonorejo sempat viral dan rame pengunjung. Tetapi semenjak pendemi, pelan-pelan
wisata ini mulai ditinggalkan dan kini sangat sepi bahkan terkesan tidak
terurus.
Terlihat dari bekas kios-kios
penjaja makanan yg tidak terawat. Lokasi berada di punggungan bukit yang datar.
Dari pertigaan atau perempatan rumah pohon dengan jalur pendakian, pilih atau
belok ke tikungan kanan. Pendakian ini kami mulai tepat pukul 08.15. diawali
dengan jalanan datar seluas kurang lebih 1 meter.
Jalan yang sekaligus jalan warga
dari hutan untuk membawa rumput. Di sisi kiri terdapat punggungan bukit yang
terjal, sedangkan sisi kanan terdapat lereng turunan curam. Di sebelah kanan
dan kiri terdapat hutan pinus yang masih
padat. Jadi udara dan hawanya sangat sejuk dan enak.
Sekitar 25 menit menikmati jalan
yang cenderung datar di bawah kanopi hutan pinus, sampailah kami di pertigaan.
Tenang ada penunjuk jalan. Kami belok kiri, dan jalanan pun mulai menanjak
dengan hutan yang tidak lagi homogen. 50 menit meninggalkan titik pendakian
sampailah di bak sumber air dengan air yang meluber-melimpah, sejenak istirahat
dan kami pun terus melakukan perjalanan menyusuri jalanan yang cukup lebar di bawah hutan
heterogen. Hingga kami tiba di bulak padang rumput dan ternyata merupakan Pos 1
Aruh. Tepat 1 jam perjalanan, kami kini bernaung di selter yang cukup memadai
di pos.
Pos 1 Aruh (Aruh-Aruh), menurut keterangan
pada postingan akun IG resmi @jokolangan bahwa berdasarkan cerita para tetua
desa, dulu di sekitar pos sering dijumpai para penduduk yang berpapasan. Mereka
sering keluar-masuk hutan dan saat berjumpa itulah mereka saling menyapa (dalam
bahasa Jawa istilahnya adalah “Aruh-Aruh”
atau “Ngaruhke”). Pos 1 Aruh
merupakan sebidang tanah datar yang cukup luas. Bahkan bisa untuk mendirikan
tenda lebih dari 20. Dari sini bisa melihat panorama bawah, terutama views
lampu-lampu kota. Di pos ini juga ada selter yang sangat memadai, besar dan
luas, seperti pendopo. Kami di pos ini tidak berhenti, hanya mengambil
dokumentasi dan langsung meneruskan perjalanan. Selepas Pos 1, setapak menyempit dan mulai
menanjak ringan. Sekitar 10 menit, kami bertemu dengan pertigaan, tenang saja
karena sudah ada papan penunjuk arah untuk memilih yang kanan. Lalu setapak
dominan landai, dengan tetap berpayung lebatnya dedaunan dari pohon-pohon yang
beraneka.
Jalur antara Pos 1 – 2 dominan datar, hanya
ada tanjakan ringan di awal-awal, melewati aneka perdu, ada bunga-bunga hutan,
dan ilalang. Tanda habisnya jalur adalah vegetasi yang kian rapat. Dari hutan
buatan yang tidak lagi rapat menuju ke kawasan hutan tropis yang masih sangat
padat, sehingga matahari pun susah masuk. Perjalanan dari Pos 1-2 hanya butuh
waktu 40 menit dengan jalan santai.
.
Ø Pos 2 Surupan - Pos 3 Batur Bayi
Pos 2 Surupan merupakan daerah yang cukup
datar, tenang, dinaungi pepohonan yang beraneka ragam, cukup teduh dan sejuk.
Sudah ada selter tetapi belum ada atapnya. Di sini juga terdapat sumber air
tepat di samping selter. Jadi, para pendaki yang akan bermalam di area sini
sangat dinyamankan dengan adanya sumber air yang berlimpah. Kata surupan
merupakan istilah yang diambil dari kata “Surup”,
yaitu kata Jawa yang berarti matahari tenggelam. Dengan demikian surupan menunjuk
peristiwa alam, pergantian suasana dari terang ke gelap.
Sekitar 5 menit aku dan isteriku berisitirahat
di Pos 2. Setelah pos ini jalur mulai naik tingkat, artinya tanjakannya mulai
terasa, masih cukup landai tetapi naik terus. Merambati setapak dari pos ini
tidak terasa berat karena hutannya begitu lebat. Beruntungnya kami, sepanjang
perjalanan juga disuguhi kabut yang begitu tebal tiada berkesudahan. Sebuah
keberuntungan bagi kami sehingga bisa membangun ruang imajinasi masuk ke dalam
zaman kuno.
Sekitar 35 menit, kami merambati setapak
antara Pos 2-3, dan kini kami telah berada di sebidang tanah datar. Artinya
kami telah tiba di Pos 3 Batur Bayi.
Ø Pos 3 Batur Bayi - Pos 4 Pundaan
Pos 3 Batur Bayi merupakan selter yang sudah
ada kanopinya. Cukup nyaman buat istirahat, namun pos ini tidak cocok untuk
nenda/ bermalam karena area yang miring. Yang datar hanya pas di bawah selter.
Pos ini juga telah tersedia sumber air, tinggal putar kran maka air akan bersih
dan jernih mengalir. Dengan demikian pendakian di jalur ini bisa terkurangi
bebannya, karena sampai di pos 3 sumber air melimpah.
Tak berapa lama kami istirahat di pos ini,
sekitar pukul 10.50 kami langsung jalan lagi. Sampai di sini kami belum
berjumpa dengan pendaki lainnya. Selepas pos 3 hutan belantaranya sungguh luar
biasa, begitu padat dengan berbagai jenis vegatasi yang tumbuh. Mulai dari pos
3 ini juga tanjakan makin mengganas, tiada henti dan tiada berkesudahan.
Sungguh suasana yang langka, di Jawa masih ditemukan hutan hujan tropis yang
masih jarang dijamah manusia. Semua pohon berlumut, menunjukkkan kalau di area
sini masih sering hujan dan lembab.
Istriku mulai sering berhenti pertanda bahwa
ia telah terkuras tenaga dan mentalnya. Kami pun putuskan untuk istirahat
sejenak sambil menikmati bekal ala kadarnya. Kembali kami tertatih untuk merambati tanjakan
yang tiada ampun. Selepas pos 2 sudah tidak ada lagi penunjuk jalur, tetapi
memang hanya ada satu setapak, tidak ada lagi persimpangan, jadi sudah pasti
aman. Setelah pos 3 ada penanda tali rafiah berwarna kuning. Setelah kurang lebih 60 menit tibalah kami
pada setapak yang mendatar, dan ternyata ini adalah pos bayangan.
Ø Pos 4 (Bayangan) Pundaan – Puncak Jobolangan
(Jokolarangan)
Kami tiba di Pos 4 (Bayangan) Pundaan tepat satu
jam selepas pos 3. Di sini tidak ada selter juga tidak ada keterangan pos. Tetapi
ada plakat yang tertempel pada batang pohon gede dengan tulisan “Pundaan”. Maka
saya menyebutnya pos 4 atau pos bayangan. Di pos ini medan cukup datar, dan
lapang. Belum ada tanda-tanda orang yang pernah bermalam di sini. Tetapi
medannya cukup baik untuk mendirikan tenda. Di pos ini bisa menampung puluhan
tenda, tetapi harus membersihkan beberapa perdu.
Isteriku kian terseok-seok. Namun selepas pos
4 ini medan datar semacam bonus sekitar 100 meteran. Melewati medan datar ini
imajinasi langsung liar menuju pesona-pesona hutan belantara. Bahkan di
beberapa titik mengundang imajinasi seperti berada di hutan trembesi Benculuk
Banyuwangi.
Bonus datar usai, langsung kami dihadapkan
pada tanjakan super gianas. Seolah memaksa lutut kami harus beradu dengan dahi.
Nafas harus diatur agar tenaga tidak cepat koyak. Isteriku kian terseok-seok.
Hingga pada akhirnya ia pun menyerah mengatakan, “Cukup sampai di sini saja“.
Lalu aku hentikan langkah. Tidak banyak kata, hanya berucap, “Istirahat dulu
aja. Gak usah maksa. Setelah istirahat nanti langsung turun. Gak usah maksa
sampai atas”. Lalu aku istirahat, minum dan menikmati buah kurma. Apa yang aku
nikmati aku tawarkan ke isteriku, namun ia menolaknya. Aku tidak memaksa hanya
mencoba menikmati senikmati mungkin, tanpa kata, tanpa komentar. Lalu aku coba
tawari lagi, dan isteriku pun menerimanya, menikmatinya. Sekitar 10 menit
istirahat tanpa kata dan omongan. Hanya menikmati bekal dan menikmati lelah.
Mencoba berdamai antara asa, lelah raga, dan keindahan hutan.
Isteriku pun bangkit, bukan berjalan ke arah bawah
tetapi malah melanjutkan petualangan. Aku ikuti saja dari belakang. Selangkah
demi selangkah kami jalani dan mata tidak hanya fokus melihat tanjakan dan
setapak tetapi lebih menikmati pesona hutan yang bagiku sangat epik, bahkan
terlalu epik. Hingga tanjakan pun habis berganti medan yang melandai dan
tibalah kami pada pohon besar dengan keterangan, “Jokolarangan 2.300 mdpl” dan
di bawahnya ada papan yang bisa dibawa kemana-mana bertuliskan, “Jokolangan
2.300”. Dari pos 4 hanya butuh waktu 45 menit. Total perjalanan dari BC sekitar
4 jam. Isteriku pun langsung tersungkur di tanah. Duduk santai bahkan sangat
santai.
Ø Puncak Jobolangan (Jokolarangan) – Puncak
Jobolarangan 2.300 mdpl
Lalu aku mengeksplorasi area sekitar. Dimana
puncak ini sangat asik buat nenda. Tanahnya datar sudah disiapkan oleh
pengelola. Malah ada selter alaminya. Sayangnya kami tiba pada saat kabut
tebal, sehingga tidak bisa memandang views bawah. Ada beberapa tempat duduk
yang sudah disiapkan. Sangat asik. Udaranya sejuk, tidak dingin, hanya sejuk. Pokoknya
asik aja.
Aku hanya berpikir, kok puncak ini beda dengan
yang pernah kudatangi, “yang namanya puncak “Jobolarangan” bukan ini?”. Lalu
aku melihat ada papan penunjuk arah yang bertuliskan “puncak”. Berarti dugaanku
benar. Setelah diskusi dengan isteriku, ia tidak ingin melanjutkan petualangan.
Lalu aku pun mengikuti setapak dan bertemulah dengan jalur yang pernah kulewati
dari arah Mongkrang. Lalu saat aku merivews jalur, isteriku pun medengar dan ia
menyusul.
Lalu kami berdua meneruskan kisah, melewati
lembah dan memasuki hutan lumut yang tidak seberapa luas, sekitar 7 menit dari
puncak “Jokolangan” tibalah kami berdua di puncak ‘Jobolarangan 2.300 mdpl”. Di
puncak ini kami bertemu 1 keluarga, suami-isteri dan 1 anaknya sekitar 5 tahun,
mereka dari jalur Wonomulyo, Magetan.
Mereka adalah satu-satunya rombongan yang kami
temui sepanjang perjalanan dari awal hingga akhir pendakian. Usai ngobrol
sebentar kami kembali ke puncak “Jokolangan”. Di sini kami menghabiskan bekal
makanan. Tentu sambil istirahat, menikmati suasana sambil ngobrol santai.
Ø Saatnya
Turun
Isteriku pun telah pulih dari lelahnya.
Kembali ceria dan sangat menikmati tiap langkah untuk menapak. Sekitar pukul
13.40, kami memulai perjalanan turun. Awal perjalanan turun sampai pos 3
tantangan yang kami hadapi adalah turunan yang licin. Kendati sudah siang namun
setapak masih basah. Hal ini bisa dipahami karena matahari seolah tak berdaya
untuk menyentuh tanah. Kanopi vegetasinya memang sangat rapat dan padat.
Selepas pos 3 perjalanan sangat santai dan
nikmat, 18 meit ketemu pos 2 lanjut dan ketemu pos 1 lanjut lagi hingga sampai
juga di parkiran tepat pada pukul 16.00 dengan selamat, aman dan penuh kesan.
Ø Akhirnya
Pendakian Jobolarangan
via Wonorejo ini menjadi salah satu
caraku untuk menziarahi diri, dan merenunginya. Melalui peristiwa ini, aku
semakin mengenal diriku dengan kurang dan lebihku, serta menemukan tekad untuk memperbaikinya.
Terimakasih untuk isteriku sebagai teman dalam peziarahan ini serta semua orang
yang mendukung petualangan ini. Terimakasih setapak Jobolarangan, terimakasih
atas lebat vegetasimu dan biarkan sunyi-bijakmu menjadi lentera hidup.
Terimakasih Tuhan untuk segala yang Engkau beri terutama untuk peristiwa ini.
Bila masih ada sehat dan celah waktu aku pasti akan kembali. Melalui setapak kembali
berziarah untuk menemukan makna agar semakin dewasa dalam merasa, berpikir,
berkata, dan bertindak.
Ø
Tips
Mendaki gunung Jobolarangan via Wonorejo
1. Persiapkan fisik, mental dan peralatan.
2. Sebelum mendaki dan setelah mendaki harap
melaporkan diri ke BC (tujuannya untuk data dan demi keamanan).
3. Jalur Jobolarangan via Wonorejo relatif sepi.
4. Jalur Jobolarangan via Wonorejo, ini memiliki
pemandangan yang keren.
5. Bagi yang suka nenda, nendalah di Puncak
Jokolangan, aman dan pastinya keren.
6. Sumber air: ada 3 (sebelum Pos 1, Pos 2 dan
Pos 3).
Ø Estimasi Waktu Pendakian Gunung Jobolarangan via Wonorejo
1. Basecamp (Rumah Pohon) - Pos 1 Aruh : 1 jam
2. Pos 1 Aruh - Pos 2 Surupan: 40 menit
3. Pos 2 Surupan - Pos 3 Batur Bayi: 35 menit
4. Pos 3 Batur Bayi - Pos 4 Pundaan: 1 jam
5. Pos 4 Pundaan – Puncak Jokolangan: 45 menit
6. Puncak Jokolangan – Puncak Jobolarangan 2.300
mdpl: 7 menit
Menarik sekali perjalanan kali ini,, salam kenal Pak,,jadi ingat dlu juga menjelajah gunung yg masih asing di telinga juga sepi pendaki di daerah Wonosobo kala itu, namanya gunung Sikudi, ketinggian ga nyampe 3000 an mdpl tp lumayan bikin ngos2 an jg treknya..hehehe..salam lestari Pak, sehat selalu
BalasHapussiap. trims unt dukungannya
Hapusmantap,ayo di agendakan , lagi
BalasHapussiap. sbenere udh 3 x jln2 di jalur. ttp tetap kangen pengin k sana lg, hehe
HapusMantap Pak , saya harap Pak Heri tetap meneruskan blog ini dengan tulisan tulisan catatan perjalanannya yg fantastis
BalasHapusterimakasih untuk dukungannya. jujur, saya mulai hilang semangat untuk menulis. tetapi apresiasi yang Anda sampaikan berhasil memantik api gairah untuk kembali menulis, catatan2 pengalaman hidup.
Hapus